*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 122

Kembali dia mendongkol bukan main. Kalau semua pesanannya ada, mungkin untuk memasaknya orang membutuhkan waktu yang agak lama. Akan tetapi kalau hanya bakmi, memasak sebentar pun jadilah, dan bakpauw paling-paling hanya menghangatkan saja.

Akan tetapi, sudah hampir setengah jam dia duduk di bangku panjang itu, masih saja pesanannya belum dikeluarkan. Habislah kesabarannya dan dia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu mencari restoran lain.

Akan tetapi karena Kun Liong adalah seorang yang biasa bersikap hormat dan jujur, dia
mengetuk meja keras-keras dan berkata,

"Haiii, Paman Tua! Apakah bakmi dan bakpauw itu belum dibuat? Kalau belum, biarlah saya akan membeli di warung lain saja. Sudah terlalu lama saya menanti dan perut saya sudah lapar sekali!"

"Eh, maaf, tunggu sebentar, Tuan Muda. Sudah siap." terdengar jawaban kakek itu dari dalam dan benar saja, tak lama kemudian dia datang membawa baki berisi sebotol arak dengan cangkirnya yang sederhana terbuat dari tanah, sepiring mi dan beberapa potong bakpauw.

Lenyap kemendongkolan hati Kun Liong. Dia sedang haus dan lapar, kini melihat makanan, biar sederhana hatinya girang.

Kakek pemilik warung itu kembali pergi masuk meninggalkan Kun Liong dan hal inipun menyenangkan Kun Liong karena kalau dia makan ditunggui kakek yang rupanya mengerikan itu tentu sedikitnya mengurangi seleranya.

Mulailah dia makan, mula-mula empat buah bakpauw diganyangnya habis dan rasanya lumayan. Bakmi yang agak terlampau asin itu pun lenyap ke dalam perutnya, hanya tinggal beberapa potong bawang yang tak disukanya. Kemudian dia minum arak dari cawan butut itu.

Begitu minum, dia terkejut. Lidahnya yang sudah terbiasa dapat merasakan campuran racun yang amat kuat dalam arak itu. Akan tetapi dia tidak merasa khawatir karena maklum bahwa perutnya telah kebal menerima racun ini. Diminumnya sampai hausnya hilang dan timbul pikirannya untuk melihat perkembangan apa yang akan terjadi, mengapa kakek aneh itu hendak meracuninya dan siapa pula orang-orang yang tadi dia tahu mengintainya dari dalam rumah.

Maka setelah menghabiskan beberapa cawan arak, dia pura-pura memegangi kepalanya dan perutnya, dia teringat akan bagaimana cara racun itu bekerja dan berkata,

"Aihhh, kepalaku pening... perutku panas sekali, lemas... mengantuk..."

Dia tahu bahwa racun itu biar amat kuat, bukanlah sejenis racun yang mematikan orang, melainkan membuat orang yang meminumnya menjadi pingsan, karena mabok dan mengandung daya melemahkan dan memusingkan.

Kakek itu keluar sambil terkekeh-kekeh senang. Kun Liong sudah duduk melonjorkan kaki di atas bangku dan bersandar pada tiang dan ujung bangku, pura-pura tertidur atau pingsan. Lengan kirinya di atas meja dan lengan kanan tergantung ke bawah, napasnya berat dan kepalanya terkulai menunduk seperti orang yang menderita pusing hebat. Matanya melirik sedikit dan mengintai dari balik bulu matanya ke arah kakek itu.






Terjadi perubahan kini yang mengejutkan hatinya. Kakek itu tidak terbongkok atau terpincang lagi, melainkan bergerak dengan sigap, dengan langkah kaki seorang ahli gin-kang tinggi, dan di tangan kanannya kini tampak sebatang tongkat pendek yang ujungnya berbentuk sebuah tangan manusia, atau lebih tepat tangan setan karena tangan itu mengering, kelihatan keras membaja dengan jari-jarinya hendak mencengkeram, lengkap dengan kuku kehitaman yang tentu mengandung racun berbahaya.

Eh, kiranya seorang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia masih belum bergerak, hendak melihat apa yang akan dilakukan kakek itu kepadanya. Dia tidak mengenal kakek ini, tidak pernah ada urusan dengan kakek ini, akan tetapi mengapa kakek ini begini kejam untuk meracuninya?

Betapapun juga, tenaga saktinya telah bergerak melindungi tubuhnya, semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk menanti segala kemungkinan.Tak lama kemudian seorang pemuda keluar dan kembali Kun Liong terkejut. Pemuda itu adalah sebangsa Yuan dan Hendrik! Akan tetapi dia pun tidak mengenalnya dan mungkin saja pemuda asing ini merupakan seorang di antara anak buah Legaspi yang berhasil meloloskan diri dalam pertempuran di Pulau Ular, atau orang lain karena memang banyak terdapat orang asing yang kini boleh berdagang di pantai Teluk Pohai.

Pemuda itu telah mencabut pula pedangnya, sebatang pedang yang lebih berbentuk golok, agak melengkung dan runcing sekali. Dengan berindap pemuda itu mengambil jalan memutari mejanya dan menodongkan pedangnya di atas kepalanya sambil berkata dengan bahasa pribumi yang kaku kepada kakek itu,

"Harap Lo-mo (Setan Tua) berhati-hati, dia ini lihai sekali!"

"Heh-heh-heh, setelah terkena racunku, dia akan tidur setengah pingsan untuk waktu setengah hari. Dan kita tinggal menanti datangnya pasukan yang tentu sekarang telah dilapori oleh pembantu kita, tepat seperti rencanamu, Tuan Muda Markus." kata kakek itu.

"Siasatmu memang hebat, Lo-mo. Begitu melihat dia berjalan seorang diri, aku sudah mengenalnya dan kebetulan sekali dia masuk ke warung ini. Habis bagaimana dengan pemilik warung dan isterinya yang kita belenggu di dalam itu?"

"Mereka berjasa. Kalau urusan ini selesai, kita bebaskan mereka" kata Si Kakek.

"Dan aku akan memberi mereka hadiah." kata Si Pemuda Asing.

Mereka lalu duduk di atas bangku dekat Kun Liong, keduanya siap dengan senjata karena menurut penuturan pemuda asing itu, Kun Liong memiliki kepandaian tinggi.

"Tuan Muda Markus, sudah jelaskah bahwa bokor itu palsu?"

"Tentu saja! Aku mendengar dari seorang perajurit pengawal Panglima The Hoo sendiri setelah kusogok dengan sepuluh potong uang emas. Dia melihat Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong bicara ketika keduanya meneliti bokor emas yang dirampas dari Pulau Ular itu.”

"Pendekar Cia Keng Hong katamu...?" Kakek itu nampak kaget. "Dia... dia meninggalkan Cin-ling-san dan mencampuri urusan bokor?"

"Dia memang pembantu Panglima The Hoo, akan tetapi sekarang telah kembali ke Cin-ling-san setelah dipanggil menghadap ke istana Panglima The Hoo. Tak salah lagi, pemuda cerdik inilah yang memalsukan bokor, karena menurut cerita yang kudengar, dialah orang pertama yang menemukan bokor."

"Hemmm... hemmm...guruku tentu akan senang sekali mendengarnya. Benarkah bahwa pemuda ini adalah murid keponakan Cia Keng Hong?"

"Tak salah lagi, semua orang mendengar dia menyebut Cia Keng Hong supek."

"Heh-heh-heh, bagus sekali. Betapa besar untungku hari ini. Sekali tepuk mendapat dua ekor lalat! Pertama tentang bokor..."

"Pengembaliannya kepada Panglima tentu akan menguntungkan kami para pedagang asing dan kami tentu akan menghadiahkan seratus tail emas yang telah kami janjikan kepadamu. Lo-mo."

"Heh-heh-heh!" kakek itu mengangguk-angguk.

"Selain itu, dia adalah murid keponakan Cia Keng Hong, tentu akan menyenangkan hati guruku. Aku tahu betapa bencinya guruku terhadap Cia Keng Hong yang pernah membunuh tiga orang susiokku, adik-adik seperguruan guruku."

Biarpun tidak begitu tertarik karena pemuda asing bernama Markus (Marcus) itu hanya mementingkan urusannya sendiri, namun untuk menanti datangnya pasukan yang diberi laporan, Marcus bertanya,

“Siapakah gurumu, Lo-mo? Tentu dia lihai bukan main.”

“Seperti dewa! Guruku itu, biarpun sampai kini tidak atau belum mau meninggalkan guha pertapaannya karena sedang mencipta ilmu untuk melawan Thi-khi-i-beng ilmu tertinggi Cia Keng Hong, namun jelas guruku adalah orang yang paling sakti di dunia ini pada saat sekarang. Namanya pun harus kurahasiakan sampai guruku itu keluar dari guha dan turun ke dunia ramai.”

Marcus mengangguk-angguk.
“Dan, tiga orang susiokmu itu siapakah, mengapa pula sampai terbunuh oleh Cia Keng Hong?”

“Mereka dahulu terkenal sekali sebagai Thian-te Sam-lomo (Tiga Iblis Tua Langit dan Bumi) yang masing-masing bernama julukan Kai-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Pengemis), Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastra), Thian-to Lo-mo, yang menjadi seorang pendeta agama To. Kepandaian mereka hebat sebagai adik-adik seperguruan guruku, dan tentu dengan secara licik, dengan Thi-khi-i-beng maka Cia Keng Hong dapat membunuh mereka. Karena itulah maka selama belasan tahun guruku bersamadhi mencipta ilmu untuk menandingi Thi-khi-i-beng.”

Mengenai kematian Thian-te Sam-lo-mo di tangan Cia Keng Hong ini terjadi dalam cerita Pedang Kayu Harum. Akan tetapi Kun Liong yang tak pernah mendengar cerita ini, terkejut bukan main. Dua kali dia terkejut, pertama mendengar bahwa bokor emas yang dirampasnya di Pulau Ular itu ternyata palsu dan ke dua adalah urusan dendam terhadap supeknya itu. Namun dia tetap diam, pura-pura pingsan.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan pemerintah yang sedikitnya ada lima puluh orang banyaknya. Beberapa orang perajurit segera memasuki warung itu dan menodongkan tombaknya kepada Kun Liong yang masih terkulai lemas bersandar pada tiang.

“Heh-heh-heh, tak perlu menggunakan kekerasan. Selama setengah hari dia tidak akan dapat bergerak. Belenggu saja dia kuat-kuat,” kata kakek yang disebut Lo-mo tadi, kemudian bersama Marcus ia menemui komandan pasukan.

Komandan pasukan memang tahu akan bokor emas yang palsu, maka mendengar laporan dua orang asing baginya ini bahwa tentu pemuda ini sebagai penemu pertama bokor emas yang telah memalsukannya, menjadi percaya dan girang.

“Kita tangkap dia dan bawa kepada The-ciangkun. Kalian berdua tentu menerima hadiah banyak kalau bokor yang aseli dapat ditemukan melalui pemuda gundul ini.”

“Kami tidak mengharapkan hadiah, Ciangkun, karena kami, para pedagang di Teluk Pohai, selalu dengan senang hati akan membantu pemerintah.”

Jawab Marcus dan hati komandan itu makin senang, apalagi setelah Marcus membagi-bagikan dinar emas kepada para anggauta pasukan, seorang satu dan lima buah untuk Sang Komandan.

Kun Liong dibelenggu kaki tangannya, dan digusur keluar, kemudian dinaikkan ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, sedangkan Marcus dan Lo-mo itu pun memperoleh seekor kuda masing-masing. Marcus membebaskan suami isteri pemilik warung dan memberi hadiah pula.

Berangkatlah rombongan itu dan Kun Liong masih pura-pura menelungkup pingsan. Dia tertarik sekali dan ingin dihadapkan Panglima The Hoo untuk mendapatkan keterangan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan bokor itu. Dia tidak percaya bahwa seorang sakti bijaksana seperti panglima itu akan menuduhnya sembarangan saja seperti yang dilakukan orang-orang ambisius yang gila uang ini.

Setelah setengah hari lamanya, Kun Liong pura-pura sadar dan mengeluh. Pura-pura meronta akan tetapi punggungnya ditodong cakar di ujung tongkat kakek itu, dan beberapa ujung tombak runcing para perajurit juga menodongnya.

“Kenapa aku dibelenggu? Kemana aku dibawa pergi?” Kun Liong pura-pura bertanya untuk menyempurnakan sandiwara.

“Heh-heh-heh, engkau Yap Kun Liong, murid keponakan Cia Keng Hong, bukan? Engkau penipu busuk yang menyembunyikan bokor emas pusaka Panglima The Hoo dan menggantinya dengan yang palsu. Katakan dimana kau menyimpan yang aseli, kalau tidak, engkau akan dihukum penggal kepala, heh-heh-heh!”

Dengan susah payah Kun Liong menggerakkan lehernya menengadah, memandang kakek itu dan bertanya,

“Kakek yang botak, jauhkan cakar bebek itu dari kepalaku! Kau ini siapakah? Bukankah kau pemilik warung tadi?”

“Heh-heh-heh, bocah gundul tolol. Mau tahu siapa aku? Heh-heh, di dunia kang-ouw orang menyebutku Tok-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakat Beracun)!”

“Hemm, aku tidak mengenalmu.”

“Orang macam engkau mana mengenal? Lebih baik katakan di mana bokor itu.”

“Aku tidak tahu, yang kutahu hanyalah bokor yang telah diserahkan kepada The-ciangkun.”

“Bohong!”

“Terserah penilaianmu. Hadapkan aku kepada The-ciangkun dan biarlah beliau yang menentukan apakah aku bohong atau tidak.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: