*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 126

Kalau sudah berjalan seorang diri di dalam hutan seperti itu, Hong Ing merasa hidup di dunia lain, dunia yang tidak ada lagi kesunyian baginya karena semua di sekelilingnya seperti telah menjadi satu dengan dirinya, membuat dia tidak lagi kehilangan orang tuanya yang telah tiada.

Ketika pagi hari itu dia dengan wajahnya yang cantik segar kemerahan berseri-seri, seperti peri jelita penjaga hutan itu sendiri, berlari-larian kecil mengejutkan burung-burung dan kelinci-kelinci, membuatnya tertawa terkekeh karena tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara auman keras dan suara jerit orang minta tolong.

Cepat laksana seekor kijang meloncat, Hong Ing melarikan diri menuju ke arah suara itu dan apa yang dilihatnya membuat dia terkejut sekali. Seekor harimau yang sebesar anak kerbau telah merobohkan seekor kuda dan penunggang kuda itu, seorang laki-laki berpakaian indah, ikut pula roboh dengan sebelah kaki tertindih tubuh kudanya. Kini harimau itu siap untuk menerkam orang laki-laki itu yang tadi menjerit minta tolong.

Dengan tiga loncatan saja Hong Ing telah tiba di tempat itu, berdiri di antara laki-laki dengan harimau. Binatang ini menggereng, memperlihatkan taringnya, dan matanya seolah-olah hendak menyihir Hong Ing. Di dalam hatinya, dara itu merasa gentar juga karena selamanya belum pernah dia melawan harimau.

Akan tetapi karena maklum bahwa kalau dia tidak turun tangan tentu laki-laki itu akan menjadi korban harimau, dia sudah siap dan meloloskan saputangan yang biasanya diselipkan diantara kancing bajunya. Dengan gerakan hati-hati Hong Ing memutar-mutar saputangannya sehingga ujungnya menjadi sebuah cambuk, matanya tak pernah berkedip menentang pandang mata harimau itu.

Adapun laki-laki yang masih rebah itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, bahkan dia kini berhasil menarik kakinya dari tubuh kudanya yang sekarat, lalu bekata,

“Awas Nona.... harap lekas menyingkir...!”

Ucapan ini memperkuat keputusan Hong Ing untuk menolong laki-laki itu. Seorang yang terancam bahaya maut seperti laki-laki itu akan tetapi masih ingat untuk mengkhawatirkan keselamatan orang lain, tentulah seorang yang baik budi dan patut ditolong.

Akan tetapi ucapan laki-laki itu seolah-olah menjadi aba-aba bagi sang harimau yang sudah menggereng keras dan meloncat tinggi menubruk ke arah Hong Ing dengan mulut terbuka lebar dan kedua kaki depan siap mencakar dan merobek-robek kulit daging lunak halus dari dara itu!

“Celaka...!”

Laki-laki itu berseru dan kini dia sudah mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja melangkah setindak, dia hampir jatuh karena ternyata kakinya yang terhimpit kuda tadi terkilir. Akan tetapi, laki-laki itu terbelalak dan memandang dengan mata penuh kagum melihat betapa dengan ringan dan cepat dara itu sudah meloncat ke kiri dan ketika tubuh harimau besar itu lewat, dia melihat dara itu mengebutkan sehelai saputangan sutera putih yang mengeluarkan bunyi meledak nyaring dan harimau itu terjungkal dan menggereng-gereng, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kiri saja karena mata kanannya sudah hancur dan bercucuran darah!

Karena nyeri dan marah, harimau itu mengaum dan sekali lagi meloncat dengan dahsyat sekali menubruk si dara muda dan sekarang laki-laki itu lebih bengong lagi melihat betapa dara itu pun meloncat menyambut terkaman si harimau, saputangannya kembali meledak, kakinya di udara menendang dan tubuh harimau itu terlempar sampai tiga meter, jatuh terbanting dan mata kirinya juga sudah hancur. Harimau itu menggereng-gereng, lalu seperti gila menubruk sana-sini, lari sana-sini akhirnya kepalanya menumbuk sebuah batu karang besar, pecah dan roboh berkelojotan, kemudian tak bergerak lagi!






Laki-laki itu sejenak tak dapat berkata-kata, memandang ke arah bangkai harimau, kemudian menghampiri Hong Ing yang menyeka keringatnya dengan seputangannya. Betapapun juga, tadi dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya untuk mengalahkan binatang yang kuat dan galak itu.

Laki-laki itu seperti merasa berada dalam mimpi. Hampir dia tidak dapat percaya, apalagi setelah kini berhadapan dekat dengan dara itu. Seorang dara yang usianya baru belasan tahun, tujuh belas tahun, dapat membunuh harimau dengan cara demikian aneh dan mudah, hanya bersenjata sehelai saputangan yang kini dipakai menghapus keringat yang membasahi leher! Bukan main!

“Nona...” Laki-laki itu menjura. “Nona telah menolong nyawaku dan aku tidak mungkin diam saja. Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Pangeran Han Wi Ong dari kota raja. Aku sedang berburu, akan tetapi tersesat dan terpisah dari para pengawal sampai di tempat ini. Ketika tadi harimau muncul, kudaku terpeleset dan diterkam, kemudian... ah, aku tentu telah menjadi makanan harimau kalau Nona tidak datang menolong.”

Diam-diam Hong Ing terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang yang ditolongnya adalah seorang pangeran dari kota raja! Putera Kaisar! Akan tetapi karena dia selamanya tinggal di gunung dan tidak mengenal tata susila cara bangsawan, dia hanya membalas penghormatan dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu menjawab,

“Harap Pangeran tidak bersikap berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk saling menolong apabila melihat orang terancam bahaya. Nah, bahaya sudah lewat, saya mohon diri, Pangeran.”

Hong Ing sudah membalikkan tubuhnya, akan tetapi laki-laki yang gagah tampan, dan usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian indah sekali itu berseru,

“Tahan dulu, Nona. Setidaknya harap Nona sudi memperkenalkan nama dan dimana tempat tinggal Nona. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa menyesal dan merasa berdosa tidak mengenal nama penolongku yang telah menyelamatkan nyawaku.”

Karena sikap pangeran itu sopan dan tutur sapanya halus, Hong Ing menjawab terus terang,

“Namaku Pek Hong Ing, dan aku tinggal bersama guruku, Go-bi Sin-kouw, dan suciku di puncak sana itu.”

Setelah berkata demikian, dara itu berkelebat dan lenyap dari depan Pangeran Han Wi Ong. Pangeran itu makin kagum, sejenak dia terpesona dan kemudian dia menarik napas panjang dan berkata seorang diri,

“Dialah yang patut mendampingi aku selama hidupku. Cantik jelita, muda, jujur, dan memiliki ilmu kepandaian yang dapat menjadi pelindungku selamanya! Go-bi Sin-kouw...? Hemm, harus kupinang dia!”

Demikianlah, pada keesokan harinya, Pengeran itu telah bersama dengan rombongan pasukan pengawalnya mendatangi pondok Go-bi Sin-kouw dan dengan jujur dan langsung karena dia pun terkenal jujur dan terang-terangan, mengajukan pinangan kepada Hong Ing untuk dijadikan isterinya!

“Hendaknya Sin-kouw yakin bahwa saya ingin mengambil Nona Pek Hong Ing sebagai isteri sah, bukan sebagai selir dan pernikahan antara kami akan dirayakan besar-besaran di istanaku. Andaikata kelak saya mempunyai keberuntungan menjadi kaisar, dia pasti menjadi permaisuriku!”

Tentu saja hati nenek itu menjadi bangga bukan main. Serta-merta dia menerima pinangan itu, karena bukankah dia yang berhak penuh atas diri murid-muridnya? Hong Ing sudah yatim piatu dan sejak kecil dididiknya, maka dengan berani dia menerima pinangan, bahkan menerima tanda ikatan jodoh berupa pedang bergagang mutiara dan emas dan menerima ketentuan bahwa sebulan lagi Sang Pangeran akan mengirim pasukan menjemput isterinya!

“Demikianlah, Kun Liong,” kata Hong Ing melanjutkan ceritanya dan suaranya kini tergetar penuh kedukaan hati yang ditahan-tahan, “kau dapat membayangkan betapa hancurnya hatiku. Aku oleh Subo dianggap seperti seekor binatang saja, begitu mudah dijodohkan, atau sebuah benda yang mudah saja dihadiahkan kepada seorang pria. Memang harus kuakui bahwa Pangeran Han Wi Ong seorang laki-laki yang gagah, baik dan juga berkedudukan tinggi. Akan tetapi usianya sudah empat puluhan tahun, sepantasnya menjadi ayahku, mana aku dapat suka menjadi isterinya? Aku menangis dan menolak, akan tetapi Subo adalah seorang yang berkemauan baja dan dia lebih baik melihat aku mati di depan kakinya daripada melihat aku menolak dan dia harus membatalkan perjanjiannya dengan seorang pangeran. Apalagi karena sudah belasan kali aku menolak pinangan orang, maka Subo menjadi marah dan memaksa aku dengan ancaman mati. Aku sudah putus harapan dan malam itu aku sudah menggantung diri, hendak membunuh diri...”

“Hong Ing...!”

Kun Liong terkejut sekali dan tak terasa lagi dia memegang lengan dara itu, mukanya menjadi pucat.

Hong Ing tersenyum pahit menyaksikan sikap pemuda gundul itu.
“Agaknya baru sekaranglah aku bertemu dengan orang sebaik engkau, Kun Liong, yang begitu memperhatikan nasib diriku. Aku ditolong oleh Suci yang menurunkan aku dari gantungan, menangisi aku dan menghiburku. Dia mengingatkan aku bahwa kami telah berhutang budi kepada Subo dan sudah sepatutnyalah kalau aku membalas budi Subo dengan mentaati perintahnya. Pula, demikian kata Suci, bukankah aku menjadi istri seorang pangeran dan bahkan besar kemungkinan menjadi permaisuri? Kalau aku membunuh diri, berarti aku menghina Subo dan Subo tentu akan tercemar terhadap keluarga kaisar, mungkin akan dianggap sebagai pemberontak.”

“Hemm, nasibmu sungguh buruk, Hong Ing. Lalu bagaimana engkau sampai menjadi nikouw?”

“Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melarikan diri dari puncak Go-bi-san. Aku lari pada malam hari dan terus melarikan diri sampai akhirnya aku tiba di Kuil Kwan-im-bio itu, dimana tinggal belasan orang nikouw dikepalai oleh seorang nikouw tua yang saleh. Aku menghadap kepada Biauw Kwi Nikouw, ketua kuil itu, dan minta supaya diterima menjadi nikouw. Kupikir bahwa kemana pun aku pergi, tentu Subo dan Suci akan dapat mencari dan memaksaku. Akan tetapi setelah aku menjadi nikouw, kiranya mereka takkan berani mengganggu seorang yang sudah memilih hidup suci. Untuk membebaskan diri dari pernikahan yang tidak kusuka itu, aku rela mengorbankan hidupku menjadi nikouw, biarpun di dalam hatiku sungguh mati aku tidak berniat menjadi seorang pendeta.”

Kun Liong mengangguk-angguk dan hanya di dalam hatinya dia berkata bahwa memang amat tidak patut dan terlalu amat sayang sekali seorang dara berusia tujuh belas secantik Hong Ing ini harus menjadi nikouw gundul yang selama hidup tidak berurusan dengan dunia!

“Mula-mula Biauw Kwi Nikouw menolak dan aku sudah hampir putus harapan...”

“Aih, mengapa menolak orang hendak menjadi nikouw dengan suka rela?” tanya Kun Liong terheran.

Hong Ing melanjutkan penuturan pengalamannya. Ketika dia menghadap Biauw Kwi Nikouw untuk diperkenankan menjadi nikouw, nikouw tua itu berkata.

“Nona, engkau masih muda dan cantik sekali. Kalau engkau menjadi nikouw disini, berarti engkau akan mencari malapetaka dan kami pun terkena getahnya. Tidak, kami tidak berani menerimamu menjadi nikouw di sini, Nona.”

“Mengapa, Subo? Apa yang telah terjadi?”

“Sudah ada tiga orang muridku, nikouw-nikouw muda, mati menggantung diri dalam waktu sepekan ini.”

Hong Ing terkejut.
“Mati menggantung diri? Mengapa?”

“Karena mereka tidak sudi lagi hidup di dunia setelah mereka tercemar.”

“Tercemar?”

“Ya, diperkosa seorang laki-laki, omitohud...”

Hong Ing meloncat bangun.
“Laki-laki mana yang berani memperkosa nikouw?”

“Ah, kami tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi selama sepekan, berturut-turut tiga orang nikouw muda diculik dari kamarnya, dibawa ke hutan dan diperkosa. Pada keesokan harinya, mereka itu satu-satu menggantung diri sampai mati. Nah, dengan adanya peristiwa ini, apakah Nona masih ingin menjadi nikouw di sini dan terancam bahaya?”

“Aku tetap ingin menjadi nikouw, dan harap Subo tidak khawatir. Aku akan menangkap dan menghajar binatang busuk itu!”

Demikianlah, karena desakan Hong Ing, akhirnya dara ini digunduli rambutnya, diberi pakaian nikouw dan menjalanken upacara sembahyang menjadi nikouw, disaksikan oleh belasan orang nikouw yang menjadi murid Biauw Kwi Nikouw. Hong Ing menangis tersedu-sedu, akan tetapi betapapun juga, kepalanya sudah menjadi gundul licin dan ditutupi dengan penutup kepala berwarna putih.

Malam hari itu, sengaja Hong Ing keluar seorang diri dan berjalan-jalan di sekeliling kuil untuk menjadikan dirinya sebagai “umpan” memancing datangnya laki-laki terkutuk yang sudah memperkosa tiga nikouw den menyebabkan mereka membunuh diri. Para nikouw lain yang maklum akan usaha nikouw baru ini, mengintai dari tempat aman dengan hati berdebar tegang.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: