*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 128

“Bagalmana... kalau... kalau mereka memaksamu menikah?” Kun Liong masih bertanya ketika kedua orang gadis itu sudah berjalan pergi lagi.

Tanpa menengok Hong Ing menjawab,
“Mudah saja membebaskan diri dari segala keruwetan dunia ini!”

Kun Liong masih berdiri pucat setelah bayangan dua orang gadis itu tidak tampak lagi. Ucapan Hong Ing itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bunuh diri. Kematian memang menjadi jalan yang paling mudah untuk membebaskan diri dari segala macam keruwetan dunia.

“Nona Ing...!”

Dia mengeluh dan menghapus dua bintik air matanya dan dia kaget sendiri. Apa artinya ini? Mengapa dia merasa begini sengsara, merasa begini kesepian setelah Hong Ing pergi? Ah, apakah aku telah gila, pikirnya dan dia membalikkan tubuh, lalu berlari-lari cepat sekali menuju ke Kwi-eng-pang herusaha untuk mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu otaknya.

Betapapun juga, masih saja wajah cantik jelita penuh kelembutan, mata yang bening dan sedalam lautan, sikap halus penuh pengertian itu selalu terbayang di depan matanya sampai kadang-kadang Kun Liong berhenti berlari, mengusap mukanya, mengeluh, kemudian berlari lagi secepatnya.

Dengan bantuan peta yang dahulu dibuatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong untuknya, Kun Liong dapat menyeberangi Telaga Setan. Dia menemukan sebuah perahu kecil di semak-semak di tepi telaga, kemudian dengan mengambil cara memutar sesuai dengan petunjuk di peta, dia mendayung dan menyeberangi Kwi-ouw menuju ke pulau di tengah telaga itu.

Sesuai dengan petunjuk di dalam peta itu, dia menyeberangi Kwi-ouw di waktu malam terang bulan dan mengemudikan perahunya melalui bagian-bagian tertentu, menyelusup alang-alang, melintasi bawah sebuah jembatan yang menjulur ke telaga, kemudian melalui semacam pintu dari dinding batu karang dan akhirnya dia dapat mendarat di tepi pulau sebelah timur, bagian yang tebingnya amat terjal dan terdiri dari batu karang yang amat kuat berwarna hitam kemerahan.

Dia menggunakan tali yang berada di perahu untuk mencancang perahunya pada batu karang, kemudian dia mengaso dan tidur di atas perahu kecil, dibuai ombak sehingga tidurnya enak sekali. Dalam tidur itu dia bermimpi bertemu dengan Hong Ing, melihat Hong Ing menjadi pengantin dan diarak dengan joli, akan tetapi di tengah jalan dara itu menangis dan dia lalu mengobatinya seperti dahulu, hanya melihat sebagian pinggul gadis itu saja!

Dia terbangun dan di ufuk timur sudah tampak sinar kemerahan yang belum muncul. Tertawa sendiri dia mengingat akan mimpinya. Mengapa pinggul itu tak pernah dapat dia lupakan?

Mulailah Kun Liong mendaki batu karang, dibantu dengan alat yang telah disediakannya sebelumnya sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong, yaitu dua batang besi kaitan. Biarpun dia seorang ahli sin-kang yang kuat dan dapat merayap ke atas dinding seperti seekor cecak, namun mendaki tebing itu merupakan perbuatan berbahaya sekali dan bermain-main dengan maut tanpa dibantu dua buah kaitan itu, karena tebing itu selain curam, juga licinnya bukan main penuh dengan lumut yang tercipta dari air yang tersinar panasnya matahari.






Akhirnya dengan perasaan lega dia dapat mencapai puncak tebing, lalu melempar kedua kaitannya di atas batu dan mulailah dia berloncatan menuju ke tengah pulau, ini pun dia lakukan dengan hati-hati, dengan perhitungan ke kanan kiri mengatur langkahnya dan menghitung langkah karena tempat ini pun tidak terluput penuh dengan jebakan-jebakan yang amat berbahaya.

Dia sudah menghafalkan lebih dulu petunjuk dalam peta, maka dengan enaknya dia dapat berloncatan dengan selamat sampai akhirnya dia tiba di depan pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Kwi-eng Niocu, Ketua Kwi-eng-pang. Dia masih ingat tempat ini dan tersenyum ketika teringat betapa dia pernah ditangkap oleh para pelayan seperti orang-orang menangkap ikan saja.

Peta itu dia butuhkan hanya untuk menunjukkan jalan kepadanya. Setelah sampai di depan pondok musuhnya ini dia tidak perlu lagi bersikap sembunyi-sembunyi. Dia menggunakan peta hanya agar dapat bertemu dengan Kwi-eng Niocu. Dia datang bukan sebagai pencuri, perlu apa sembunyi-sembunyi? Maka Kun Liong berdiri dengan tegak di depan pondok itu, mengangkat dada dan mengerahkan khi-kangnya berteriak nyaring sekali,

“Kwi-eng Niocu...! Keluarlah, ini aku Yap Kun Liong ingin bertemu denganmu untuk bicara...!”

Gegerlah pulau itu karena suara Kun Liong bergema dahsyat sampai ke seluruh permukaan pulau. Para petugas yang menjaga di sekitar pondok, yang tadinya tertidur karena memang tidak menyangka akan ada sesuatu, serentak bangun, menyambar senjata dan berlari-larian datang mengurung Kun Liong.

Akan tetapi pemuda ini tenang-tenang saja dan ketika seorang di antara mereka, seorang komandan penjaga menodongkan tombaknya di depan dadanya sambil membentak agar dia menyerah, Kun Liong menggerakkan tangan dan tombak itu sudah pindah ke tangannya, kemudian dipatah-patahkannya tombak itu seperti mematah-matahkan sebatang biting (lidi) saja! Semua penjaga menjadi bengong dan Kun Liong berkata,

“Aku tidak berurusan dengan kalian. Aku mau hicara dengan ketua kalian Kwi-eng Niocu!”

Karena melihat pemuda itu sedemikian lihainya dan benar saja tidak bergerak apa-apa, mereka lalu mundur dan mengurung dengan membuat lingkaran lebar sambil menanti datangnya ketua mereka untuk menerima perintah.

Tak lama kemudian, dari dalam pondok itu terdengar suara, pintu pondok terbuka dan muncullah tiga orang dengan sikap garang. Seorang wanita setengah tua yang sikapnya agung berdiri di tengah. Wanita ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru kurang dari empat puluh tahun, tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih lemah gemelai ketika melangkah menuruni anak tangga depan pondoknya.

Di sebelah kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai. Dan di sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya.

Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu, tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan bulu matanya! Namun langkahnya masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa, menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik dan tentunya amat lihai, melihat sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling kanan.

Melihat pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri dan seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya,

“Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!”

Kakek itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung khi-kang yang kuat sekali!

“Hua-ha-hah-ho-hoh! Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!”

“Aku yakin dia ini yang menyembunyikan bokor emas yang aseli. Hai, orang muda, bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah dimana adanya bokor yang aseli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia di pulau ini!”

Kun Liong cemberut, menyembunyikan kepanasan hatinya mengingat bahwa mereka ini adalah seorang diantara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang masib hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya. Namun dia dapat bersikap tenang karena dia ingin mendapatkan lebih dulu pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata,

“Kwi-eng Niocu, dahulu aku telah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu-menahu tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli. Yang penting aku datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku memberikan bokor kepadamu? Nah, aku datang untuk menerima sebatang pedang pusaka dan sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda lama yang menjadi pusaka Siauw-lim-si. Harap engkau sebagai seorang yang terkenal, sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke Siauw-lim-si.”

“Yap Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang tidak akan melanggar janjinya. Dahulu memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah benda Siauw-lim-si kalau ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena itu, tidak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda palsu.”

“Hemmm, tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu jelas adalah milik Siauw-lim-si yang kalian curi. Maka sekarang aku datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apapun yang terjadi!” Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap menantang.

“Gundul sombong!” Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan. “Ketahuilah dahulu aku yang mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus menempuh kesukaran, yang mengandalkan kepandaian. Kalau engkau ada kepandaian, boleh kau coba merampasnya kembali dari tanganku!”

Liong Bu Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biarpun potongan mukanya paling cantik di antara mereka bertiga. Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini benar-benar amat menyayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini!

Akan tetapi dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh seorang diantara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit. Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup sutera kuning.

Setelah mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut lepas kain kuning dan tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka Siauw-lim-si yang dahulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini!

Kun Liong memandang Bu Kong dan berkata,
“Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan kepadaku?”

Liong Bu Kong tertawa mengejek.
“Kita lihat saja nanti, tapi coba lebih dulu kau lawan aku, Gundul!”

Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong sudah mencabut sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiem (Pedang Kilat) yang ampuh!

“Bu Kong jangan bunuh dia, aku masih membutuhkannya!” Kwi-eng Niocu berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.

“Ha-ha, jangan khawatir, Ibu. Aku hanya ingin menggurat beberapa garis di atas kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah ini!”

Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar ke arah leher Kun Liong.

Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Boleh jadi bagi umum, ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguhpun dibantu oleh sebatang pedang seampuh itu.

Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini dikejar bayangan pedang. Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga dia mampu menyentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: