*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 131

Akan tetapi Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra, sedangkan kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apalagi mereka berada di depan banyak orang.

Cia Giok Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara, tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan yang sudah siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng!

Setelah itu, Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo. Adapun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Niocu seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata.

“Kwi-eng Niocu, sekarang tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundaku!”

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat.
“Kau... sudah tahu? Hi-hi-hik!” Dia memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya pemuda gundul ini. “Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah bundamu!”

Sementara itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di bawah sinar penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.

“Bu Kong, bantulah aku!”

Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya karena sebagian bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong sehingga membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari tangan pemuda itu sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong.

Akan tetapi seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tidak mempedulikan ibunya, bahkan dia lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata,

“Nona Cia Giok Keng, selamat datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu? Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!”

“Keparat!”

Giok Keng menjadi merah sekali mukanya. Harus dia akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andaikata Bu Kong tidak bersikap semanis itu di depan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih merasa bangga daripada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apalagi di depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Maka sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan kilat.

“Cringgg!”






Bu Kong menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke Cin-ling-san. Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur.

Betapapun juga, pemuda ini bukan orang sembarangan dan dia sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan.

Setelah ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi Sian menjadi repot sekali. Biarpun dia juga seorang dara yang berilmu tinggi, namun ilmunya kalau dibandingkan dengan Giok Keng kalah jauh, apalagi dibandingkan dengan kepandaian Thian-ong Lo-mo! Dia terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa mengejek.

“Huah-ha-ha, mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha!” kakek itu agaknya girang sekali dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya.

Namun Hwi Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan memutar pedangnya dengan gerakan nekat.

“Wirrrr...!” Senjata gergaji itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.

“Plak... krekkk!”

Hwi Sian mengeluh karena hampir saja telapak tangannya terkupas kulitnya ketika dia hendak mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala Hwi Sian, ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke bawah.

“Plakkk!”

Telapak tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sin-kang yang beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.

“Huah-ha-ha!” Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.

“Plak! Bukkk...! Aadouuuhhh...!”

Kakek raksasa itu terhuyung mundur. Tadi lengannya yang memegang senjata kena ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untung bahwa Hwi Sian terancam maut, Kun Liong melihatnya maka pemuda ini cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sebetulnya sudah terdesak untuk menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.

“Kun Liong, aku... terluka... ahhh...” Hwi Sian mengeluh tak dapat bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.

“Jangan khawatir, aku melindungimu!”

Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang, diimbangi tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat. Hebat bukan main permainan ini sehingga biarpun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi Sian yang rebah miring.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan kacau balau di mana anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar biasa sehingga mereka menjadi panik.

Adapun Tio Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut, yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang amat lihai. Ketika dia menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia berseru,

“Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan pengeroyokan, Akulah lawanmu!”

Jelas nampak betapa kakek raksasa ini jerih ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati) dan amat lihai ini. Namun dia juga menggereng keras, dan senjatanya juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini. Kini Kun Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.

“Kun Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari sini...”

Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab, melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.

“Cring-trak-trakkk... aihhh...!”

Kwi-eng Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan melibat pedangnya sehingga tak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.

Kun Liong juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu menjerit dan jatuh berlutut, ketika tenaga sin-kangnya membanjir keluar disedot melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.

“Auuughhh... celaka...!”

Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya. Celakanya kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapat digerakkan pula dan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang untuk menarik tangannya yang melekat, makin banyak sin-kangnya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sin-kang, makin banyak pula tenaga saktinya keluar.

“Oughhh... lepaskan aku... ampunkan aku...”

Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon. Kun Liong mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi-i-beng sambil membayangkan kematian ayah dan ibunya di tangan nenek ini dan datuk-datuk hitam lain yang telah tewas.

Wajah nenek itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sin-kangnya makin lama makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau mengampuninya, karena sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh dia dan teman-temannya ketika itu.

Maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, menggunakan tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

Pada saat itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi-i-beng karena di dalam hatinya timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu telah mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.

“Crottt.. aughhh...!”

Nenek itu roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan, matanya melotot memandang ke arah Kun Liong!

Kun Liong berdiri seperti arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu, hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia tahu bahwa nenek itu membunuh diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya. Kalau dia menganggap nenek ini jahat karena membunuh ayah bundanya, lalu apa bedanya dengan dia sendiri kalau dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek itu, maupun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Kun Liong... aduh... kakiku...!”

Keluhan suara Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang lihai itu dan para perajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka parah dan matang biru, tahulan dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.

“Kemana Nona Cia Giok Keng?” tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia tidak melihat gadis itu.

“Dia... tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh...” Hwi Sian merintih dan merangkul leher Kun Liong.

“Hemmm, jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar!”

Kun Liong berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara ini.

Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu.

“Mereka tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!”

Kun Liong merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung perahu itu dengan cepat dengan harapan akan dapat menyusul Cia Giok Keng yang dikhawatirkannya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: