*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 133

Pada keesokan harinya, setelah cahaya matahari pertama memasuki kuil, tampak Kun Liong duduk bersandar dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai. Keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian yang kusut masai itu.

Wajah keduanya agak pucat, namun di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, mata yang masih kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biarpun ada air mata di pipinya.

Kun Liong kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian, biarpun dia kelihatan masih terpesona oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat. Baru teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua telah menjadi seperti orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti nafsu berahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk.

Barulah dia meragukan apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl! Dan bagi Hwi Sion sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada pria yang dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkm diri kepada pria lain yang tak dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak mampu menjawabnya.

“Kun Liong...” Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur dan kelelahan.

“Hemm...”

“Aku... aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!”

“Heiii!” kun Liong melepaskan pelukannya, menjauhkan diri dan membereskan pakaiannya. “Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapapun aku masih percaya bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!”

Hwi Sian tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian, menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.

“Kun Liong,” kata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga kelihatan manis sekali. “Aku tadinya mengharap, setelah peristiwa semalam, kalau-kalau engkau akan jatun cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun Liong?”

“Hwi Sian!” Kun Liong berkata agak keras. “Ingatlah bahwa engkau yang minta sehingga terjadi peristiwa semalam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya, bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar dari kenekatanmu. Sekarang, berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghion.”






Mata itu terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik,

“Aku berjanji.”

“Kau bersumpah?”

“Aku bersumpah.”

“Nah, begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa selamanya aku tidak akan lupa kepadamu, Hwi Sian dan dengan sepenuh hatiku aku doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah bahwa cinta yang kau kira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kau temukan bersama Tan-enghiong...”

“Tidak mungkin!” Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!

“Jangan bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup oleh cinta kepada sesuatu yang lain lagi. Cinta seperti yang kau rasakan terhadap diriku hanyalah nafsu berahi yang didorong oleh rasa suka dan kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apalagi menjadi benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal.”

“Kun Liong...!”

Kun Liong yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh sambil tersenyum.

“Sudahlah, Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia hidup di samping Tan-enghiong daripada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan jauh lebih berat daripada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!” Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.

“Kun Liong...!”

Hwi Sian mengeluh dan menangis. Tak lama kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam tuhuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.

Setelah berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong, tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya dalam hutan yang sunyi itu.

Pikirannya melayang, mengenangkan peristiwa semalam. Peristiwa luar biasa yang merupakan pengalaman pertamanya, demikian pula bagi Hwi Sian dan seribu satu macam pikiran mengaduk diotaknya.

Berdosakah dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... makin dibayangkan, makin khawatirlah hati Kun Liong dan mulailah dia menyesali kelemahannya sehingga dia membiarkan dirinya terseret.

Itu bukan cinta! Itu hanyalah nafsu berahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu berahi? Dengan suka rela Hwi Sian mengajaknya, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana? Dia bergidik.

Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi Sian semalam. Celaka dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati bujukan nafsu berahi tak kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang, menjadi hamba nafsu berahi, jangan-jangan dia kelak akan menjadi jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!

“Dessss! Kraaaakkkk!”

Suara hatinya “tidak sudi” tadi disuarakan melalui mulutnya dan diikuti dengan meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!

“Aku sudah gila!” katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput.

Mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan kanan, termenung seperti patung.

Harus diakuinya, sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh, mendekap dan mencium wanita. Sekarang, setelah dia mengalaminya semalam, dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapapun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya!

Salahkah ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia suka memandang yang indah-indah diantaranya wajah dara yang cantik dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia kalau dia suka mencium yang harum-harum dan sedap, diantaranya mencium bunga dan mencium bibir seorang dara? Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, diantaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang lezat-lezat, salahkah kalau dia menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari-cari! Rasa suka akan semua itu memang sudah ada padanya!

Kalau tidak ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian dan Bi Kiok, sungguhpun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama sekali dengan Hwi Sian. Kalau dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?

“Tidak sudi! Desss... pyuuuurr...!”

Sebuah batu besar yang berada di sampingnya pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya!

Dan setelah debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang dara jelita yang langsung menegur.

“Apakah engkau sudah menjadi gila? Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!”

Tadinya Kun Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin berkepanjangan dengan dara itu, setelah apa yang mereka perbuat bersama semalam. Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul adalah Cia Giok Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!

“Ah, tidak... Nona. Saya... sudah latihan... dan... eh, bagaimana Nona dapat tiba di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu...”

Giok Keng meragu untuk menjawab. Bagairnana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini mengejar Liong Bu Kong yang melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh, akhirnya berhasil memancing Giok Keng mengejarnya dengan perahu meninggalkan pulau di Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan. Giok Keng terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali kalau dia tidak dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu.

Hari telah menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam sebuah hutan lebat. Pemuda itu sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata,

“Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu benci kepadaku? Padahal, aku cinta padamu, Nona. Sampai kini pun belum pernah lenyap harapan hatiku untuk dapat berjodoh dengan seorang dara jelita dan perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?”

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah daripada dahulu! Dia sendiri heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apalagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan diam-diam hatinya telah terpikat!

Akan tetapi, sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak,

“Manusia jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang amat dalam, dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!”

“Aku memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andaikata kepandaianku lebih tinggi sekalipun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona.”

“Singggg...!”

Giok Keng sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar putih berkilau ketika Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) terhunus.

“Hayo cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!” Dara itu membentak.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: