*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 135

“Karena ayah ibumu telah meniggal dunia, sebagai supekmu boleh dibilang aku adalah walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok Keng.”

Dia dijodohkan dengan Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur! Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang terkenal. Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama sekali kepada hidung dara itu yang bentuknya amat manis!

Tapi, membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai suami isteri, tidak bebas lagi, terikat dan diancam bahaya pertengkaran karena cemburu dan kesalah pahaman yang lain, dia merasa ngeri juga! Kemudian teringatlah dia akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di dalam hatinya menentang perjodohan ini!

Cepat dia menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan sejenak, kemudian Kun Liong bertanya,

“Engkau sudah tahu tentang ini?” Dia menepuk saku bajunya.

Giok Keng mengangguk.

“Dan bagaimana pendapatmu?”

Giok Keng menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu.”

“Engkau agaknya tidak setuju.”

“Memang, mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah dicinta oleh dara lain?”

“Giok Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian.”

“Dan kau... kau... eh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?”

“Tidak tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba.”

Sepasang mata dara itu yang amat jernih dan tajam kini memandang penuh selidik seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian terdengar pertanyaannya yang terang-terangan,






“Kun Liong, apakah engkau cinta kepadaku?”

Kun Liong cepat menggelengkan kepalanya yang gundul.
“Aku tidak mencinta siapa-siapa, Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh daripada cinta seperti yang kaumaksudkan itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!”

Sepasang mata itu makin tajam pandangnya ketika Giok Keng bertanya lagi,
“Kalau begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?”

Bukan main kaget hati Kun Liong mendengar ini.
“Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau pingsan dan...”

“Aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja, pura-pura masih pingsan. Kenapa engkau dahulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak cinta padaku?”

“Aihh, harap jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa pernapasanmu terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan hawa melalui mulutmu untuk menjalankan kembali paru-parumu yang berbenti bekerja. Mengertikah kau?”

Giok Keng mengangguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaa. Lega dan kecewa! Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta kepada Liong Bu Kong.

Akan tetapi pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak! Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini, walaupun dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!

“Kun Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?”

Mata Kun Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun harus bersikap jujur dan dia mengangguk.

“Tentu saja aku suka!”

Mata Giok Keng mengeluarkan sinar marah.
“Kau bilang tidak cinta kepadaku akan tetapi mengapa kau suka menciumku?”

“Mengapa tidak?” Kun Liong menjawab dengan terus terang pula. “Aku suka sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguhpun aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik menarik, apalagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku bilang bahwa aku cinta kepadamu.”

Diam-diam Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong. Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang dara, apalagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai bingung dan menduga-duga apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta seperti yang diduganya?

“Kun Liong, bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau seorang pria suka kepada seorang wanita atau sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah sebenarnya dan apakah cinta itu?”

Kembali kepala yang gundul itu bergerak digelengkan.
“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta seperti itu! Tidak, aku tidak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku kepada seorang wanita. Apalagi menikah. Setahuku, wanita adalah mahluk lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bebas lagi, setiap hari menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, dan celakalah aku. Tidak, aku tidak akan mencinta wanita, sungguhpun aku suka sekali kepada mereka, terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng.”

Alis Giok Keng berkerut. Betapa tidak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!

“Kun Liong...!” Tegurnya dengan kemarahan ditahan.

“Hemm...”

“Kurasa engkau ini seorang yang...”

“Ya...?”

“Seorang pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci dan bersih sendiri, dan kepala angin!”

Makin lebar mata Kun Liong, apalagi mendengar makian terakhir itu.
“Kepala angin?”

“Ya! Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Kau bilang tidak pernah mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah tentang cinta, ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci aku kepadamu!”

“Eh? Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau tidak cinta, lalu benci. Apakah hanya ada dua macam perasaan itu dalam hati wanita? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?”

Giok Keng makin bingung dan marah.
“Sudahlah, dari mana kau mendapatkan kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta kalau kau sendiri tidak pernah jatuh cinta?”

“Eh, dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran...”

“Huh, kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!”

“Benarkah? Sayang sekali.”

“Akan tetapi aku pun berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun Liong.”

“Eh, apa pula ini? Muak dan benci akan tetapi berterima kasih?”

“Setelah kau menyatakan dengan jujur bahwa kau tidak cinta kepadaku, tentu kita tidak setuju dengan ikatan jodoh di antara kita yang diadakan oleh ayah ibuku.”

“Ya, begitulah.”

“Dan kau tentu suka untuk menyatakan secara terus terang pula kepada ayahku bahwa kau tidak bisa menerima ikatan jodoh ini karena kau tidak cinta padaku, dan aku pun tidak cinta padamu.”

Kun Liong mengangguk-angguk.
“Sudah sepantasnya begitu. Aku akan menghadap ayahmu dan aku akan minta agar ikatan jodoh kita ini dibatalkan.”

Giok Keng bersorak girang, meloncat dan merangkul Kun Liong, lalu... mencium kepala gundulnya!

“Terima kasih, Kun Liong. Terima kasih!”

Dia meloncat pergi dan lari dari tempat itu, sehingga Kun Liong yang termangu-mangu, bengong meringis bingung dan mengusap-usap kepala gundulnya yang dicium tadi. Makin tidak mengertilah dia akan perangai wanita, terutama Giok Keng!

**** 135 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: