*

*

Ads

FB

Rabu, 16 November 2016

Petualang Asmara Jilid 145

Pemuda ini sudah tidak berdaya, tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia sudah dibebaskan dari belenggu, namun ada belenggu yang jauh lebih kuat daripada tali-tali itu, yaitu Hong Ing yang dijadikan sandera dan dia tidak tahu kemana dara itu dibawa. Tentu saja dia dapat memberontak dan melawan setelah tali itu terlepas dari kedua lengannya, akan tetapi hal itu sama artinya dengan membunuh Hong Ing!

“Suamiku yang baik, marilah kita bicara di dalam kamarku, agar kita dapat saling mengenal lebih baik lagi.”

Kim Seng Siocia tersenyum, menggandeng tangan Kun Liong dengan sikap mesra dan setengah menarik pemuda itu memasuki kamarnya yang megah dan mewah serta berbau harum.

Kun Liong tidak berani membantah dan kedua kakinya menggigil karena dia merasa seolah-olah dia telah menjadi seekor domba yang digiring memasuki tempat jagal dimana dia akan disembelih!

“Duduklah, Koko...”

Kim Seng Siocia mempersilakan dengan suara merdu dan mengandung kemanjaan yang membuat Kun Liong merasa bulu tengkuknya meremang. Begitu mesranya wanita ini menyebutnya koko (kakanda)! Dia tidak menjawab, hanya mengangguk dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi meja yang terukir indah.

Kim Seng Siocia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi pintu kamarnya, bertepuk tangan tiga kali. Muncullah dua orang wanita muda yang cantik, dua orang pelayan yang menggantikan Acui dan Amoi karena kedua orang pelayan kepala itu sedang membawa pergi Hong Ing.

“Sediakan makan minum yang paling istimewa untuk kami berdua. Cepat!”

Dua orang pelayan itu memberi hormat, meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintu kamar perlahan-lahan dari luar.

“He-he-he, hatiku riang gembira bukan main, Koko. Inilah saat yang kunanti-nanti selama hidupku. Aku benar-benar bahagia sekali.”

Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah bangku dekat Kun Liong dan pemuda ini dengan hati ngeri mendengar suara bangku itu menjerit saking beratnya beban yang menghimpitnya.

“Koko yang baik, engkau dari manakah dan siapa orang tuamu? Kelak aku tentu ingin sekali bertemu dan menyampaikan hormatku kepada ayah dan ibu mertua.”

Kun Liong bergidik. Aih, bagaimana akan sikap ayah bundanya andaikata mereka masih hidup dan melihat “anak mantunya” ini? Mukanya menjadi merah sekali dan dia berkata,

“Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan ayah bundaku sudah meninggal dunia, Siocia.”






“Emmm...!” Kim Seng Siocia membanting-banting kedua kaki di lantai dan menggoyang-goyang tubuhnya dengan sikap kemanjaan seorang anak kecil yang “ngambek”.

“Tidak mau ah kalau begitu! Aku sudah menyebutmu Koko, mengapa kau masih menyebutku Siocia? Suami isteri harus lebih mesra sebutannya!”

Aduh manjanya! Kun Liong bengong dan ingin menampar kepala gundulnya sendiri mengapa dia terpaksa harus melayani wanita seperti ini. Sudah tubuhnya seperti gajah, usianya tentu sudah tiga puluhan tahun, masih manja seperti seorang kanak-kanak, atau seperti seorang wanita cantik yang dipuja-puja seorang pria yang tergila-gila kepadanya! Bukan main! Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau wanita ini menjadi marah benar-benar, dia cepat berkata,

“Baiklah, aku akan menurut, akan tetapi aku tidak tahu sebutan apa yang harus kupakai.”

“Ihhh... hi-hik, suamiku masih bodoh! Eh, kau tentu masih perjaka tulen, ya? Hi-hik, kau sebut aku Moi-moi!”

Ampun! Demikian jerit hati Kun Liong. Pantas menjadi bibinya dan dia disuruh menyebut moi-moi (adinda)!

“Baiklah, Moi-moi!”

Kun Liong mengucapkan sebutan ini dengan suara sumbang karena baru pertama kali itulah dia menyebut wanita dengan sebutan adinda!

Tiba-tiba Kim Seng Siocia menangis! Menangis terisak-isak dan memegang kedua tangan Kun Liong. Pemuda ini makin kaget dan heran, mengira bahwa dia tentu telah melakukan kesalahan lagi diluar pengetahuannya.

“Hu-huu-hukkk... sungguh kasihan engkau, Koko... hu-huuk, dan sungguh sial sekali aku... belum apa-apa sudah kematian ayah dan ibu mertuaku...”

Disinggung tentang kematian ayah bundanya, kalau dalam keadaan biasa tentu sedikitnya hati Kun Liong akan merasa terharu juga. Akan tetapi sikap wanita ini keterlaluan, pakai menangis segala! Hanya anehnya, wanita ini menangis sungguh-sungguh, air matanya bercucuran, bukan dibuat-buat. Diam-diam Kun Liong merasa makin ngeri karena menduga bahwa tentu ada gejala-gejala tidak beres pada otak wanita ini.

Karena Kun Liong memang tidak mau banyak bicara, akhirnya Kim Seng Siocia menceritakan semua riwayatnya sendiri kepada Kun Liong yang didengarkan oleh pemuda ini penuh perhatian. Penuturan wanita itu begitu menarik hatinya sehingga dia tidak mempedulikan dan tidak merasa lagi betapa tangan Kim Seng Siocia yang besar itu kadang-kadang membelai tangannya dengan mesra, bahkan kadang-kadang tangan yang berjari besar itu merayap naik dan mengelus kepalanya yang gundul!

Memang cerita wanita itu menarik hatinya. Dia sudah pernah mendengar penuturan ibunya tentang seorang datuk wanita yang berjuluk Go-bi Thai-houw, yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, akan tetapi datuk ini adalah seorang yang miring otaknya. Ibunya bercerita betapa datuk wanita gila itu telah menimbulkan kekacauan besar, bahkan hampir saja berhasil merusak penghidupan ayah bundanya sendiri dan penghidupan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, yaitu Sie Biauw Eng. Betapa kemudian, berkat kesaktian Cia Keng Hong, akhirnya datuk wanita yang merupakan nenek iblis itu telah dapat dibinasakan oleh Cia Keng Hong.

Dan sekarang Kim Seng Siocia mengaku bahwa dia adalah bekas pelayan kecil dari Go-bi Thai-houw yang tersayang dan yang dijadikan ahli waris oleh nenek iblis itu!

“Thai-houw amat sayang kepadaku, Koko. Semua pusaka warisannya disimpan di tempat rahasia dan hanya aku yang diberi tahu. Oleh karena itu, hanya akulah yang dapat mewarisi kepandaiannya dan aku menjadi pemimpin di bekas istananya ini. Akan tetapi... u-hu-huuu... dia dibunuh mati orang, Koko!” Kembali Kim Seng Siocia menangis.

Kun Liong makin tertarik.
“Jadi... apa yang kau kehendaki, Sio... eh, Moi-moi?”

“Apalagi? Tentu membalas dendam kematian Thai-houw! Aku mendapatkan semua ini dari Thai-houw dan dia dibunuh orang!”

“Kalau begitu, dengan kepandaianmu yang tinggi, mengapa kau tidak sejak dahulu membalas dendam, Moi-moi”

“Aku... aku takut...”

“Eh...?” Kun Liong benar-benar terheran mengapa wanita aneh ini mempunyai rasa takut juga, maka dia melanjutkan pancingannya, “Begitu lihaikah musuhmu yang telah membunuh Go-bi Thai-houw?”

“Aku tidak takut kepadanya! Hemm, biar dia memiliki Thi-khi-i-beng sekalipun! Dahulunya memang aku tidak berani mengingat akan ilmunya itu, akan tetapi setelah aku mempelajari kitab peninggalan Thai-houw, dengan menggunakan cambuk ini, aku dapat membuat Thi-khi-i-beng tidak ada artinya! Kau lihatlah, Koko!”

Setelah berkata demikian, wanita ini meloncat dari bangkunya, menyambar cambuknya dan menuding ke atas, ke arah dinding di mana terdapat dua ekor cecak yang sedang bercumbuan dan saling berkejaran.

“Lihat dua ekor cecak itu!” katanya pula dan tiba-tiba terdengar suara meledak-ledak beberapa kali bersama sinar hitam menyambar-nyambar dan ketika Kun Liong memandang, ternyata dua ekor cecak itu telah terpotong-potong tubuhnya menjadi empat dan jatuh ke atas meja, sedangkan di dinding itu tidak nampak sedikit pun darah!

Diam-diam Kun Liong terkejut. Ternyata wanita ini tidak menyombong kosong tadi ketika mengatakan babwa dengan cambuknya dia amat lihai. Kalau dalam pertempuran tadi Kim Seng Siocia menggunakan cambuk seperti itu, dia tentu akan repot menghadapinya! Dan dia harus mengakui bahwa dengan senjata cambuk seperti itu, Thi-khi-i-beng tidak akan dapat dipergunakan karena tidak mungkin untuk menempel ujung cambuk dan menyedot sin-kang lawan melalui cambuk lemas yang panjang itu!

“Wah, kau hebat sekali, Moi-moi...” Kun Liong menekan hatinya karena dia bergidik melihat bangkai dua ekor cecak yang telah menjadi masing-masing empat potong itu di atas meja. “Dengan kepandaianmu itu, tentu engkau akan dapat menang melawan musuhmu, akan tetapi mengapa tidak juga kau lakukan?”

“Sudah kukatakan tadi, aku takut, aku takut gagal. Aku mau yakin akan kemenanganku, oleh karena itu... bertahun-tahun aku berdoa kepada Thian untuk mendapatkan jodoh seorang yang lihai dan yang akan dapat membantuku menghadapi musuhku yang sakti. Dan... hari ini aku telah mendapatkan jodoh yang kutunggu-tunggu itu, Koko yang tampan!”

Wanita itu hendak merangkulnya. Cepat-cepat Kun Liong mundur dan berkata,
“Moi-moi, belum kau katakan siapakah musuhmu itu, dia yang sanggup membunuh seorang lihai seperti Go-bi Thai-houw?”

“Dia? Dia adalah si keparat Cia Keng Hong, yang kabarnya sekarang menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san! Kau tunggulah, si keparat Cia Keng Hong! Tunggulah saat kematianmu kalau Kim Seng Siocia dan suaminya Yap Kun Liong datang membalas dendam! Koko, dengan bantuanmu, aku yakin bahwa kita akan dapat membunuh Cia Keng Hong. Aku melihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Orang seperti engkau inilah yang kutunggu-tunggu!”

Kembali Kim Seng Siocia hendak merangkul dan Kun Liong sudah bingung. Tiba-tiba datang pertolongan ketika pintu kamar terbuka dan dua orang pelayan tadi datang membawa hidangan yang masih panas dan serba mewah dan lezat. Dengan senyum manis dua orang pelayan itu menurunkan piring mangkok dan panci ke atas meja, juga seguci arak wangi.

“Harap singkirkan bangkai cecak ini...” kata Kun Liong kepada dua orang pelayan itu.

“Eihhh, mengapa? Dua ekor cecak itu merupakan lalap yang sedaaap!” kata Kim Seng Siocia yang mengusir kedua orang pelayannya dengan gerakan tangan.

Mereka pergi dan kembali menutupkan pintu kamar. Kun Liong hampir muntah. Bangkai cecak dipakai lalap? Biasanya orang lalap dengan sayur segar dan mentah! Akan tetapi dia tidak mencela karena dia mulai bersikap hati-hati sekali terhadap wanita ini setelah diketahuinya bahwa wanita ini adalah musuh besar Cia Keng Hong dan berniat menggunakan dia sebagai teman untuk membunuh pendekar sakti yang masih terhitung supeknya sendiri bahkan yang telah mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadanya itu!

Dengan menekan perasaannya, dia menemani wanita itu makan minum. Hanya dengan kekuatan luar biasa saja dia dapat bertahan ketika Kim Seng Siocia menggunakan sumpit menjepit bangkai cecak dan melalapnya dengan bunyi “kriuk! kriuk!” ketika giginya yang kuat mengunyah bangkai itu berikut tulang-tulangnya. Yang lebih menjijikkan lagi ketika Kim Seng Siocia menyumpit ekor cecak yang masih bergerak-gerak menggeliat itu, memasukkan benda yang masih hidup itu ke dalam mulut lalu mengunyahnya!

Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar tidak waras otaknya! Namun Kun Liong makan sampai kenyang tanpa bicara, hanya diam-diam dia mengasah otaknya mencari jalan keluar dari bahaya ini, terutama sekali bagaimana dia akan dapat menolong Hong Ing yang keselamatannya terancam bahaya maut.

Bukan hanya dari Kim Seng Siocia datangnya bahaya mengancam yang sewaktu-waktu dapat membunuh Hong Ing, melainkan juga dari Marcus yang jelas adalah seorang laki-laki yang tidak baik.

Setelah selesai makan minum yang bagi Kim Seng Siocia amat menggembirakan itu, wanita ini bertepuk tangan dan dua orang pelayan itu cepat muncul. Mereka disuruh membersihkan meja dan pada waktu itu, hari telah mulai menjadi petang. Seorang di antara mereka menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang sudah mulai gelap.

Setelah dua orang pelayan itu selesai membersihkan meja, menyalakan lampu dan membereskan pembaringan, menyapu lantai kamar, Kim Seng Siocia sambil tersenyum-senyum berkata kepada mereka,

“Sekarang panggil Acui dan Amoi ke sini, sementara itu, Pek Nikouw harus dijaga oleh selosin orang penjaga yang siap turun tangan membunuhnya begitu ada tanda rahasia dariku.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: