*

*

Ads

FB

Rabu, 16 November 2016

Petualang Asmara Jilid 148

“Tidurmu enak sekali, aku tidak tega membangunkanmu.”

“Kau...”

Kun Liong menahan kata-katanya dan menelan kembali pujiannya ketika teringat betapa semalam gadis ini kelihatan marah-marah dan kini dia tidak ingin melihat wajah yang berseri itu kembali marah, “kau... kelihatan segar sekali, Hong Ing.”

Senyum itu melebar dan untuk kedua kalinya Kun Liong menjadi silau. Hanya bedanya, kalau yang pertama dia silau oleh sinar matahari yang menyakitkan mata, kini dia silau akan kemanisan wajah dengan deretan gigi seputih mutiara yang menyedapkan mata, membuat dia bengong sejenak dan baru sadar kembali ketika dara itu berkata dengan wajah berseri gembira.

“Aku sudah mandi. Segar dan sejuk sekali, Kun Liong. Di sana...” Dia menuding ke timur, “hanya setengah li dari sini terdapat mata air yang jernih. Aku sudah mandi dan ketika kembali ke sini, aku menangkap seekor kelinci gemuk.”

“Kelinci...?” Tiba-tiba cuping hidung Kun Liong bergerak-gerak seperti hidung kelinci karena dia mencium bau yang gurih dan sedap. “Mana kelincinya?”

Melihat betapa lubang hidung pemuda itu persis hidung kelinci yang tadi ditangkapnya, Hong Ing terkekeh dan menutupi mulut dengan punggung tangan kirinya, gerakan kebebasan yang terselimut kesopanan tradisionil yang menjadi perpaduan harmonis sekali. Manis sekali.

“Hi-hik, kelincinya sudah tidak ada lagi, yang ada hanya daging kelinci panggang...”

“Sedaaap...!” Kun Liong memuji dan tiba-tiba perutnya terasa lapar sekali.

“Mandi dulu, baru aku mau menghidangkan daging panggang. Hayo, pemalas benar kau!”

Hong Ing mengebut-ngebutkan seranting daun-daun basah sehingga airnya bepercikan ke muka Kun Liong, sambil tertawa-tawa.

Senang benar rasa hati Kun Liong pagi itu. Semua perasaan pahit di hatinya terusir pergi oleh senyum di bibir dan seri di wajah dara itu. Dia berloncatan sambil berteriak-teriak,

“Ihhh... dingin... dingin!”

Lalu dia lari menuju ke timur seperti yang tadi ditunjuk oleh Hong Ing. Benar saja, dia mendapatkan sebuah mata air yang mengeluarkan air jernih sekali dan di bawah sumber air itu air telah tergenang, merupakan sebuah kolam air penuh dengan air kebiruan saking jernihnya.

Rumput-rumput yang tumbuh di pinggir kolam itu kacau-balau, meninggalkan bekas Hong Ing mandi tadi. Dengan hati penuh kegembiraan, kegembiraan luar biasa yang belum pernah terasa olehnya sepanjang ingatannya, Kun Liong lalu menanggalkan semua pakaiannya. Ketika hanya tinggal celana dalamnya yang tinggal menempel di tubuhnya, tiba-tiba dia berhenti dan bergidik karena teringatlah dia akan pengalamannya di dalam kamar tidur Kim Seng Siocia. Terbayanglah betapa dia menggigil penuh kengerian dan tiba-tiba dia tertawa dan membuka celana itu lalu melempar tubuhnya yang telanjang bulat ke dalam air.






Daging kelinci panggang itu memang sedap sekali, gurih manis dan lunak, amat lezat terutama sekali bagi perut mereka yang lapar. Seolah-olah terasa oleh Kun Liong betapa sari makanan itu setelah memasuki perutnya memulihkan tenaganya yang diserap habis oleh kelelahan dan kelaparan. Setelah menyiram daging panggang dalam perut itu dengan air jernih sebagai minuman, Kun Liong mengelus perutnya, memandang kepada Hong Ing dan berkata,

“Kau pandai benar memanggang daging kelinci. Selama hidupku baru sekali makan daging panggang begitu lezatnya!”

“Kau masih ingin lagi? Nih, kau makan bagianku!”

Hong Ing mengulurkan tangan yang memegang daging paha kelinci ke depan mulut Kun Liong.

“Eih, mengapa engkau begini baik hati kepadaku, Hong Ing?” tanpa disengaja, tangan kanan Kun Liong menangkap lengan yang kecil itu dan sejenak mereka berpandangan. Hong Ing cepat menundukkan mukanya dan Kun Liong melepaskan pegangan tangannya, “Kau makanlah sendiri, aku sudah kenyang! Ah, enak sekali masakanmu!”

Sepasang pipi itu menjadi merah dan mata itu jernih sekali ketika diangkat memandang. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Hong Ing menundukkan mukanya. Kun Liong terheran-heran. Mengapa pula ini? Hatinya menjadi berdebar dan terharu!

Biasanya, melihat wajah cantik seorang dara, dia ingin mengusapnya, ingin mendekat, ingin memeluk menciumnya, ingin menggodanya. Akan tetapi mengapa sekarang lain lagi? Hatinya seperti tersentuh sesuatu yang halus yang membuat dia memandang Hong Ing dengan perasaan penuh hormat, penuh iba, penuh haru.

Keadaan sunyi itu amat mengusik hati dan akhirnya Hong Ing tanpa mengangkat mukanya bertanya,

“Bagaimana engkau dapat muncul begitu tiba-tiba di istana Kim Seng Siocia?”

Lega hati Kun Liong mendengar suara ini. Inilah suara Hong Ing seperti biasanya, seperti sebelum peristiwa itu terjadi di istana, sebelum mereka saling berpisah dahulu itu dan suara ini mengusir semua suasana tegang dan aneh tadi.

“Tadinya aku hendak menyusulmu. Hatiku merasa tidak enak ketika aku melihat engkau pergi bersama sucimu itu, aku lalu menuju ke Go-bi-san dan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada penduduk dusun yang dapat memberi tahu dimana tempat tinggal Go-bi Sin-kouw. Akhirnya aku tiba di lereng puncak tempat tinggal Kim Seng Siocia tanpa kusengaja. Karena mengira bahwa itu adalah tempat tinggal gurumu, maka aku menyelundup masuk dan...”

“Kau berteriak memanggil nama Subo (Ibu Guru). Hemm, mengapa kau jauh-jauh dan bersusah payah datang ke Go-bi-san untuk mencariku?”

“Aku tidak rela melihat kau dipaksa orang untuk menikah dengan pangeran yang tidak kau suka. Aku kasihan melihat engkau yang sudah mengorbankan diri menjadi nikouw untuk menghindar dari paksaan itu, tidak berdaya dan terpaksa ikut dengan sucimu, seolah-olah engkau seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan. Karena itu maka aku segera mencarimu.”

“Kau baik sekali, Kun Liong.”

“Ah, tidak. Aku melakukan itu bukan karena ingin baik, melainkan karena aku kasihan kepadamu, penasaran melihat urusanmu. Tidak kusengaja.”

Keduanya terdiam sampai agak lama.

“Dan demi keselamatanku, kau mengorbankan dirimu, kau membiarkan dirimu ditawan oleh Kim Seng Siocia,” kata pula Hong Ing tanpa mengangkat muka dan jari-jari tangan yang kecil putih halus itu memainkan ujung rumput di depan kakinya.

“Tentu saja, Hong Ing! Masa setelah jauh-jauh mencarimu dan bertemu di situ, aku bisa membiarkan saja engkau dibunuhnya? Aku tidak berdaya, jalan satu-satunya hanya menyerah.”

“Dan kau membiarkan dirimu menjadi... suaminya?”

“Hemm, permintaannya yang gila!”

Kun Liong kembali bergidik terbayang akan pengalamannya di kamar itu.
“Akan tetapi, melihat betapa ancamannya untuk membunuhmu amat bersungguh-sungguh, terpaksa pula aku menyerah. Keselamatanmu lebih penting pada waktu itu...”

Tiba-tiba Hong Ing mengangkat mukanya dan terkejutlah hati Kun Liong ketika dia melihat sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kemarahan!

“Jadi kau anggap bahwa nyawaku lebih penting daripada kehormatanmu?”

“Kehormatan? Apa maksudmu?”

“Kau menyerahkan diri sebagai suami paksaan, bukankah itu berarti menginjak-injak kehormatan sendiri?”

Kun Liong menjadi bengong dan sejenak hanya dapat memandang dara itu.

“Begitu rendahkah kau? Mau saja menuruti nafsu menjijikkan seorang wanita gila seperti dia?”

Kun Liong menggeleng kepala.
“Jangan salah mengerti, Hong Ing. Aku tidak berdaya, kita tidak berdaya. Itu hanya satu-satunya jalan, bukan berarti bahwa aku menyerah betul-betul. Buktinya, akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan membebaskan kau.”

“Aku tidak minta kau bebaskan! Aku tidak minta kau merendahkan diri seperti itu hanya untuk menolongku! Atau kau memang senang melayaninya agaknya!”

“Apa maksudmu?”

“Kau memang mempunyai watak mata keranjang, maka penawaran Kim Seng Siocia itu malah menyenangkan hatimu.”

“Aihh, bukan begitu!” Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Dia... dia... ihhh, menjijikkan dan mengerikan.”

“Bagaimana kau dapat membebaskan diri? Dengan bujuk rayu?”

Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana dia harus menceritakan pengalamannya itu? Masih terasa betapa separuh mukanya basah oleh ciuman mulut lebar yang rakus itu!

“Aku... aku memang pura-pura menyerah, kemudian... ketika dia lengah... aku... eh, aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Aku lalu lari dari kamarnya dan mencarimu. Untung belum terlambat... dan hatiku girang sekali melihat engkau selamat, Hong Ing.”

Sepasang mata yang tadinya bersinar-sinar penuh kemarahan itu kini berubah menjadi sayu, agak terpejam memandang Kun Liong, kemudian kepala itu menunduk dan terdengar suaranya lirih,

“Aku... aku selalu menyusahkanmu... telah berkali-kali engkau menolong dan menyelamatkan aku, Kun Liong. Kenapa?”

Hong Ing mengangkat mukanya dengan tiba-tiba dan sepasang mata itu kini begitu tajam pandangnya, tajam penuh selidik seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya.

“Kenapa? Tentu saja aku menolongmu Hong Ing, menolong sedapatku dan hal itu sudah lumrah, bukan? Siapa pun tentu akan menolong setiap orang yang menderita dan terancam bahaya.”

“Jadi bukan karena aku...”

“Maksudmu?”

Muka yang cantik itu kembali menunduk dan terdengar helaan napas panjang-panjang sebelum Hong Ing bersuara lagi,

“Jadi bagimu, siapa saja yang terancam bahaya, tentu akan kau tolong?”

“Tentu saja, sedapat mungkin. Mengapa kau bertanya demikian?”

Hong Ing kembah mengangkat wajahnya dan kini wajah itu kelihatan lesu, seperti orang kecewa. Kun Liong menjadi bingung dan terheran-heran.

“Tidak apa-apa, aku hanya bertanya... dan kau memang seorang pendekar budiman. Hal ini seharusnya kuketahui sejak dahulu.”

“Aihh, jangan memuji, Hong Ing. Aku hanya orang biasa saja.”

“Mungkin ilmu kepandaianmu tidak terlalu tinggi, akan tetapi keberanianmu menolong orang lain amat besar.”

“Sudahlah, Hong Ing. Kepalaku bisa menjadi lebih besar lagi kalau kau melanjutkan pujian kosong itu. Lebih baik kau ceritakan bagaimana kau yang dibawa oleh sucimu itu bisa menjadi orang tawanan Kim Seng Siocia.”

Hong Ing menghela napas lagi dan kini alisnya berkerut tanda bahwa hatinya benar-benar merasa tertekan dan berduka. Teringat akan sucinya, dia melupakan keadaan dirinya sendiri. Urusan sucinya sebenarnya merupakan urusan yang memalukan sekali dan seyogianya dirahasiakan dari siapapun juga.

Akan tetapi entah mengapa, terhadap Kun Liong, semenjak pertemuan pertama, dia tidak bisa menyimpan rahasia, seolah-olah Kun Liong adalah seorang yang sudah dipercayanya benar-benar, seorang yang lebih dari sahabat biasa, lebih dari saudara!

“Suci... dia... dia seperti juga engkau, demi menolongku dia rela mengorbankan dirinya menjadi isteri manusia iblis Ouwyang Bow...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: