*

*

Ads

FB

Rabu, 16 November 2016

Petualang Asmara Jilid 149

“Hah...??” Berita ini benar-benar mengejutkan hati Kun Liong. Lauw Kim In, dara yang manis dan dingin itu, menjadi isteri seorang manusia seganas Ouwyang Bouw yang berotak miring? “Bagaimana... bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Hong Ing lalu menceritakan kesemuanya. Mula-mula dia menceritakan tentang sucinya yang patah hati karena tunangannya menyeleweng, berjina dengan isteri muda Thian-ong Lo-mo sehingga tunangan itu terbunuh oleh kakek ini. Hal itulah yang membuat sucinya menjadi dingin dan membenci atau memandang rendah pria. Kemudian diceritakannya betapa mereka berdua bertemu dengan Ouwyang Bouw yang amat lihai sehingga mereka berdua tertawan. Barulah mereka dibebaskan setelah sucinya menerima pinangan Ouwyang Bouw yang tergila-gila kepadanya.

“Aku tahu mengapa suci mengorbankan diri sedemikian rupa. Bukan semata-mata untuk menyelamatkan aku, juga untuk kepentingannya sendiri. Dia akan dapat mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Ouwyang Bouw sehingga terbuka kemungkinan baginya untuk membalas dendam, di samping menyelamatkan dirinya sendiri yang tentu akan ternoda dan mungkin tewas apabila menolak pinangan itu. Kasihan sekali Suci...”

Kun Liong menghela napas panjang.
“Seorang yang keadaan hidupnya sendiri amat sengsara namun melupakan keadaan sendiri dan mengingat serta menaruh kasihan kepada orang lain merupakan ciri seorang yang mempunyai hati mulia penuh welas asih. Aku kagum kepadamu, Hong Ing.”

“Tidak perlu kau memuji, Kun Liong.” jawab Hong Ing cepat-cepat sambil menekan debar jantungnya yang menjadi gembira mendengar pujian itu. “Memang aku sudah melupakan diriku sendiri. Apa sih yang kuharapkan lagi?”

“Aahh, mengapa dilanda putus asa selagi hidup? Teruskan ceritamu, bagaimana kau sampai terjatuh ke tangan Kim Seng Siocia yang gila itu.”

“Aku tersesat jalan karena mengambil jalan lain agar jangan sampai ketahuan oleh guruku. Tanpa kusengaja aku memasuki daerah kekuasaan Kim Seng Siocia dan aku ditawan. Kemudian wanita gila itu menyuruh aku bekerja disana, yaitu berdoa untuknya, berdoa agar dia cepat membalas dendamnya kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong.”

“Hemmm...”

“Tentu saja aku tidak berdoa apa-apa untuknya, akan tetapi aku pun tidak berani membantah karena hal itu berarti kematian. Dia amat lihai... dan untung sekali kau dapat lolos, Kun Liong. Aku masih heran bagaimana kau dapat lolos dari orang selihai itu. Tentu kau menggunakan akal bujuk rayu, bukan?”

Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. Dia tahu bahwa dara ini mengira bahwa ilmu kepandaiannya “biasa” saja dan dia pun tidak ingin membuka rahasianya.

“Memang aku telah menggunakan akal menyerah karena tidak berdaya, akan tetapi aku tidak biasa membujuk rayu siapapun juga, apalagi orang seperti dia. Aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Eh, soal itu tidak penting, Hong Ing. Sekarang bagaimana? Hari telah terang, mari kita lekas melanjutkan perjalanan. Tentu Kim Seng Siocia akan melakukan pengejaran dan belum lagi bahayanya kalau sampai subomu ikut pula mencari.”

Pucat wajah Hong Ing dan dia meloncat berdiri. Mendengar tentang subonya, dia menjadi takut sekali.






“Aihh, sampai lupa aku keenakan bicara di sini. Mari kita pergi cepat, kita masih berada di wilayah Go-bi-san.”

“Sebaiknya kita pergi ke timur. Di tempat ramai seperti di timur, dimana banyak terdapat kota-kota besar, tentu lebih mudah bagi kita untuk melarikan diri.”

Hong Ing mengangguk.
“Dan disana banyak terdapat kuil-kuil Kwan-im-bio yang besar dimana aku dapat minta tolong dan bersembunyi.”

Berangkatlah dua orang ini dengan tergesa-gesa, melanjutkan pelarian mereka menuju ke timur. Berhari-hari mereka melakukan perjalanan cepat, keluar masuk hutan di Pegunungan Go-bi-san, kemudian melintasi padang pasir.

Mereka melakukan perjalanan dengan cepat, hanya berhenti kalau mau makan atau tidur saja dan beberapa hari kemudian mereka telah keluar dari daerah Go-bi-san dan tiba di tepi Sungai Huang-ho.

Biarpun air Sungai Huang-ho tidak dapat dikatakan jernih, namun setelah melakukan perjalanan berhari-hari melintasi padang pasir yang panas, kedua orang itu dengan girang dan lega menuruni tepi sungai dan menggunakan air sungai itu untuk membasahi muka, leher, kedua tangan dan kaki mereka.

“Tangkap mereka!”

Kun Liong dan Hong Ing yang sedang bergembira karena bertemu dengan air yang dingin sejuk sehingga melupakan segala urusan mereka, terkejut bukan main dan keduanya cepat melompat ke darat.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Hong Ing ketika melihat subonya, Go-bi Sin-kouw bersama Pangeran Han Wi Ong dengan sepasukan tentara yang jumlahnya ada lima puluhan orang!

“Nona Pek Hong Ing, mengapa engkau menjadi begini...? Dan dengan mati-matian kami telah mencarimu...”

Pangeran itu berkata dengan nada suara berduka sekali ketika melihat dara yang dicintanya itu telah menjadi seorang nikouw seperti itu.

“Pangeran Han Wi Ong, pinni sudah menjadi seorang nikouw, perlu apa dicari lagi?” Hong Ing berkata.

“Hong Ing, murid durhaka!”

Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw membentak dan mendengar bentakan gurunya ini, Hong Ing yang sejak kecil diasuh dan dididik nenek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak.

Kun Liong memandang penuh perhatian. Harus diakuinya bahwa Pangeran Han Wi Ong, sungguhpun sudah berusia empat puluh tahun, namun masih tampak muda dan tampan gagah, sesungguhnya tidak mengecewakan menjadi suami Hong Ing, apalagi mengingat bahwa Pangeran itu memiliki kedudukan tinggi.

Dicinta oleh seorang seperti itu dan menjadi isterinya, sebetulnya merupakan nasib baik bagi diri Hong Ing. Adapun nenek itu mendatangkan rasa gentar juga di hati Kun Liong. Nenek itu usianya tentu sudah enam puluhan tahun, punggungnya bungkuk, pakaiannya serba hitam, rambutnya digelung keatas dan muka penuh keriput itu membayangkan kehidupan yang sengsara dan membuat wajah itu nampak bengis. Tangan kiri nenek itu memegang sebatang tongkat butut berwarna hitam pula.

Kelihatannya saja seorang nenek yang ringkih dan lemah, akan tetapi Kun Liong dapat menduga bahwa nenek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap waspada. Dia dan Hong Ing selain berhadapan dengan nenek dan Pangeran itu, juga telah dikurung rapat oleh lima puluh orang tentara anak buah pasukan yang mengawal Pangeran Han Wi Ong.

“Subo...” Hong Ing berkata.

“Hong Ing, dimana sucimu?”

“Dia telah ikut dengan Ouwyang Bouw, Subo...” dengan suara berat Hong Ing menceritakan perihal sucinya.

Sepasang mata nenek itu, yang sipit sekali mengeluarkan sinar kemarahan, mulutnya cemberut dan mukanya menjadi makin bengis.

“Setan! Semua gara-gara engkau yang murtad! Dan siapa laki-laki gundul ini?”

“Dia... dia sahabat teecu (murid), dia telah menolong teecu berkali-kali dari bahaya kematian...”

“Bohong! Dia tentu yang membujukmu melarikan diri dan menjadi nikouw. Hong Ing, sekarang juga engkau harus ikut denganku, membatalkan keadaanmu sebagai nikouw dan siap menghadapi pemikahanmu dengan Pangeran Han Wi Ong!”

“Subo...”

“Diam! Kau mau melawan gurumu?”

Hong Ing hanya menangis. Melihat ini, Kun Liong melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring.

“Apakah saya berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw?”

Nenek itu mendengus.
“Mau apa kau? Karena kau telah berani membujuk muridku, kau harus mampus!”

“Nanti dulu, Go-bi Sin-kouw. Mampus ya mampus, akan tetapi ingatlah bahwa perbuatanmu ini sungguh amat tidak patut! Memaksa murid sendiri untuk melakukan pernikahan yang tidak disukainya. Memaksa murid sendiri yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Mana ada guru ingin melihat murid sendiri menderita sengsara?”

“Heii, kau! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?” Tiba-tiba Pangeran Han Wi Ong melangkah maju. “Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Aku Pangeran Han Wi Ong, putera Kaisar! Tahu engkau? Apakah kau hendak menjadi pemberontak yang dapat dihukum mati? Kau pergilah dan jangan mencampuri urusan Nona Pek Hong Ing dengan kami, maka aku masih akan mengampunimu. Kalau tidak, kau kuanggap pemberontak dan akan kutangkap.”

Mendongkol juga hati Kun Liong. Dia dianggap begitu pengecut untuk mudah ditakut-takuti dan disuruh meninggalkan Hong Ing yang dihadapi orang-orang seperti harimau kelaparan itu!

“Maaf, Pangeran. Sebagai seorang berkedudukan tinggi dan terpelajar, tentu Pangeran juga maklum betapa tidak baiknya memaksa seorang gadis seperti Nona Pek Hong Ing yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Betapa rendahnya perbuatan seperti itu.”

“Keparat! Pemberontak laknat! Hayo tangkap dia!”

Pangeran itu memerintahkan anak buahnya dan pasukan yang sudah siap itu lalu maju mengurung Kun Liong yang sudah bersiap pula untuk membela diri.

“Tahan dulu senjata!”

Bentakan ini demikian nyaring dan mengandung khi-kang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, bahkan pasukan yang sudah siap menyerbu dan mengeroyok Kun Liong menjadi ragu-ragu. Mereka membuka pengurungan dan membiarkan wanita gemuk yang baru berteriak tadi memasuki lapangan itu dan berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw dan Pangeran Han Wi Ong.

Kun Liong dan Hong Ing menjadi makin kaget. Celaka sekali! Kim Seng Siocia sudah muncul pula dan mereka maklum bahwa di belakang wanita gendut ini tentu terdapat pula banyak anak buahnya.

Dugaan mereka benar karena kini bermunculan puluhan orang wanita anak buah Kim Seng Siocia, mereka sudah siap dengan senjata lengkap pula. Pasukan pemerintah pengawal Pangeran Han Wi Ong menjadi bingung melihat “pasukan” wanita yang cantik-cantik itu!

“Go-bi Sin-kouw, engkau orang tua harap tidak bertindak sembarangan!” Kim Seng Siocia menegur sambil memandang nenek itu.

Go-bi Sin-kouw mendengus marah.
“Siapa engkau?” bentaknya.

“Aku? Aku adalah Kim Seng Siocia, pewaris dari Go-bi Thai-houw.”

Tentu saja Go-bi Sin-kouw terkejut mendengar nama ini dan dia memandang dengan penuh perhatian dan juga keheranan. Perempuan gendut ini pewaris Go-bi Thai-houw, yang kabarnya amat lihai itu? Betapapun juga, dia tidak berani sembarangan dan balas menegur

“Mengapa kau menuduh aku bertindak sembarangan?”

“Mengapa kau hendak membunuh orang ini?” Kim Seng Siocia menudingkan telunjuknya yang besar ke arah Kun Liong.

“Hemm, dia telah membujuk muridku melarikan diri. Karena itu, dia harus mampus!”

“Enak saja bicara! Apakah muridmu dia itu?” Dia menuding ke arah Hong Ing.

“Benar.”

“Kalau begitu, kau ngawur! Laki-laki ini adalah suamiku dan dia lari karena terbujuk oleh Pek Hong Ing muridmu itu. Jadi sebetulnya, Pek Hong Ing itulah yang harus kubunuh dan aku datang untuk mengambil pulang suamiku.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: