*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 152

Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira biarpun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong telah dengan suka rela membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong! Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang.

Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia tidak akan bicara dengan ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidak mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong!

Membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang laki-laki yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir, jantungnya berdebar penuh kemesraan. Tetapi, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik!

“Nona Cia tunggu...”

Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng.

“Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?”

Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka. Saputangannya masih membalut pundak itu.

“Kau... bagaimana lukamu...?” tanyanya dengan suara gemetar.

Bu Kong melirik ke arah pundaknya.
“Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguhpun saputangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu.”

Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan seolah-olah ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya,

“Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?”

Tiba-tiba Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng lalu membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi.






“Bicaralah! Tidak perlu berlutut!”

“Kau berjanjilah takkan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!” kata Bu Kong yang masih terus berlutut.

“Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu.”

Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura,
“Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika kau pergi meninggalkan aku dan mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya bahwa hati Nona masih bebas, sungguhpun nona telah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?”

Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apalagi mendengar bujuk rayu yang demikian indah. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!

“Tapi... tapi aku sudah bertunangan...” dia berusaha menjawab.

“Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ah, mengapa engkau akan menyiksa diri dengan berjodoh dengan seorang laki-laki yang tidak kau cinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu...” Bu Kong mencabut pedangnya.

“Jangan...!”

Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah.

Bu Kong kini memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.

“Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta padamu...”

“Tapi... tapi...”

“Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi...”

Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam,
“Benarkah?”

“Tentu saja! Bukankah aku telah suka mati daripada gagal menghadapi cintaku kepadamu.”

“Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?” Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata, “Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?”

Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.

“Tentu saja, aku bersumpah...!”

“Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?”

Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!

“Tentu saja aku berani, Moi-moi!” jawab Liong Bu Kong dengan wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.

“Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau menceritakan kepada mereka terus terang tentang cintamu dan tentang pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku.”

Wajah yang berseri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu.

“Wah, ini... ini... mana aku berani?”

Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali.
“Huh! Dan kau bilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja sudah takut dan mundur!”

Bu Kong meloncat mendekati.
“Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi meragu bukan karena takut mati, melainkan aku merasa ragu-ragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!”

Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biarpun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu?

“Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!”

Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebutnya koko (kakanda), maka dia lalu merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya.

Giok Keng terkejut, hampir menjerit sehingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tidak lama dia tenggelam dalam nikmat berahi ini, dia sudah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.

“Moi-moi... maafkan aku... aku...”

Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia khawatir sekali bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati itu akan membikin marah dara yang dicintanya.

Giok Keng menggelengkan kepalanya dan berkata halus,
“Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, kelak kalau aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah...” Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu.

Bu Kong hampir saja tidak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng.

Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah. Akhirnya Bu Kong berkata,

“Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai.”

“Aku dulu mendengar bahwa... engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata,
“Tak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian. Aku dahulu mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku ingin memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang Ibu telah meninggal dunia, dan biarpun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apalagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai.”

Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata,

“Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si.”

Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Biarpun kekasihnya adalah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman.

Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: