*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 154

Kita tinggalkan dulu Giok Keng dan Bu Kong yang melakukan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si itu, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing, nikouw muda itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun Liong dan Hong Ing yang terpaksa menentang kehendak Pangeran Han Wi Ong, dicap sebagai pemberontak dan orang-orang buruan. Gambar mereka ditempel dimana-mana sehingga mereka terpaksa melakukan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi, melalui jalan-jalan sunyi, keluar masuk hutan dan naik turun gunung dalam perjalanan yang amat sukar.

Karena dia bertekat menolong Hong Ing agar tidak sampai tertangkap oleh orang-orang yang menghendaki dara itu menjadi istri Pangeran Han Wi Ong, maka Kun Liong mengajak nikouw muda itu menuju ke timur, ke arah Teluk Pohai. Dahulu ketika dia membantu supeknya, Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan menyusul Cia Giok Keng ke Pulau Ular, dia lewat hutan di dekat Pantai Pohai yang sunyi dan melihat sebuah kuil di sana. Kuil Kwan-im-bio!

Kuil itulah yang kini menjadi tujuan perjalanan mereka, Hong Ing harus bersembunyi dan menjadi nikouw di sebuah kuil yang sunyi, baru akan selamat dara itu!

Mereka melakukan perjalanan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Sebenarnya, kalau mereka bukan menjadi orang-orang buruan pemerintah, perjalanan itu akan dapat dipermudah dengan menggunakan perahu mengikuti aliran air sungai. Akan tetapi mereka tidak berani mengambil jalan air, dan menyusuri tepi sungai sambil bersembunyi-sembunyi, memilih bagian-bagian yang sunyi.

Pada suatu pagi mereka beristirahat di tepi sungai yang merupakan hutan sunyi senyap. Semalam suntuk mereka melakukan perjalanan karena mereka melalui daerah ramai. Dan pagi hari ini, setelah tiba di hutan yang sepi, mereka duduk di bawah pohong beristirahat. Hong Ing memanggang daging ikan yang mereka tangkap di sungai, kemudian mereka berdua makan daging ikan panggang dan minum air dari sumber yang cukup jernih. Sambil duduk bersandar pohon memberi kesempatan kepada tubuh yang lelah untuk beristirahat, Hong Ing berkata.

“Kun Liong, kau tentu lelah sekali...”

Kun Liong duduk di atas rumput dan bersandar pada sebongkah batu besar. Dia menoleh dan memandang wajah nikouw muda yang manis itu, lalu tersenyum.

“Tidak lebih lelah daripadamu, Hong Ing.”

“Lain lagi dengan aku, Kun Liong. Aku memang perlu untuk pergi mencari tempat persembunyian. Akan tetapi engkau melakukan semua ini demi aku.”

“Hemm...” Kun Liong tidak menjawab dan kini dia menundukkan kepalanya.

“Mengapa, Kun Liong? Mengapa kau melakukan semua jerih payah ini untukku?”

Kun Liong mengangkat mukanya.
“Hong Ing, entah sudah berapa kali engkau menanyakan hal ini kepadaku? Mengapa? Mengapa aku melakukan semua ini? Tentu saja kulakukan karena engkau adalah seorang sahabatku yang baik, bukan? Andaikata tidak demikian sekalipun, andaikata engkau seorang lain, dan bukan sahabat baikku, tentu akan kulakukan juga. Menolong orang yang membutuhkan pertolongan merupakan perbuatan yang lumrah dan sudah semestinya, bukan?”






“Karena engkau seorang yang berbudi mulia, Kun Liong.”

“Hemmm...”

Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara Hong Ing dan betapa heran rasa hati Kun Liong mendengar suara yang sumbang dan berasa kecewa itu,

“Jadi engkau menolongku bukan karena akulah orang itu?”

Karena tidak mengerti, Kun Liong mengangkat muka memandang.
“Apa maksudmu?”

Hong Ing menjadi merah mukanya dan menggeleng kepala.
“Sudahlah, aku hanya bermaksud menagih janjimu tempo hari bahwa engkau akan menceritakan riwayat hidupmu. Aku ingin sekali mengetahui setelah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong adalah supekmu. Ceritakanlah, Kun Liong.”

“Apa yang patut kuceritakan? Riwayatku amat buruk, lebib buruk daripada riwayatmu, Hong Ing. Aku telah pergi meninggalkan rumahku sejak aku berusia sepuluh tahun. Aku merantau dan setelah aku pulang, ternyata ayah bundaku telah tidak berada di rumah kami.”

Dia menceritakan dengan singkat pengalaman hidupnya ketika dia meninggalkan rumah sampai dia menjadi murid Bun Hwat Tosu selama lima tahun kemudian menjadi murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula.

“Aihhh, kiranya engkau murid dua orang kakek sakti itu. Pantas kau hebat sekali! Dan kemana perginya ayah bundamu itu?” Hong Ing yang mendengar penuh kekaguman itu bertanya.

Kun Liong menarik napas panjang dan menunduk.
“Mereka telah tewas...”

“Heii!....”

“Mereka tewas terbunuh oleh lima orang datuk sesat!” Kun Liong menuturkan betapa kematian ayah bundanya itu dia ketahui dari Cia Keng Hong. “Aku meninggalkan rumah ketika berusia sepuluh tahun dan tidak pernah berjumpa dengan ayah ibuku! Mereka terbunuh oleh lima datuk itu...”

Hong Ing merasa terharu sekali melihat Kun Liong menggunakan punggung tangan mengusap dua butir air matanya.

“Keparat mereka! Kau harus balas mereka, Kun Liong. Biar kubantu engkau! Mari kita cari mereka!”

Kun Liog mengangkat mukanya, memandang dan mencoba tersenyum.
“Mereka berlima telah tewas, Hong Ing. Lima orang pembunuh orang tuaku telah tewas semua dan sekarang aku hanya ingin sekali menemukan adikku yang tak pernah kulihat semenjak dia lahir.”

“Adikmu...?”

Kun Liong mengangguk.
“Ketika aku pergi, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Yap In Hong. Ketika Ayah dan Ibu terbunuh, adikku itu berhasil diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa pergi entah kemana. Karena itu, setelah engkau mendapatkan tempat yang aman, aku akan pergi mencari adikku itu, Hong Ing.”

Dara itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul.
“Kasihan sekali kau, Kun Liong. Memang kau harus mencari adikmu itu. Akan tetapi setelah sekarang engkau menjadi orang buruan karena aku, bagaimana engkau dapat melakukan perjalanan dengan leluasa? Engkau akan ditangkap!”

“Tidak, Hong Ing. Aku sudah memikirkan hal itu dan sudah memperoleh jalan terbaik. Aku akan minta bantuan Supek Cia Keng Hong yang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di kota raja dan dengan bantuannya tentu aku akan dapat dibebaskan dan tidak menjadi orang buruan lagi. Juga aku akan memintakan pengampunan bagimu. Selain itu, aku akan menanyakan tentang pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh pihak Kwi-eng-pang, apakah pusaka itu sudah dikembalikan.”

“Kau tidak usah repot-repot memikirkan nasibku, Kun Liong. Aku sudah akan merasa lega dan gembira sekali kalau kau dapat terbebas dari himpitan ini yang menimpa dirimu karena kau membela aku.”

“Marilah kita lupakan kepahitan yang kita hadapi, Hong Ing. Kita berdua maklum bahwa kita tidak mempunyai kesalahan dan semua ini adalah gara-gara Pangeran Han Wi Ong yang tak tahu diri. Sekarang aku ingin sekali mendengar riwayatmu. Hong Ing, Siapakah keluargamu? Dan bagaimana engkau bisa menjadi murid Go-bi Sin-kouw yang lihai dan galak itu?”

Nikouw muda itu menghela napas dan mengerutkan alisnya, Kun Liong memandang wajahnya dan pemuda itu kini diam-diam merasa makin kagum dan juga heran kepada diri sendiri. Mengapa setiap kali memandang wajah dara gundul ini hatinya merasa seperti dicengkeram sesuatu yang amat kuat, yang membuat dia merasa terharu sekali dan ingin mencucurkan air mata?

“Aku sudah tidak ingat lagi, Kun Liong. Ketika itu aku baru berusia lima tahun dan seingatku, di sampingku hanya ada ibuku yang cantik dan gagah perkasa. Kami berdua berada di tanah pegunungan, kalau tidak salah dugaanku di Tibet. Entah apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu sama sekali. Tiba-tiba Ibu dikeroyok banyak pendeta berjubah merah, pendeta-pendeta Lama. Ibu menggendongku sambil melawan mati-matian. Ibu berhasil melarikan diri akan tetapi terluka parah. Setelah bertahan sampai belasan hari dan berada jauh sekali dari Tibet, Ibu roboh dan meninggal dunia...”

Hampir saja Kun Liong merangkul dan memeluk tubuh yang berguncang-guncang karena tangisnya itu. Hong Ing menangis terisak-isak. Siapa takkan menangis kalau membayangkan pengalamannya di waktu itu? Ibunya menggeletak dengan muka pucat, dan dia, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya menangis dan memanggil-manggil nama ibunya.

“Ah, kasihan engkau, Hong Ing. Sudahlah, lupakan yang sudah dan jangan teruskan ceritamu,” Kun Liong menghibur.

Hong Ing menyusuti air matanya dengan ujung lengan baju.
“Aku harus menceritakan semua kepadamu, Kun Liong. Pada saat aku menangis menghadapi Ibu yang sudah dalam sekarat, tiba-tiba muncul Go-bi Sin-kouw dan Lauw Kim In, Subo dan suciku itu. Go-bi Sin-kouw berusaha menolong ibuku, namun sia-sia dan Ibu hanya dapat menceritakan dengan napas terputus-putus kepada Go-bi Sin-kouw sebelum menghembuskan napas terakhir. Begitulah, aku lalu dibawa pergi oleh Subo dan Suci.”

“Apakah Go-bi Sin-kouw tidak menceritakan kepadamu tentang nama ibu dan ayahmu?”

“Tidak pernah. Subo tidak pernah mau mengaku, dan kalau aku bertanya, dia hanya bilang bahwa Subo yang kini menjadi pengganti ayah bundaku. Aku tidak pernah mengenal ayahku, dan tidak tahu pula mengapa Ibu dikeroyok oleh para pendeta Lama.”

“Ssstt...!”

Tiba-tiba tubuh Kun Liong mencelat ke belakang. Dia menyusup ke dalam semak-semak, Ialu meloncat ke atas pohon tinggi, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari. Kemudian dia melayang turun lagi ke depan Hong Ing yang sudah meloncat berdiri dan memandangnya dengan heran.

“Ada apakah, Kun Liong?” tanyanya, kagum menyaksikan gerakan Kun Liong yang ringan seperti burung terbang tadi.

Kun Liong mengerutkan alisnya.
“Entahlah, aku tadi seperti mendengar suara orang menarik napas panjang dan terdengar suara kaki menginjak daun kering. Akan tetapi kucari ke mana-mana tidak ada bayangan seorang pun manusia.”

“Ah, agaknya suara binatang kecil di semak-semak,” kata Honj Ing yang duduk kembali.

Kun Liong juga duduk di depannya.
“Hong Ing, riwayat kita sama-sama menyedihkan. Kita berdua adalah orang-orang muda yang menderita sengsara sejak kecil.”

“Menang begitulah agaknya, Kun Liong. Aku tidak pernah tahu apa itu yang disebut bahagia. Tahukah engkau Kun Liong? Apakah bahagia itu?”

Kun Liong merenung, sepasang matanya memandang jauh, alisnya berkerut, kepala gundulnya mengkilap tertimpa matahari pagi, lalu terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya.

“Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah keadaan yang disebut bahagia? Ataukah itu hanya merupakan sebutan saja, merupakan bentukan khayal yang timbul karena keinginan manusia terlepas dari kesengsaraan? Siapakah yang membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam hidup? Tentu hanya orang-orang yang sengsara! Orang-orang yang sengsara dan menderita menciptakan khayal yang berlawanan dan berlainan daripada keadaan hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaah hidup yang sebaliknya dan yang disebutnya bahagia!

Maka hanya orang-orang yang sengsara sajalah, yang merasa bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang yang tidak merasa menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia itu? Tentu tidak, karena sekali dia bahagia, itu bukanlah kebahagiaan lagi namanya! Kebahagiaan yang dirasakan berarti “kesenangan” dan sekali kesenangan dirasakan, maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu dan setiap kali dia akan selalu mengejar kesenangan serupa untuk diulang kembali!”

Hong Ing memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya pemuda gundul ini dapat bicara seperti itu. Kata-katanya biasa saja, akan tetapi inti sarinya meresap ke dalam sanubarinya, membuat dia seolah-olah dibangunkan dari mimpi dan melihat kenyataan.

“Kalau begitu, apakah bahagia itu, Kun Liong?” tanyanya lirih seolah?olah ada rasa hormat tersembunyi dalam hatinya terhadap pemuda itu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: