*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 155

“Entahlah, mungkin itu hanya sebutan saja dan sebutan atau nama sebuah keadaan atau benda bukanlah si keadaan atau si benda itu sendiri. Kalau dapat dituturkan dan digambarkan, itu jelas bukanlah kebahagiaan namanya, melainkan kesenangan. Kebahagiaan bukanlah benda mati, bukankah keadaan yang mati tak berubah lagi, karena itu tidak mungkin digambarkan, tidak mungkin dicari dan dikejar. Maka itu, kiranya tidak akan meleset jauh kalau kukatakan bahwa KEBAHAGIAAN HANYA MENJENGUK ISI HATI MEREKA YANG TIDAK MEMBUTUHKAN KEBAHAGIAAN!”

Hong Ing melongo, tiba?tiba menangkap kedua tangannya dan berkata penuh hikmat, “Omitohud...!”

Kun Liong baru sadar dan dia seperti ditarik kembali ke dunia lama. “Heiii! Apa?apaan kau ini, seperti seorang nikouw tulen saja, pakai omitohud segala?”

Hong Ing menurunkan kedua tangannya, masih memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan agaknya dia pun baru saja sadar akan keadaan yang berbeda dengan biasanya tadi. “Ah, Kun Liong, ketika kau bicara tadi... kau menjadi... lain! Wajahmu penuh wibawa, tapi penuh kehalusan... membuat aku menjadi hormat dan takut. Kau... kau aneh sekali. Dari mana kau memperoleh semua pelajaran tentang hidup itu? Pelajaran yang begitu terbuka dan aneh, namun yang mau tak mau harus kuakui kebenarannya itu?”

Sejenak Kun Liong tidak mampu menjawab, kemudian katanya ragu?ragu, “Entahlah, Hong Ing. Mungkin juga dari kitab, tapi entah kitab apa yang pernah menyebutkan semua itu tentang bahagia. Terlalu banyak aku membaca kitab yang hampir kesemuanya menjanjikan kebahagiaan?kebahagiaan kosong. Lamunan khayal yang membuat orang seperti boneka atau seperti dalam mimpi, tak pernah dapat melihat kenyataan hidup seperti apa adanya.”

“Hemm, kutu buku! Mempelajari segala hal dari buku, apa sih artinya? Hanya merupakan pendapat orang lain belaka, pendapat para penulisnya, pengarangnya! Kalau si pengarang bijaksana dan pandai, belum tentu kita ketularan kebijaksanaan dan kepandaiannya, akan tetapi kalau si pengarang dungu, kita terseret ke dalam kedunguannya!”

Kun Liong mengangguk?angguk. “Kau betul, ucapanmu tepat sekali, Hong Ing.”

“Kau yang pandai bicara tentang kebahagiaan, apakah engkau pernah merasa bahagia, Kun Liong?”

Kepala yang gundul itu tak bergerak sampai lama, kemudian dia menggeleng ragu. “Kalau kuingat-ingat, aku hanya terlalu sering merindukan kebahagiaan. Kalau aku sedang sakit terbayang olehku betapa bahagianya kalau sehat, padahal kalau sehat tidak terasa lagi kebahagiaan dari kesehatan itu. Bagi orang lapar, kebahagiaan adalah kalau memperoleh makanan. Pendeknya, kebahagiaan selalu berada di masa depan, sebagai harapan dan keinginan yang dikejar-kejar, namun setelah terpegang tangan, kebahagiaan itu sendiri terbang lenyap, dan tampak di depan lagi, seperti seekor burung merpati, kelihatan jinak namun tak pernah dapat ditangkap! Entahlah, kurasa aku belum pernah menangkapnya.”

“Bagaimana saat sekarang ini? Apakah kau berbahagia?” Hong Ing bertanya sambil menatap wajah tampan itu.

“Sekarang ini? Ah, pertanyaanmu sungguh aneh, Hong Ing. Bagaimana aku bisa berbahagia dalam keadaan begini? Tidak, aku malah merasa susah dan sengsara karena kita berdua harus saling berpisah dalam keadaan seperti ini, menjadi orang-orang buruan pemerintah! Kita akan saling berpisah dan entah bagaimana jadinya kelak dengan nasib kita masing-masing. Tidak, Hong Ing, saat ini aku tidak hahagia.”






“Tapi aku berbahagia, Kun Liong!”

“Haiii...? Kau...?”

“Hemm, agaknya pengetahuan dari kitab-kitabmu tidak ada gunanya, Kun Liong. Tahu dari kitab saja percuma, yang penting harus menghayatinya sendiri.”

“Tapi, kau... kau berbahagia? Mana bisa? Mana mungkin?”

“Mengapa tidak mungkin? Aku merasa berbahagia, mengapa tidak mungkin?”

“Sebabnya?”

“Apa sebabnya? Hanya berbahagia, titik, tidak ada sebabnya lagi.”

“Tapi... haii!!! Siapa itu...?”

Kun Liong berseru keras karena pada saat itu terdengar suara tertawa, suara ketawa yang luar biasa nyaringnya sehingga menggetarkan seluruh hutan, kemudian bergema disemua penjuru hutan itu. Kun Liong meloncat lagi, mengejar ke sana-sini karena sukar mencari dari mana asal suara ketawa itu. Namun ternyata sia-sia belaka. Seperti juga tadi, biarpun dia sudah menyelidiki dari atas pohon, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Dia melayang turun lagi, mencari ke sana-sini di balik semak-semak dan, kini Hong Ing juga ikut mencari. Akhirnya mereka berdua saling pandang dan Hong Ing bergidik.

“Bu... bukan manusia...!” katanya berbisik dan wajahya yang cantik itu jelas kelihatan ngeri dan takut. Dia memang seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi menghadapi suara ketawa menyeramkan yang tidak ada orangnya itu, benar-benar membuat nyalinya menyempit.

“Ahhh, tidak mungkin. Tentu manusla! Biar kucari lagi dari atas pohon tertinggi itu!”

Kun Liong meloncat lagi ke atas pohon dan memanjat dari cabang ke cabang sampai dia berada di puncak pohon. Dia mengintai ke empat penjuru dan tiba-tiba dia melihat debu mengebul, tinggi dari arah barat. Pasukan berkuda! Melihat bendera dan pakaian seragam, tahulah dia bahwa tentu pasukan itu pasukan pemerintah yang mengejar dia dan Hong Ing! Maka cepat dia melayang turun lagi.

“Ada pasukan berkuda dari barat, tentu mengejar kita!” katanya.

“Ahhh... bagaimana baiknya?” Hong Ing berkata, memandang wajah Kun Liong dengan bingung.

“Kita lari saja. Di antara mereka tentu terdapat orang pandai..., mungkin yang tadi tertawa adalah orang mereka. Hayo kita lari ke timur!”

Maka larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Mereka lari secepatnya, menyusuri sepanjang pantai Sungai Huang-ho terus ke timur.

Beberapa hari kemudian kedua orang muda yang melarikan diri itu sudah tiba di lembah muara Sungai Huang-ho, dekat dengan pantai Teluk Pohai. Cepat keduanya memasuki hutan dan akhirnya Kun Liong menemukan kuil Kwan-im-bio yang berada di dalam hutan itu.

Sebuah kuil kecil yang terpencil sendiri di dalam hutan. Kuil kosong dan biarpun di situ masih terdapat meja sembahyang dan beberapa buah bangku, namun semua bangku itu kotor dan bahkan arca Kwan Im Pouwsat juga tidak ada di situ.

Akan tetapi Kun Liong memang sudah mempersiapkan diri ketika lari dalam beberapa hari ini. Dia sudah membeli lilin dan hio, maka cepat-cepat bersama Hong Ing dia membersihkan kuil itu kemudian menutupi tempat arca dengan saputangan sutera milik Hong Ing agar tidak kelihatan dari luar tempat arca yang kosong, mengatur lilin di atas meja.

Pendeknya keduanya berusaha keras agar kuil itu kelihatan sebagai kuil yang masih bekerja. Tiga hari mereka bersembunyi di kuil itu. Pada hari ke empatnya, dari jauh sudah terdengar derap kaki kuda. Mengertilah kedua orang muda itu bahwa para pengejar mereka telah tiba di dalam hutan itu! Maka sibuklah mereka berdua.

Kun Liong menyalakan lilin, memasang belasan batang hio dan menancapkannya di atas meja sehingga asap hio yang harum semerbak keluar dari kuil itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara jernih dari Hong Ing yang sudah berliam-keng (membaca ayat suci) sambil mengatur iramanya dengan memukul alat yang khusus dibuat untuk itu dan yang masih ada di dalam kuil!

Kun Liong sendiri juga sudah menutupi kepalanya dengan kain putih meniru gaya Hong Ing, dan sambil berlutut dan mulut kemak-kemik dia pun tekun memukuli alat untuk liam-keng itu dengan gencar. Maka ramailah di kuil itu, suara Hong Ing berliam-keng diiringi suara tak-tok-tak-tok nyaring! Suara ini ditambah asap hio mengepul harum memang cukup mendatangkan suasana kuil.

Dengan hati berdebar tegang kedua orang itu berlutut dan sengaja memilih ruangan dalam yang gelap, menghadapi meja sembahyang dan menundukkan muka sehingga penutup kepala itu menutupi muka mereka dari samping. Dilihat sepintas lalu, tentu saja mereka merupakan dua orang nikouw yang sedang tekun membaca doa dan suara Hong Ing tidak dapat disangsikan lagi sebagai suara seorang wanita, seorang nikouw.

Derap kaki kuda makin jelas terdengar dan akhirnya terdengar teriakan dan rombongan itu berhenti di kuil. Tepat seperti yang dikhawatirkan oleh Kun Liong, beberapa orang meloncat turun dari kuda dan memasuki kuil! Langkah kaki yang kasar memeriksa ke dalam kuil dan akhirnya memasuki ruangan dimana dia dan Hong Ing berlutut.

Hong Ing makin gencar membaca doa, demikian cepatnya sehingga menyelimuti suaranya yang agak gemetar saking tegangnya.

“Tidak ada nikouw lain, hanya ada dua orang ini,” terdengar suara orang laki-laki.

“Tentu tidak berada di sini. Kalau ada, tak mungkin mereka dapat bersembunyi.” kata suara laki-laki ke dua.

“Nanti dulu!”

Suara wanita ini membuat Kun Liong terperanjat bukan main. Itulah suara Si Gendut Kim Seng Siocia dan diam-diam dia bergidik! Wanita gendut ini amat cerdik dan ternyata Kim Seng Siocia sudah memandang ke arah sepatu yang dipakai Kun Liong dan Hong Ing.

“Heh, Nikouw! Berhentilah dahulu berliam-keng!” Kim Seng Siocia membentak. “Apakah kalian melihat seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda lewat di tempat ini?”

Hong Ing terus berliam-keng dengan suara nyaring, sedangkan Kun Liong cepat menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab, mulutnya terus kemak-kemik dan tangannya memukuli alat itu makin gencar.

“Ah, dua orang nikouw ini mana melihat hal lain kecuali berliam-keng? Mereka akan berliam-keng sampai mati, memesan tempat di sorga, ha-ha-ha!” Terdengar suara laki-laki pertama.

Langkah kaki mereka meninggalkan tempat itu dan hati Kun Liong sudah mulai lega ketika tiba-tiba suara Kim Seng Siocia membuatnya terkejut setengah mati.

“Nikouw! Kenapa sepatu kalian kotor berdebu?”

Pertanyaan itu diucapkan dengan bentakan yang begitu tiba-tiba sehingga Kun Liong yang terkejut itu menjawab gagap,

“Ohhh... ehhh... belum kami bersihkan...!”

Dia terbeialak dan melongo ketika melihat kesalahannya sendiri. Dalam gugupnya dia telah membuka mulut memperdengarkan suaranya yang tentu saja tidak pantas menjadi suara seorang wanita, bahkan dengan mengatakan bahwa mereka berdua belum membersihkan sepatu berarti dia telah membuka rahasia.

“Tangkap mereka!” Kim Seng Siocia berseru keras dan terdengar cambuk hitam di tangannya bersuitan.

Kun Liong dan Hong Ing sudah meloncat bangun dan sambil mendorong tubuh Hong Ing agar mundur, Kun Liong sudah menggerakkan ranting yang berada di tangannya menangkis cambuk. Memang dia sudah menyembunyikan dua batang ranting itu di dalam jubahnya tadi, menjaga segala kemungkinan.

Kim Seng Siocia dan dua orang kang-ouw yang tadi melakukan pemeriksaan, setelah melihat bahwa dua orang itu adalah orang-orang yang mereka kejar, cepat melompat keluar karena mereka bertiga maklum betapa lihainya dua orang itu. Kun Liong berbisik,

“Hati-hati, Hong Ing. Kita harus mencari jalan keluar dan melarikan diri.”

Hong Ing hanya mengangguk, akan tetapi sedikit pun hati dara ini tidak kuatir. Dia berada di samping Kun Liong dan kenyataan ini mendatangkan keberanian luar biasa. Dia mengikuti Kun Liong berloncatan keluar dan setelah tiba di luar kuil, tampaklah oleh mereka musuh-musuh mereka dengan lengkap! Pangeran Han Wi Ong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, para panglima pengawal dan masih tampak belasan orang yang melihat pakaian mereka tentulah orang-orang kang-ouw.

Kun Liong merasa heran melihat orang-orang kang-ouw membantu pemerintah untuk menangkap orang buruan. Dia tidak tahu bahwa orang-orang ini bukan semata-mata membantu pemerintah, akan tetapi lebih condong untuk mencari bokor emas karena mereka menganggap bahwa Kun Liong satu-satunya orang yang agaknya tahu dimana adanya bokor emas yang tulen. Di samping mereka ini, masih ada seregu pasukan terdiri dari lima puluh orang perajurit!

Maklumlah Kun Liong bahwa melawan orang sebanyak itu amat berbabaya. Apalagi kalau mengingat akan kepandaian orang aneh yang tadi mentertawakannya, yang dia tidak tahu siapakah orangnya di antara para orang kang-ouw itu. Kalau melawan tentu akan membahayakan keselamatan Hong Ing. Maka tanpa banyak cakap lagi, tiba-tiba dia merangkul pinggang Hong Ing, mengempitnya dan membawanya meloncat sambil mengerahkan gin-kangnya. Tubuhnya mencelat ke kiri, ke arah orang-orang kang-ouw karena dia sudah tahu akan kelihaian Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw yang berada di depannya.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: