*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 157

Dia lalu memekik nyaring, pekik dahsyat yang mengejutkan para pengerayoknya, apalagi ketika dari tangan kiri Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih dan yang menyambar dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai meloncat mundur.

Kim Seng Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa pukulan ini dan dia menjerit sambil terhuyung mundur, mulutnya mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya terguncang oleh Pukulan Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi. Memperoleh kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat seperti kilat menyambar tubuhnya telah mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah.

Datangnya pemuda ini tentu saja merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa enam orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang marah menyaksikan dara itu terdesak dan terancam.

“Kun Liong, mari kita mati bersama...” Hong Ing berbisik.

“Tidak, kita harus hidup! Kita lawan mereka!” teriak Kun Liong penasaran.

Kini para pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang berdiri saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari manapun juga datangnya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung-menyambung seperti halilintar di musim hujan, bergema di seluruh penjuru dan membawa kekuatan yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada belasan orang perajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini menggigil hampir roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khi-kang itu.

“Ha-ha-ha-ha! Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang nikouw muda! Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang sudah mengeroyok dua orang alim? Ha-ha!”

Semua orang, termasuk Kun Liong dan Hong Ing mengangkat muka memandang. Dari dalam hutan itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna merah!

Lama jubah merah! Sudah terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah merupakan segolongan pendeta yang berilmu tinggi dan berpengaruh di Tibet! Anehnya, pendeta Lama tinggi besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana sekali, hanya sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap.

“Ha-ha-ha-ha, mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan menantang aku! Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku) melakukan pelanggaran pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku hanya sebuah, sedangkan kalian begitu banyak, mana cukup?”

“Hwesio gila...!”

Lima orang kang-ouw dan belasan orang perajurit yang tadi berada di bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa itu, menyerbu dengan senjata mereka yang bermacam-macam.






Pendeta Lama itu hanya tertawa tanpa menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya. Ketika belasan orang itu mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya yang berjubah lebar. Angin yang dahsyat menyambar seperti badai dan... lima orang kang-ouw bersama belasan orang perajurit itu roboh dan tidak dapat bangun kembali!

“Ha-ha-ha, segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng? Tidak ada gunanya! Pinceng baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau lawan pinceng yang seimbang maju. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw? Mana dia Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang? Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima The Hoo! Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng Lama?”

Semua orang, terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Cia Keng Hong yang bernama Sin-jiu Kiam-ong (baca cerita Pedang Kayu Harum) juga ditantangnya, termasuk Panglima The Hoo yang sakti luar biasa!

Mendengar bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw disebut-sebut, marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak keras dan melompat ke depan. Tubuh yang gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi ledakan kecil berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara kemudian meluncur ke arah kakek pendeta Lama itu.

“Ha-ha-ha, bagus juga Si Gendut ini!”

Kakek itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya dan... seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan Si Kakek lihai lalu ditangkapnya.

“Lepaskan cambukku! Aihhh...!”

Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot, namun cambuknya seperti telah berakar ditangan kakek itu yang masih tertawa-tawa, kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang gendut dari Kim Seng Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara ketawa kakek itu!

Kim Seng Siocia sudah berdiri lagi, memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan yang lain.

Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim seng Siocia, akan tetapi juga Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok Keng dan Bu Kong, diam-diam kakek itu merasa kagum. Dia tertawa panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke dekat Kun Liong dan Hong Ing.

“Kallan tidak lekas masuk ke dalam peti mati selagi masih hidup, apakah menunggu sampai mampus baru dimasukkan? Ha-ha-ha!”

Kun Liong dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam hutan kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang untuk menolong mereka, maka Kun Liong lalu menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti itu yang dipanggul oleh Si Kakek tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia lalu membawa Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali!

Biarpun para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti mati, bahkan dia lalu tertawa dan kini lengking ketawanya mengandung tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, mengerahkan sin-kang untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu.

Pangeran Han Wi Kong sendiri yang berdiri agak jauh, sudah terjungkal roboh dan pingsan, sedangkan banyak perajurit roboh dan tewas seketika, telinga mereka mengeluarkan darah segar!

Keadaan menjadi sunyi sekali setelah kakek itu menghentikan suara lengkingannya yang hebat itu, dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok Beng Lama itu untuk berbisik ke dalam peti,

“Kalian adalah orang-orang buruan pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat dulu. Nah, pergilah!”

Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua lengannya yang berbulu untuk melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan meluncur jauh menuju lautan.

“Byuuurrr...!”

Peti mati itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai bertumpang tindih didalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul Hong Ing dan melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak sampai terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti terbanting.

Setelah peti yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan air laut yang bergelombang!

Ketika mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat para pengejar mereka berdiri di pantai. Untung di situ tidak tersedia perahu sehingga mereka tidak mampu melakukan pengejaran. Adapun pendeta Lama bernama Kok Beng Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di pantai. Memang pendeta itu segera melangkah lebar pergi meninggalkan pantai setelah melemparkan peti mati ke lautan dan tidak ada yang berani mengejarnya karena semua orang maklum betapa lihainya pendeta Lama itu.

Kun Liong terus membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat sekali, lengkap berikut tali-temali dan bambu sebagai tiang.

Kiranya peti mati itu bukanlah peti mati biasa, melainkan peti mati yang dapat dipergunakan sebagai perahu dan agaknya memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing, Kun Liong lalu memasang layar dan meluncurlah “perahu” mereka, menerjang ombak menuju ke timur, ke tengah samudera yang luas!

Setelah pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar tak tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu.

“Kemana kita pergi?” Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah penuh kekhawatiran.

Kun Liong menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana!

“Sebaiknya kita mentaati nasihat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita akan menjadi orang buruan terus sebelum aku berhasil bertemu dan mendapat pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ah, tipis harapanku...”

“Giok Keng? Apakah kau maksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi? Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?”

“Benar.”

“Engkau sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu? Siapakah dia?”

“Dia itu... tunanganku...”

“Ihhh...!”

Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak bicara lagi.

Sampai lama keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening menggelisahkan hati.

“Dia adalah puteri Supek Keng Hong...”

Akhirnya Kun Liong berkata, tidak tahu mengapa Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke dalam kegelisahan karena keadaan mereka.

Hong Ing kelihatan tercengang dan menengok.
“Ehhhh...?”

“Tapi pertunangan kami itu telah putus...”

“Hemm...”

Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi mana bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya? Apalagi Kun Liong duduknya di tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu yang melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja mereka duduk berdekatan!

“Kenapa...?”

Kun Liong yang termenung, agaknya ikut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan Hong Ing yang seperti orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba ini.

“Kenapa apanya...?”

“Kenapa pertunangan itu putus?”

“Dia yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku.”

Hong Ing mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum mengejek.

“Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu, tentu pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: