*

*

Ads

FB

Minggu, 20 November 2016

Petualang Asmara Jilid 160

Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan marilah kita menengok keadaan di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, dengan hidup tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping kedua orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw.

Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggauta yang juga menjadi murid-muridnya.

Giok Keng telah menjadi seorang dara remaja yang sudah mereka tunangkan dengan Yap Kun Liong, dan Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apalagi yang dikehendaki? Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar yang dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai orang yang berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang berbahagia hidupnya.

Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah Cia Keng Hong merasa dirinya berbahagia? Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan demikian selanjutnya. Akan tetapi benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak?

Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir maupun batin?

Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk memiliki! Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.

Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!

Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja hidup bahagia dalam pandang mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah benar-benar mereka berbahagia, mari kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama?






Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, duduk bercakap-cakap menghadapi sarapan pagi di dalam taman bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia empat tahun lebih dan tak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang sedang mekar mengharum.

“Giok Keng sudah cukup dewasa,” terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada isterinya. “Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka sekembalinya nanti, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita.”

Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biarpun usianya sendiri sudah empat puluh tahun lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.

“Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kau pikir dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil apabila dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Mengapa kau tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?”

“Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan daripada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri, ibunya masih sumoiku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi-i-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia memiliki watak yang gagah perkasa dan budiman, biarpun agak lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk.”

“Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja.”

“Hemm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum berpengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang masih hijau hanyalah melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta, akan tetapi setelah menikah, timbul perpecahan karena tidak cocok watak mereka. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tidak mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal...”

“Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cui. Orang tua mana bisa disamakan orang muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang muda. Pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, maka mereka pula yang berhak memilih.”

“Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka daripada si anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat.”

“Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega...”

Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada saat itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subonya.

“Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama...”

Sampai disini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.

“Bersama siapa?”

Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.

“Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang lalu...”

“Siapa...?” Biauw Eng membentak marah.

“Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang...”

“Apa...?”

Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang dengan isterinya, menekan perasaannya dan berkata,

“Kin Ta, kau ajak Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap kami di taman ini.”

Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan bagus kepada anak itu. Setelah murid kepala ini membawa putera mereka pergi, Keng Hong dan Biauw Eng duduk kembali saling pandang dan alis mereka berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang tidak-tidak.

“Tenanglah, kita belum tahu apa yang terjadi,” akhirnya Biauw Eng berkata kepada suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan marah kepada puteri mereka.

Keng Hong mengangguk.
“Tentu terjadi sesuatu yang aneh dan hebat....” katanya, menarik napas panjang. “Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mungkin Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat.”

“Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya,” isterinya membela puteri mereka.

Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka.

Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu.

Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, sedangkan Giok Keng setelah menyebut “ayah dan ibu” lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan,

“Ayah, harap Ayah periksa pedangku ini.”

Benar saja perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini sekaligus mereka mengalihkan pandang dan melihat pedang yang diberikan oleh Giok Keng kepada ayahnya itu.

Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main. Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis di batang pedang!

Hal itu menandakan bahwa ada orang memiliki tenaga sin-kang mujijat yang telah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.

“Siapa yang melakukan ini?”

Sebagai seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu.

Memang inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut dan memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Dia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusannya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan terputar dan tidak secara langsung.

“Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!”

Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak perajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya ketika dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.

“Kok Beng Lama...?” Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat. “Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw...! Mengapa dia menentang perajurit pemerintah?”

“Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: