*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 162

“Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai selaksa jurus! Hendak kulihat sampai dimana kepandaian Go-bi Thai-houw yang kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!”

Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru, terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khi-kang kuat bukan main!

Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan Go-bi-san. Tak lama kemudian tibalah dia di depan sarang tempat tinggal Kim Seng Siocia dan para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri memandangi bangunan megah itu dan tertawa,

“Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak berani keluar melayani tantanganku?”

“Kakek berotak miring!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya.

Melihat munculnya barisan wanita ini, mengenal Kim Seng Siocia yang pernah mengeroyoknya ketika dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!”

Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil membentak,

“Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?”

“Hah...? Dia sudah mampus?”

“Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku Kim Seng Siocia adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?”

Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali.
“Ahhhh, aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiang Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?”






Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini, akan tetapi karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap junjungannya Go-bi Thai-houw dipandang rendah dan dihina maka dia menjadi marah sekali.

“Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biarpun Thai-houw sudah meninggal dunia, akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar melawanmu!”

Setelah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya dan terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara.

“Jadi engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat muridnya pun sudah dapat menilai sampai dimana kepandaian gurunya!” Kok Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!

“Tar-tar-tar... wuuuutttt...!”

Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan beracun.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!” Pendeta Lama itu berkata dengan gembira.

Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab peninggalan Go-bi Thai-houw, tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar juga tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyelingi serangan cambuknya.

Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju, Kim Seng Siocia meringis kesakitan dan seluruh lengan kirinya tergetar hebat!

Tiba-tiba dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauwnya itu menyambar ke arah perutnya sendiri! Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

“Heiii..., gilakah...?”

Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita gendut itu “membunuh diri” secara aneh tiba-tiba cambuk membalik dan ujung cambuk itu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah mati itu!

“Plakkk... desss...!”

Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenai pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauwnya tidak melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat sin-kang yang terkandung di tangan kirinya itu “tenggelam” dan tak berbekas. Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru,

“Ilmu siluman...!” dan wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar dan terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauwnya sendiri itu menghunjam dan menembus pelipis kepalanya.

Kim Seng Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, akan tetapi dengan mudah Kok Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya!

Kim Seng Siocia tewas seketika! Anak buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka sangka sama sekali bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu!

Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat.

Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak,

“Pergilah kalian!”

Terdengar suara “plak-plak!” susul-menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya itu!

“Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?”

Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw!

Seperti diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In, dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu.

Betapapun juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia dapat menanggulangi kakek sakti itu, mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegat mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya.

Dua orang muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga minggat entah kemana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali.

Dia akan memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, untuk tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu.

Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia mengenal pula nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.

“Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?”

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal.
“Aku Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu kepandaian?”

“Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!” Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu pandai menyembunyikan rasa jerihnya untuk bertanding dengannya. “Habis, mau apa engkau datang menemuiku?”

“Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?”

Sambil berkata demikian, Go-bi Sin-kouw menggunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama.

Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya merupakan sebuah ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru!

Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah pucat dan tiba-tiba dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangannya membentuk cakar setan!

Go-bi Sin-kouw terkejut sekali, cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.

“Plak! Plak!”

Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu.

“Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?” Bentak Kok Beng Lama.

Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih,

“Kau bunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang Pek Cu Sian...!”

Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras.

“Pek... Cu... Sian... ? Di... di mana dia...?”

Dia terbelalak memandang nenek itu dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main.

“Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia, dia meninggalkan benda ini dan puterinya...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: