*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 163

“Ouhhh...!”

Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang di dalam ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di Tibet!

Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang menganut Agama Buddha yang dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu.

Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipujanya sebagai dewa pembasmi dan penghancur, karena itu amat ditakuti dan telah menjadi tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, pada hari ulang tahun dewa itu, mereka menyerahkan korban-korban, diantaranya korban seorang dara cantik yang masih perawan.

Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka.

Ada beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.

Diantara tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah Merah untuk membalas dendam.

Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini tertawan dan kemudian melihat bahwa dia amat cantik dan masih perawan, dia dipilih untuk menjadi calon korban, hendak dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan membakar anak perawan itu dalam keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka!

Ketika Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng Lama, seorang diantara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke dua yang terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian!

Maka dengan kecerdikan dan kelihaiannya, diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan, kemudian menyembunyikannya di dalam kamar rahasia.

Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biarpun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya.

Kalau dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak mempunyai orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama. Keduanya melakukannya hubungan rahasia di dalam kamar dimana perawan itu di sembunyikan.






Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan dara itu oleh para tokoh Lama Jubah Merah dianggap hilang atau berhasil melarikan diri. Akan tetapi sebetulnya, Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar!

Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya terbuka juga. Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia. Dan terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama dan Pek Cu Sian!

Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya, dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun, Pek Cu Sian telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah.

Namun dia sendiri terluka parah dan biarpun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang “diadili”, maka tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi.

Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya oleh ketua golongan Lama Jubah Merah. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, Kok Beng Lama memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khi-kang yang luar biasa kuatnya, juga sin-kangnya membuat kedua tangannya kebal dan berani melawan senjata pusaka yang bagaimanapun juga ampuhnya!

Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya dan puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan dimintanya pertanggungan jawabnya.

“Pinceng telah menerima dosa dan telah menanggung semua kesalahan dengan menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang tidak berdosa dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!” teriaknya marah.

Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu mengaku betapa Pek Cu Sian dan puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok sampai luka-luka parah dan biarpun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya.

Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk dan ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan niat untuk mencari tahu perihal kekasih dan puterinya.

Kedukaan hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu!

Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar tentang kekasihnya itu dari Go-bi Sin-kouw! Apalagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu.

“Bagaimana matinya? Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan Puteri Pinceng?”

Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu kini terdengar parau dan tidak jelas.

“Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Akan tetapi, sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji dulu bahwa selanjutnya engkau tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw.”

Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah, aku Kok Beng Lama berjanji takkan mengganggu Go-bi Sin-kouw.”

“Dan kau harus menyetujui aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini memimpin semua wanita ini.”

“Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian.”

Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apalagi anak buah Kim Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jerih menghadapi pendeta Lama ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan tandingannya!

“Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, aku mempersilahkan kau masuk ke istanaku dimana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama.”

Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu, mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan “anak buahnya” untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama.

Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleb anak buah yang kini memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw talu bercerita,

“Aku sedang melakukan perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun nenangis di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing.”

Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia bertanya penuh gairah,

“Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku berterima kasih sekali. Dan dimana sekarang adanya anakku itu? Di mana puteriku Pek Hong Ing...?”

Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang,
“Itulah yang menyusahkan hatiku. Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa. Kemudian hendak kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama.”

“Hehhh...?” Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. “Dimana? Yang mana?”

“Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan kau telah membantu mereka melarikan diri.”

“Yaaaa, dan mana puteriku?”

“Nikouw muda itulah!”

“Aihhh...!”

Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia dan dengan cepat dia berkata,

“Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama.”

Kakek itu mengepal kedua tinju tangannya yang besar kemudian menghardik,
“Go-bi Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?”

“Ahhh, duduklah baik-baik dan dengarkan dengan tenang,”

Go-bi Sin-kouw membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah.

“Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, kau akan menjadi ayah mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian bersama pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, dan membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu.”

“Brakkkk!” Meja itu terbuat daripada batu putih yang amat keras, akan tetapi tidak kuat menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur! “Siapa pemuda gundul itu?”

“Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!”

“Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!”

“Tapi dia kabarnya memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo.”

Berkerut alis Kok Beng Lama.
“Apa itu Thi-khi-i-beng?”

“Ahh, seorang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi-i-beng? Ilmu yang amat dahsyat dan mujijat, sin-kang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!”

“Huh, siapa itu Cia Keng Hong?”

“Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong.”

“Bagus! Dimana dia?”

“Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah kemana.”

“Keparat! Akan kucari mereka semua!”

Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu, membuat Go-bi Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru!

Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung yang mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia. Tentu saja dia merasa girang sekali. Biarpun dia kehilangan dua orang muridnya, akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan memperoleh tempat tinggal yang indah.

Hanya sedikit kecewa hatinya mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak! Akan tetapi karena yang masih berada di situ jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia.

**** 163 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: