*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 164

Kun Liong sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh sinar matahari yang langsung menimpa kepala dan mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia teringat dan mengeluh, lalu mendekap kain itu dan diciuminya.

“Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!” demikian keluh hatinya.

Dia hampir merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu, hatinya masih penasaran dan sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai.

Namun hasilnya sia-sia. Akhirnya dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan ikan besar. Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu!

Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Dan dia masih hidup! Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri di seluruh tubuhnya dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya amat lapar.

Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan dia menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa amat lapar itu. Sedapat mungkin dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat kepada dara itu.

Jelas ternyata setelah diselidikinya bahwa pulau itu adalah sebuah pulau kecil yang kosong. Di tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu. Dan tetumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang tidak dapat dimakan.

Diantaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua, dengan batang yang besar-besar. Hutan kecil itu liar dan gelap, dan di situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan guha-guha besar. Namun dia tidak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya semak-semak belukar itu.

Terpaksa, untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging burung itu dan biarpun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi kelaparan.

Akan tetapi, makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini, teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan, leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya.






Sambil minum air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa daging burung panggang ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar, menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas.

Matahari sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian sinar matahari telah melewati batu karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang telah mengalami kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tidak merasakan lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah bergerak.

Akan tetapi sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda yang dihimpit oleh penderitaan batin ini, yang dengan kekuatan batinnya menahan kedukaan hebat, setelah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul.

Mimpi hanya datang mengganggu seseorang yang di waktu siangnya diamuk oleh pikirannya sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan dalam pikirannya suatu pengalaman, tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi!

Di alam mimpinya, Kun Liong melihat beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya dan mereka menari-nari, seperti dewi-dewi kahyangan di sekelilingnya, tersenyum simpul dan mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu berlumba untuk memikat hatinya.

Dan dia mengenal dara-dara itu karena mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam hidupnya. Yo Bi Kiok dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati, Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang ada pada Hong Ing amat menarik hatinya!

Para wanita ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Ingin sekali dia agar dara yang berkepala gundul itu mendekat namun apa daya, dia sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.

Tiba-tiba datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus angin melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin, gadis itu tidak seperti yang lain terbang melayang menunggang angin. Hong Ing meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti minta bantuan dan terdengar jeritnya,

“Kun Liong...!”

“Kun Liong...!”

Kun Liong tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Dia menarik napas panjang tanpa membuka mata, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir.

“Mengapa tidak perlu?” bantah suara di dadanya, “Mimpi ada artinya, apalagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Pasti ada artinya mimpi tadi!”

“Aahhh, celoteh nenek bawel!” bantah suara di kepalanya. “Mimpi hanya kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan.”

“Sombong! Si dungu berlagak pintar!” Hatinya memaki. “Pasti ada artinya. Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta dan minta pertolongannya? Itu tandanya cinta?”

“Cinta hidungmu!” bantah pula suara di kepala. “Tidak ada cinta yang murni, semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang akhirnya akan nenderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!”

“Sombong! Kalau tidak cinta, mengapa kau menderita setengah mampus karena kehilangan Hong Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?” Hatinya menjerit marah.

“Hemm, apa sih artinya, cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?” Suara di kepalanya melemah, namun masih membantah dan meragu.

“Kun Liong...!”

Terkejutlah dia. Suara itu demikian jelas sekarang, diantara suara angin ribut. Angin ribut? Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya dan cepat menutupkannya kembali karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk! Dia cepat meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu sehingga tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap!

Kun Liong termangu-mangu. Sudah malam? Dia mengingat-ingat. Tadi dia makan daging burung panggang ketika matahari telah naik tinggi, dan dia mulai merebahkan diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat. Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari lebih! Dan semua itu tadi hanya mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah mencari di sekeliling pulau.

“Kun Liong...!”

Kun Liong terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah? Bulu tengkuknya meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh kasihan Hong Ing...!

Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh, tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya dalam cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya dalam mimpi tadi juga roh para gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang lain-lain bukankah masih hidup?

“Kun Liong...! Ahh... Kun Liong...!”

Suara itu merupakan jerit melengking, disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi. Datang terbawa angin! Dari tengah pulau!

“Hong Ing...!”

Kun Liong meloncat. Tidak peduli lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tidak peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya.

“Hong Ing...!”

Dia berteriak-teriak memanggil ketika dia sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi guha-guha di batu karang yang membukit.

“Kun Liong...!”

Biarpun hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis itu yang menjadi penasaran berkeliaran di pulau dan menemukan tempat tinggal di dalam guha itu?

“Hong Ing...!” Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati guha.

“Kun Liong...!”

Kun Liong meloncat masuk. Tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah, yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat, dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya mendekap kepalanya dan di antara suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing,

“Kun Liong... ahhh, Kun Liong...!”

“Hong Ing...!” Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya keharuan, kegembiraan.

“Hong Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!”

“Kun Liong... ahhh, alangkah lamanya menantimu di sini. Sampai serak suaraku memanggil-manggilmu... kukira kau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar bukan main...!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: