*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 168

Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dahulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir.

“Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita

Cinta adalah suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
hanya orang bijaksana saja mengenal
Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!”

Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing dan memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta, memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir “si dungu hanya mengejar nafsu!”

Entah mengapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki “si dungu” dalam nyanyian itu! Otomatis, seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, dia menjawab,

“Memang aku dungu!”

“Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?”

Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya.

“Kau... ngambek (murung) lagi?”

“Tidak!”

Akan tetapi jawaban itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan berkata.

“Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!”

Mulut Kun Liong makin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh!






“Kum Liong...”

Tadinya dia tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu begitu merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab,

“Apa?” Jawaban yang masih kaku.

“Maukah engkau menolongku?”

Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang.

“Menolong apa, Hong Ing?”

Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan.

“Tolong kau kalungkan ini di leherku.”

Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi dia girang sekali dan tanpa menjawab dia menerima kalung itu.

Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya? Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan ke lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing. Dia menunduk, Hong Ing menengadah.

Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat di dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka. Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan dapat bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Akan tetapi dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur.

Hong Ing membuka matanya, tersenyum.
“Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,”

“Hemm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing.”

“Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kau maafkan aku, ya? Dan kau maafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?”

Kun Liong menjadi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya!

“Hong Ing, mari kita mencari telur.”

“Ih, kau tahu aku tidak suka telur.”

“Bukah untuk kau. Aku paling doyan telur. Aku kemarin melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!”

Keduanya berlari-larian seperti anak-anak di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemarahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut.

Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti.
“Di sinilah.”

“Ah, begini dekat? Kukira jauh!”

“Aku melihat ada kura-kura malam kemarin mendarat di sini.”

“Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masih ngeri kalau mengingatnya.”

“Ular? Di sini? Benarkah itu?” Kun Liong bertanya, heran. “Mengapa kau tidak bilang padaku?”

Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya.
“Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!”

Kun Liong tertawa.
“Aah, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura.”

Kembali mereka bergembira, lari ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlumba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu.

Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda dimana tempat telur-telur itu. Pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembangbiakan mereka itu.

“Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!”

Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari menghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu.

“Ahh, kau sudah menemukannya...!” teriaknya sambil berlari.

Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan kedua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu.

“Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!”

“Eh...?” Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. “Sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?”

“Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini.”

Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu dan memandang peti yang tidak berapa besar yang diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu.

“Apa isinya?”

“Kita bawa ke pondok dan kita buka disana,” kata Kun Liong.

Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menanti sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu tampak.

“Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!” Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. “Emas, perak, permata..., ah, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!”

Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing.
“Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah.”

Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda itu yang amat indah dan merupakan perhiasan-perhiasan yang biasa dipakai oleh puteri-puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggeleng kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti.

“Sayang...!”

Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu.

“Apa? Mengapa kau mengatakan sayang setelah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?”

“Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan lebih bergembira kalau isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan...”

Dia mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata di sebelah bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali dan mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali.

Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa.

“Waaah, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu takkan pernah berhenti membaca.”

Namun Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia sudah membalik sampul dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang amat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andaikata tinta itu lenyap sama sekalipun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: