*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 171

“Tentu saja! Tempat ini amat sunyi, aku merasa seperti berada di dalam kuburan! Bukan di dunia ramai.” Tiba-tiba suara Hong Ing berubah seolah-olah menyesali kata-katanya itu. “Betapapun juga, ada engkau di sini!”

“Engkau tentu kehilangan segala kebutuhan wanita. Sisir pun tidak ada.”

“Sisir bambu buatanmu cukup baik.”

“Dan sabun wangi, minyak wangi... ahhh, pakaianmu...”

“Di sini banyak kembang harum... sudahlah, Kun Liong. Kau pun tidak pernah mengeluh, tidak pernah membutuhkan apa-apa.”

“Aku sih tidak membutuhkan sisir, kepalaku gundul buruk begini...”

Hong Ing tertawa. “Memang kepalamu gundul dan lucu!”

“Dan buruk...”

“Dan buruk...!” Hong Ing seperti diajar bicara.

“Dan aku pernah memualkan perutmu.”

“Kadang-kadang...”

“Sekarang...?”

“Sekarang kau paling memualkan perutku!”

“Ehhhi...! Maaf, Hong Ing...”

“Kau terlalu cainggung, terlalu sopan, terlalu terpelajar, terlalu berfilsafat, terlalu melamun, terlalu... terlalu... engkau terlalu sekali!”

Hong Ing bangkit dan dengan gerakan cepat penuh kejengkelan hati lalu meninggalkan Kun Liong, berlari pergi ke tengah pulau dan bayangannya lenyap di dalam hutan.

Kun Liong melongo. Kemudian ditamparnya kepalanya yang gundul dan mulutnya menyumpah.

“Disambar geledek kalau aku mengerti ini...!”

Dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu berjalan perlahan menuju ke rimba di tengah pulau. Dia menyelinap di antara semak-semak, mendekati sumber air dimana dia melihat Hong Ing menangis seorang diri di dekat sumber air, di dekat kolam! Hong Ing menangis! Dan didengarnya suara Hong Ing, lirih dan penuh kedukaan, bicara kepada dirinya sendiri!






“Nah, puaskanlah hatimu, menangislah sepuas hatimu...!” Hong Ing menjenguk ke air. “Aduhhh... kasihan kau... biar kau menangis sampai kedua matamu merah dan bengkak-bengkak, biar kau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, apa gunanya? Lihat hidungmu yang kecil mancung menjadi merah! Apa perlunya kau menyiksa diri? Biar kau sampai menjadi kurus kering, atau andaikata engkau bersolek sampai secantik-cantiknya, apa gunanya? Apa perlunya kau menggosok kedua pipimu pagi tadi sampai pipimu kemerahan... begitu segar dan mengalahkan kecantiken bidadari, semua itu apa artinya? Tak seorang pun akan melihatnya, apalagi mengagumi! Si sombong, si pongah itu, hanya akan mengucapkan selamat pagi dengan suara datar, memuji rambutmu secara basa-basi, kemudian makan dengan lahap tanpa satu kalipun mengerling kepadamu, kemudian tenggelam dalam kitab-kitabnya untuk bertemu dengan wanita idamannya! Kau...? Hah, mungkin hanya menimbulkan sedikit rasa iba... huh-hu-hu...!” Hong Ing menangis lagi!

Kun Liong terbelalak dan kesima, tak mampu bergerak, menahan napas dan dia merasa demikian kaget, bingung, dan heran sehingga dia tidak mengerti apa sebabnya Hong Ing bicara seperti itu dan menangis demikian sedihnya!

Karena khawatir kalau dia dilihat dara itu, diam-diam dia lalu pergi dari hutan itu, bukan kembali ke pondok melainkan pergi ke bagian pantai yang berlawanan tempat yang jarang didatanginya, pantai yang penuh dengan batu karang tidak berpasir seperti pantai dimana dia membuat pondok mereka.

Dia menghempaskan diri di atas tanah, bersandar batu karang den memandang jauh ke depan, jauh sekali menyeberangi laut yang tak bertepi itu. Apa yang telah terjadi dengan dirinya menghadapi Hong Ing? Mengapa dia merasa begitu aneh berhadapan dengan dara itu? Terjadi perbantahan sendiri di antara hati dan pikirannya, membuat dia duduk terlongong, lupa waktu lupa keadaan.

“Kau cinta padanya, tolol!”

“Hemm, apa sih cinta itu? Aku suka kepadanya karena dia cantik, seperti aku suka kepada gadis lain.”

“Bukan! Sekali ini lain sama sekali! Kau tidak pernah menggodanya, kau tidak berani mendekatinya, dia mendatangkan rasa hormat dan iba di hatimu, dia bagaikan sebuah benda pusaka yang tak ternilai harganya bagimu sehingga engkau tidak berani memegangnya terlalu lama khawatir rusak! Sedangkan gadis-gadis lain itu bagimu hanya merupakan benda-benda Indah dan kau jadikan permainan. Gadis-gadis lain itu bagimu seperti bunga-bunga yang indah harum, kau cium dan kau petik kemudian dilupakan begitu saja. Akan tetapi dia lain! Dia bagimu merupakan setangkai kembang yang suci, yang kau kagumi dengan memandang dan memujanya akan tetapi merasa sayang kalau tersentuh kotor. Kau cinta padanya!”

“Hemmm... aku hanya akan mencinta wanita idamanku.”

“Wanita idamanmu itu hanya khayal, hanya asap, tepat seperti dikatakannya dahulu! Wanita macam itu tidak ada!”

“Hemmm...” Kun Liong meremas pasir karang sampai menjadi bubuk halus.

Dia duduk termenung di tempat itu, tak pernah berpindah, sampai matahari telah naik tinggi kemudian condong ke barat. Baru dia teringat betapa dia telah setengah hari duduk di tempat itu dan bahwa Hong Ing tentu akan gelisah menantinya pulang. Hati dan pikirannya telah berdamai dan telah bermufakat untuk melakukan sesuatu kalau dia bertemu dengan Hong Ing nanti! Dia mencinta Hong Ing! Inilah keputusan yang diambil oleh hati dan pikirannya, dan dia akan mengaku terus terang kepada dara itu!

Dengan jantung berdebar tegang akan tetapi kaki dan kepala ringan setelah dia mengambil keputusan tetap, Kun Liong berlari-lari ke arah pondok. Tahulah dia kini bahwa segala perasaan aneh yang dideritanya selama ini, bukan lain adalah keraguan terhadap hubungannya dengan Hong Ing. Sekarang harus ada kepastian! Dia mencinta Hong Ing!

Dia harus menyatakan ini terus terang, dan apakah Hong Ing juga mencinta dia atau tidak, itu urusan lain lagi! Besar sekali kemungkinannya gadis itu tidak mencintanya, terlalu sering perasaan tidak senanghya diperlihatkan.

Akan tetapi, andaikata benar Hong Ing tidak mencintanya, dia tidak akan penasaran, dan penjelasan itu akan melegakan hatinya. Tidak seperti sekarang, digerogoti keraguannya sendiri. Bagaimana nanti jadinya kalau Hong Ing menjawab pertanyaannya, dia tidak mau membayangkannya. Bagaimana nanti sajalah!

Tiba-tiba kedua kakinya berhenti dengan tiba-tiba dan matanya terbelalak memandang ke depan, kedua alisnya berkerut. Dia melihat Hong Ing berdiri di pantai depan pondok, akan tetapi tidak sendirian!

Ada tiga orang lain yang berdiri di depan dara itu dan melihat mereka, jantung di dalam dada Kun Liong berdebar tegang. Tiga orang itu adalah pendeta-pendeta Lama berkepala gundul dan berjubah merah! Teringatlah dia akan kakek pendeta Lama yang pernah menolong dia dan Hong Ing, yang amat sakti dan melontarkan mereka yang berada di dalam peti mati ke laut! Apakah kakek sakti itu yang datang bersama dua orang kawannya?

Melihat mereka dari jarak jauh, sukar membedakan muka para pendeta Lama itu, maka dia lalu melanjutkan gerakan kakinya berlari menghampiri. Setelah agak dekat, tampaklah olehnya bahwa mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang usianya sudah tua, akan tetapi pendeta Lama raksasa yang pernah menolongnya itu tidak berada di antara mereka. Kini dia sudah tiba dekat dan berdiri memandang.

Tiga orang itu bersikap agung dan berwibawa, usia mereka tentu sudah enam puluh tahun lebih. Mereka berdiri berjajar, yang tengah-tengah agak berbeda jubahnya, yaitu pinggir jubah merahnya memakai garis kuning emas dan kedua tangannya yang dirangkap di depan dada itu memegang lima batang hio (dupa biting) yang mengeluarkan asap harum. Adapun dua orang lainnya berdiri di kanan kirinya, juga merangkap tangan depan dada dan menundukkan muka seolah-olah mereka berdua itu selalu berada dalam keadaan bersamadhi dan berdoa!

Hong Ing berdiri dengan wajah agak pucat di depan mereka, dan jelas tampak betapa dara itu berada dalam keadaan bimbang ragu dan bingung. Melihat munculnya Kun Liong, wajah Hong Ing agak berseri seolah-olah dia melihat datangnya pertolongan.

“Kun Liong, para Locianpwe ini adalah supek dan kedua susiok dari Tibet, datang diutus oleh... ayahku untuk menjemputku!” suara Hong Ing gugup karena hatinya merasa tegang sekali.

Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang pendeta itu, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian menjura dengan hormat dan berkata,

"Sam-wi Locianpwe adalah paman-paman guru Nona Pek Hong Ing? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, harap Sam-wi sudi menjelaskan.”

Dua orang pendeta di kanan kiri masih menunduk dengan kedua mata terpejam, hanya pendeta yang berdiri di tengah yang mengangkat muka memandang Kun Liong. Pemuda ini terkejut sekali ketika melihat sinar mata kakek itu menyambar bagaikan halilintar! Wajah yang penuh keriput itu kelihatan dingin dan penuh wibawa yang menyeramkan, mulutnya selalu tersenyum sabar dan kepalanya lebih licin daripada kepalanya sendiri. Yang amat menarik hatinya, asap dari lima batang hio yang dipegang oleh kedua tangannya itu, membubung lurus ke atas, sama sekali tidak terpengaruh oleh tiupan angin laut!

“Siancai... pinceng telah menceritakan kepada yang berkepentingan, dan satu kali saja sudah cukup.”

Suara kakek ini lemah lembut, namun di dasarnya terasa sekali keputusan yang seperti baja, tak dapat digoyahkan pula!

“Kun Liong, ketahuilah. Mereka ini datang dari Tibet sebagai utusan ayahku yang katanya kini menjadi calon ketua para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Untuk pengesahan dan upacara pengangkatan ayah sebagai ketua, aku sebagai anak tunggal harus hadir, maka ketiga orang Locianpwe ini datang untuk menjemputku sebagai utusan ayah. Bagaimana baiknya, Kun Liong? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!”

Kun Liong mengerutkan alisnya. Sungguh tak disangka-sangka timbulnya urusan aneh ini dan dia menjadi curiga. Mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, dan kalau ayah Hong Ing adalah suheng dan sute mereka tentu ayah Hong Ing juga seorang pendeta Lama. Mana mungkin ini? Dan bagaimana pula mereka bertiga itu bisa tahu bahwa Hong Ing adalah puteri calon ketua mereka?

Agaknya pendeta Lama yang memegang lima batang hio itu dapat membaca isi hati dan keraguan Kun Liong. Terdengar dia berkata dengan bahasa pribumi yang baik akan tetapi dengan lidah agak kaku, tanda bahwa sudah terlalu lama dia tidak menggunakan bahasa ini.

“Orang muda harap jangan ragu-ragu terhadap kami. Kami masih mengenal Pek Hong Ing yang meninggalkan Tibet ketika dia berusia lima tahun, dan ketika di daratan besar kami mendengar bahwa Pek Hong Ing meninggalkan daratan dengan seorang pemuda gundul, kami segera berlayar dan mencari, akhirnya Sang Buddha menuntun kami sampai di tempat ini.”

Kup Liong diam-diam harus mengakui bahwa alasan itu memang masuk di akal. Akan tetapi, kalau benar ayah dara itu yang mengutus, mengapa sebagai seorang ayah, setelah belasan tahun baru ingat untuk mencari puterinya? Pula, dia masih teringat akan cerita Hong Ing bahwa ibunya dikeroyok oleh para pendeta Lama sehingga luka-luka parah dan akhirnya tewas di kaki Pegunungan Go-bi-san. Maka kecurigaannya tetap saja tidak meninggalkan lubuk hatinya.

“Kalau saya boleh bertanya, siapakah nama Sam-wi Locianpwe?”

Kini kedua orang pendeta yang tadi menundukkan muka, mengangkat mukanya dan kembali Kun Liong terkejut. Dua orang hwesio yang sudah tua ini pun memiliki pandang mata yang luar biasa, seolah-olah dari pandang matanya itu keluar tanaga mujijat yang menyeramkan!

Tiga pasang mata yang tajam dan aneh itu memandang Kun Liong penuh perhatian, dan pendeta yang berdiri di tengah dengan suara tetap tenang berkata,

“Orang muda, engkau memiliki nyali besar sekali!”

“Maaf, Locianpwe. Bukan sekali-kali saya hendak bersikap tidak hormat, akan tetapi hendaknya diketahui bahwa selama ini, sayalah yang menjaga dan melindungi Nona Pek Hong Ing,, maka saya merasa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membelanya dari apapun juga. Kedatangan Sam-wi sungguh tidak diduga-duga, bukan saya tidak percaya, tetapi saya harus tahu lebih dulu siapa yang akan berurusan dengan Nona Pek Hong Ing.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: