*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 172

Pendeta yang berdiri di tengah itu tersenyum, sedangkan kedua orang temannya tetap diam seperti patung.

“Pinceng disebut Sin Beng Lama, yang di kiri ini adalah Hun Beng Lama, dan di kanan adalah Lak Beng Lama. Mereka adalah dua orang suteku, dan ayah Nona Pek Hong Ing adalah suheng, mereka dan suteku yang pertama.”

Kun Liong dan Hong Ing saling pandang dan merasa heran. Mendengar nama-nama itu mereka teringat akan kakek pendeta Lama yang telah menolong mereka, maka dengan cepat Kun Liong bertanya,

“Dan siapakah nama ayah Nona Pek Hong Ing?”

“Suteku itu, yang kini dicalonkan sebagai ketua perkumpulan kami, adalah Kok Beng Lama...”

“Ohhhh...!”

Kun Liong dan Hong Ing berseru heran. Jadi kakek pendeta aneh yang amat sakti itu, yang menolong mereka dengan memberi peti mati sebagai perahu, yang bernama Kok Beng Lama dan muncul seperti setan, yang bertubuh seperti raksasa, adalah ayah Hong Ing!

Mendengar seruan itu, Sin Beng Lama dan kedua orang sutenya memandang tajam penuh selidik.

“Apakah kalian pernah bertemu dengan calon ketua kami?” tanya Sin Beng Lama.

Kedua orang muda itu mengangguk, dan Kun Liong berkata.
“Kalau benar bahwa beliau itu ayah Nona Hong Ing, mengapa diam saja dan tidak mengajaknya ketika bertemu dengan puterinya? Dan menurut cerita Nona Pek Hong Ing, Ibunya pernah dikeroyok oleh para pendeta Lama, tidak tahu apakah Sam-wi Locianpwe ketika itu ikut pula mengeroyoknya?”

Tiga orang pendeta itu menggerakkan tubuh sedikit, dan asap lima batang hio itu kini bergoyang-goyang.

“Orang muda! Urusan dalam mana mungkin diceritakan kepada orang luar? Pek Hong Ing, kami adalah paman-paman gurumu. Mari kau ikut bersama kami menghadap ayahmu dan engkau akan mendengar selengkapnya tentang riwayatmu. Dia ini sebagai orang luar tidak berhak mencampuri urusan kami yang merupakan keluarga pendeta Lama Jubah Merah!”

Hong Ing kelihatan bingung dan ragu-ragu, sebentar memandang Kun Liong, lalu menoleh kepada tiga orang pendeta yang memandangnya dengan ramah itu. Melihat ini, makin tidak enak hati Kun Liong. Dengan suara lantang dia berkata.

“Saya bukan orang luar! Kepentingan Hong Ing adalah kepentingan saya juga, bahkan lebih lagi! Saya akan membelanya dengan sepenuh jiwa raga saya!”

“Kun Liong...!” Hong Ing berseru lirih dan memandang dengan mata terbelalak lebar.






Kun Liong menghadapi dara itu dan berkata, suaranya lantang karena dia tidak peduli bahwa ucapannya itu didengarkan oleh tiga orang paman guru dara itu.

“Hong Ing, biarlah aku mengadakan pengakuan sekarang juga. Aku.. aku cinta padamu! Nah, sudah kunyatakan perasaan yang berbulan-bulan ini mencekik leherku. Aku cinta padamu, Hong Ing, dan aku siap untuk membelamu dengan seluruh jiwaku. Jangan kau ikut bersama mereka, kalau memang ayahmu yang menyuruh, biarlah ayahmu sendiri yang datang ke sini! Atau, kalau engkau ingin pergi juga untuk menemui ayahmu, aku harus mengawalmu!”

Muka yang cantik itu menjadi merah sekali mendengar pengakuan cinta yang begitu terang-terangan di depan tiga orang pendeta itu. Akan tetapi tanpa dapat dicegahnya lagi, dua butir air mata meloncat turun dari pelupuk matanya dan dengan mata setengah terpejam dia memandang Kun Liong, bibirnya gemetar dan akhirnya sambil melangkah maju sehingga dia berada dekat sekali dengan Kun Liong, dia bertanya,

“Kau... kau cinta padaku...? Lalu... bagaimana dengan wanita idaman yang kau khayalkan dahulu itu...?”

Kun Liong tertawa dan kedua lengannya bergerak, meraih tubuh itu dan dipeluknya, didekapnya muka dara itu ke dadanya.

“Ha-ha, dahulu aku bodoh, aku dungu, tergila-gila kepada wanita khayal, wanita yang hanya bayangan... aku sungguh tolol seperti yang kau katakan...”

Hong Ing merenggutkan tubuhnya menjauh, mukanya pucat dan matanya terbelalak.

“Apa... apa maksudmu...?” Tanyanya dengan suara terputus-putus.

Kun Liong masih tersenyum dan berusaha meraih lagi, akan tetapi Hong Ing mengelak.
“Dahulu aku tolol, Hong Ing. Yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku hanyalah engkau, wanita dari darah daging, bukan wanita khayal itu, wanita dalam mimpi yang tentu saja tidak pernah ada” Kembali tangannya menangkap lengan Hong Ing dan hendak dipeluknya wanita itu.

“Plak-plak!”

Hong Ing merenggutkan dirinya, menangkis dan menampar dengan muka merah sekali, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

“Tidak! Lepaskan aku!” teriaknya dan wanita itu tersedu, lari mendekati tiga orang pendeta Lama sambil berkata. “Sam-wi Locianpwe, mari bawa aku menemui ayahku.”

Dia tidak menengok lagi kepada Kun Liong yang berdiri dengan muka pucat dan terheran-heran.

Sin Beng Lama tersenyum dan mengangguk.
“Sebagai puteri Sute yang menjadi calon Kauwcu (Kepala Agama), engkau bersikap baik dan tepat sekali, Hong Ing. Sute, ambilkan jubah untuk Hong Ing!”

Lak Beng Lama yang berdiri di sebelah kirinya mengangguk dan sekali kakinya bergerak, tubub hwesio ini sudah mencelat dan berada di atas perahu kecil yang didaratkan di pantai. Sekejap mata kemudian, hwesio ini telah berkelebat datang membawa sebuah jubah merah yang lebar. Gerakannya demikian gesit dan cepatnya sehingga Hong Ing sendiri terbelalak kagum, juga diam-diam Kun Liong yang melihat ini maklum bahwa hwesio Lama itu memiliki gin-kang yang luar biasa tingginya! Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua karena dia masih bengong memandang Hong Ing yang kelihatan marah kepadanya dan kini sama sekali tidak mempedulikannya itu.

Lak Beng Lama dengan sikap melindungi lalu menyelimutkan jubah merah itu ke tubuh Hong Ing. Jubah itu lebar dan panjang sehingga tubuh dara itu tertutup dari leher sampai ke mata kakinya, tidak lagi setengah telanjang seperti biasanya.

Melihat dara itu tidak mempedulikannya dan agaknya hendak benar-benar berangkat meninggalkannya, Kun Liong merasa jantungnya seperti dibetot. Dia meloncat ke depan dan langsung menjatuhkan diri berlutut di depan Hong Ing sambil berkata,

“Hong Ing, jangan pergi... kumohon kau... jangan pergi meninggalkan aku. Aku cinta padamu...!”

Hong Ing memandang kepadanya dan kembali mata itu menitikkan air mata dan suaranya terdengar menyesal sekali.

“Sudahlah, Kun Liong. Aku hendak mencari ayah dan biarlah kita tidak saling bertemu lagi. Betapapun juga, aku selamanya tidak akan melupakan semua budi kebaikanmu kepadaku. Selamat tinggal, Kun Liong...”

“Tidak! Kau tidak boleh pergi begitu saja! Aku harus ikut dan melindungimu, Hong Ing!”

“Orang muda, tidak mungkin boleh ikut bersama kami. Tempat kami merupakan tempat terlarang bagi orang luar!” kata Sin Beng Lama dengan suara halus.

“Aku mau menjumpai ayahmu, Hong Ing! Aku cinta padamu, dan aku akan meminangmu dari tangan ayahmu!” Kun Liong berkata lagi.

Naik sedu-sedan dari dada Hong Ing, akan tetapi dia merenggutkan tangannya yang dipegang oleh Kun Liong.

“Apakah kau lupa bahwa kau tidak akan menikah selamanya, Kun Liong? Dan aku pun tidak akan menerima pinanganmu. Aku tidak membutuhkan perlindunganmu. Sudahlah, aku mau pergi dan jangan kau memikirkan aku lagi, Kun Liong...”

Dara itu sudah melangkah menuju ke perahu, diiringkan oleh ketiga orang hwesio Lama itu. Kun Liong merasa jantungnya seperti diremas-remas. Sekali meloncat, dia sudah melampaui mereka dan menghadang antara mereka dan perahu.

“Tidak boleh! Kau tidak boleh pergi begitu saja, Hong Ing! Kau tidak boleh meninggalkan aku!”

Suaranya mengandung isak dan matanya liar seperti mata seekor kelinci ketakutan. Memang dia takut, dia gelisah bukan main melihat wanita itu hendak meninggalkannya!

“Orang muda, minggirlah kau!” Sin Beng Lama berkata, kini suaranya dingin dan keras, tidak lagi disertai senyum sabar.

“Tidak! Kau tidak berhak mencampuri, Sin Beng Lama! Kalian datang dan hendak membawa pergi dia begitu saja! Tidak boleh! Dia punyaku, dan sejak lama aku hidup untuk dia! Sekarang hendak kau bawa pergi begitu saja! Tidak bisa, selama aku masih hidup!”

“Orang muda, apa kau sudah gila? Minggirlah!” Lak Beng Lama melangkah maju, tongkat di tangan kanannya tergetar.

“Tidak! Kalianlah yang harus cepat pergi dari sini, jangan mengganggu kami berdua lagi.” bentak Kun Liong marah.

“Kun Liong, jangan kurang ajar terhadap Supek dan Susiok!” Hong Ing berseru.

“Mereka belum tentu Supek dan Susiokmu, Hong Ing. Jangan sembarangan percaya orang!” Kun Liong membentak.

“Bocah gila, engkau memang harus dihajar!”

Lak Beng Lama menjadi marah sekali dan tongkathya sudah menyambar ke arah pundak Kun Liong. Pemuda ini juga marah, kemarahan yang timbul karena putus asa dan duka bercampur gelisah menyaksikan Hong Ing hendak meninggalkannya. Dengan pengerahan tenaga dia mengangkat lengannya menangkis tongkat itu.

“Desss! Omitohud...!”

Lak Beng Lama terpelanting dan tentu roboh kalau saja Hun Beng Lama, suhengnya tidak cepat menyambar lengannya. Bukan main kagetnya tiga orang pendeta Lama itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa bukan saja pemuda itu dapat menangkis tongkat pusaka di tangan Lak Beng Lama yang jarang dapat dicari tandingnya itu, bahkan sambil menangkis hampir saja pemuda itu membuat Lama ini malu dan jatuh. Padahal tiga orang Lama ini merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi!

“Hemm, kiranya engkau juga memiliki sedikit kepandaian?”

Hun Beng Lama sudah menerjang maju, menggerakkan seuntai tasbih hitam yang sejak tadi dipegangnya.

“Wuuuuttt... singgg...!”

Kun Liong cepat mengelak dan dari samping dia mengulur tangan hendak mencengkeram lengan lawan dan merampas tasbihnya. Juga gerakan ini membuat Hun Beng Lama terkejut dan terpaksa dia menarik kembali tasbihnya. Gerakan lawan muda itu benar-benar cepat bukan main, dan juga aneh sehingga dia makin penasaran lalu melangkah maju dan menyerang lagi. Kini tasbehnya meluncur ke arah kepala Kun Liong, sedangkan tangan kirinya menampar pinggang.

Biarpun serangan Hun Beng Lama cepat dan mendatangkan angin keras tanda bahwa gerakannya mengandung sin-kang kuat, namun gerakan Kun Liong lebih cepat lagi ketika mengelak dan pemuda ini pun tidak tinggal diam, melainkan membalas dengan pukulan tangan terbuka ke arah leher lawan. Dia kini marah sekali karena tiga orang Lama itu dianggapnya hendak melarikan Hong Ing yang akan dipertahankannya mati-matian, maka dia sampai hati untuk membalas menyerang dengan dahsyat!

“Heihhh!” Hun Beng Lama terkejut dan mengelak, tasbehnya menyambar dari bawah.

“Bukkk!”

Tasbih itu bergerak dengan cepat mengenai perut Kun Liong, akan tetapi pemuda ini memang sudah bersiap, mengerahkan sin-kang melindungi perut den berbareng dia menggunakan tamparan tangan menampar ke arah tengkuk.

“Aihhh... plakk!”

Hun Beng Lama kaget ketika tasbihnya bertemu dengan perut yang keras seperti karet, apalagi ketika tangan lawan sudah menyambar dahsyat memukul tengkuknya. Dia mengelak, akan tetapi pundaknya kena serempet tangan Kun Liong dan Hun Beng Lama terhuyung-huyung dengan muka pucat karena tamparan tangan pemuda itu mengandung hawa panas!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: