*

*

Ads

FB

Kamis, 24 November 2016

Petualang Asmara Jilid 175

“Ha-ha, tentu saja tidak, Moi-moi!”

“Dan... aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?”

”Ah, tentu saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan dipaksa?”

“Kalau begitu... terserah kepadamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang terpenting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang, cukuplah.”

“Kalau begitu, marilah kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian Hwa Cinjin.”

“Thian Hwa Cinjin? Siapa itu, Koko?”

“Ha-ha-ha, engkau belum mendengar namanya? Memang dia tidak pernah maju sendiri, akan tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur betapa tingginya. Dia adalah Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut Kuning, di muara Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana, Moi-moi.”

“Balklah, Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu...”

“Kita tidak akan bermain cinta sebelum menikah!” Bu Kong memotong sambil tertawa.

“Bukan itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan oleh Pek-lian-kauw itu tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tidak sudi terlibat dalam pemberontakan.”

“Baik, aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk.”

Giok Keng merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggung lalu menyelimuti tubuh kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya kecewa sekali karena hasrat hatinya, nafsu berahinya, tidak terlaksanakan, namun karena Giok Keng sudah setuju untuk bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang lebih baik kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak akan ada yang menggugatnya lagi kelak!

Pada waktu itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan kuat, memiliki cabang dan banyak anggauta. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang pandai dan mereka mengadakan pemberontakan dan menentang pemerintah dengan dalih membela rakyat dari pemerintah lalim.

Karena pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh kaum sesat berlindung di bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan untuk berurusan dengan perkumpulan yang berpengaruh dan amat kuat ini. Biarpun perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak sudi menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak mau melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat kuat.






Hampir di setiap kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw terbagi menjadi empat, yaitu di utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw wilayah timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, seorang tokoh baru yang belum lama muncul dan merupakan tokoh besar di wilayah timur.

Setelah Pek-lian-kaw di timur ini berada di bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka terjadilah perubahan besar yang menyenangkan para anggautanya. Dahulu, sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin, Pek-lian-kauw di wilayah timur ini hanya mementingkan pemberontakan dan urusan agama saja. Akan tetapi, setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para anggauta diperhatikan dan terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para anggautanya. Bahkan ada kecondongan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus memusatkan kekuatan pada perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim dan menindas rakyat, menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi.

Thian Hwa Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak ada yang tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia datang dari Korea. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki kepandaian sihir yang membuat para anggautanya menjadi makin tunduk dan takut.

Tadinya sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dan Tokauw. Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya pendeta wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semua muda dan cantik, dan hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah pendeta Pek-lian-kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini adalah wanita-wanita yang bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan pendeta itu hanya sebagai kedok belaka.

Juga Thian Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw, bahkan diperbolehkan memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia mempunyai dua orang selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri dari gadis-gadis muda cantik yang diaku sebagai pelayan, juga murid, juga penghibur di dalam kamarnya sebagai selingan kedua orang selirnya!

Dua orang selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti dari ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi para pembesar pemerintah. Belum lama setelah dia menjadi ketua, dia menculik dua orang wanita itu, yaitu puteri seorang pembesar di kota Sin-yang, seorang dara muda yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda dan tercantik!

Dia memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian dengan paksa membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka menjadi selir-selirnya. Dua orang wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka sama sekali tidak berdaya untuk melawan, bahkan membunuh diri pun tidak mungkin karena selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua orang wanita itu malah menurut dan senang hati melayani Si Kakek sebagai suami mereka yang tercinta!

Dengan dalih berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari penindasan pemerintah lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana dari sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, melainkan karena mereka ini mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya takkan diganggu oleh Pek-lian-kauw!

Demikianlah, kata-kata “perjuangan” kehilangan kemurnian maknanya, dan dijadikan “modal” bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi kepentingan diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi maupun mencari kekayaan. Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang di jaman dahulu sampai sekarang, dan di seluruh pelosok dunia.

Pada suatu hari, menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi markas Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua itu bukan lain adalah Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng. Dara ini terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-kauw ketika dia tiba di pintu gerbang perkumpulan itu. Tempat itu merupakan sebuah perkampungan di tepi pantai laut, perkampungan yang terkurung oleh tembok yang kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk benteng yang terjaga siang malam dengan kuatnya.

Ketika Liong Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka berdua diharuskan menanti sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus menanti agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan masuk, apalagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh ketua sendiri dan pelaporan kepada ketua melalui beberapa orang komandan jaga!

Thian Hwa Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa seorang bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw hendak berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk.

Dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama Kwi-eng-pang, bahkan dia pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu pernah bersekutu dengan Pek-lian-kauw, sungguhpun persekutuan itu belum menghasilkan sesuatu. Tadinya dia agak malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu, akan tetapi karena teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo dan kabarnya bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang ini, hatinya tertarik dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong dipersilakan menunggunya di ruangan tamu.

Dengan cara berantai, perintah ini akhirnya disampaikan juga kepada Liong Bu Kong yang bersama Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan hati tidak sabar.

Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang ke dua, dimana mereka dikawal oleh penjaga lain lagi menuju ke pintu gerbang ke tiga dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini, mereka disambut oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita yang mengawal mereka ke ruangan tamu di bangunan khusus.

Giok Keng terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh tahun, sikap mereka halus dan jelas membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita muda, paling tua tiga puluh tahun usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biarpun mereka juga kelihatan halus pendiam, namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang menyambar tajam dan penuh arti ke arah wajah Bu Kong yang tampan!

Setibanya di ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, kini dia mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya terbuat dari kayu berukir dan merupakan perabot rumah yang mahal, tiga ruangan itu terhias lukisan-lukisan dan tulisan indah-indah yang tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang tamu gedung seorang hartawan atau bangsawan saja layaknya!

Lapat-lapat di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana tampak asap hio mengepul, terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan seperti biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas.

Di sebelah kanan, agak jauh dari tempat yang amat luas itu, tampak beberapa orang sedang berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan kuat, dan biarpun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik. Diam-diam dia menjadi makin kagum. Tak disangkanya bahwa Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak, yang dibenci oleh ayah bundanya, ternyata merupakan perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan yang kuat!

“Selamat datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah perkasa!”

Suara ini datang dari dalam dan agaknya orang yang bicara sudah berada di depan mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya meremang. Setankah yang bicara itu? Akan tetapi, Bu Kong segera memegang tangannya dan mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah menjura ke depan, ke arah pintu sambil berkata

“Mohon Locianpwe sudi memaafkan kedatangan kami yang lancang ini dan sudi memperlihatkan diri. Harap Locianpwe tidak mempermainkan kami berdua yang muda dan bodoh.”

“Ha-ha-ha, engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!”

“Wussshhh...!”

Tampak asap putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang kakek berusia enam puluh tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian pendeta tosu berwarna kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya. Biarpun jenggotnya sudah banyak ubannya, namun rambut, jenggot dan pakaian kakek ini terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru.

Ada bau harum keluar dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai wangi-wangian di tubuhnya. Namun, kakek kurus jangkung itu memiliki sepasang mata yang amat tajam, sepasang mata yang mengandung wibawa kuat sekali sehingga dalam pertemuan pandang pertama, Giok Keng merasa berdebar jantungnya dan meremang bulu tengkuknya sehingga dia cepat menundukkan mukanya.

“Tok! Tok! Tok!”

Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng.

“Saya Liong Bu Kong dan Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada Tung-kauwcu (Ketua Agama Timur).” Kembali Bu Kong berkata sambil menjura dengan hormat, diturut oleh Giok Keng.

“Ha-ha, tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri, bukan? Benarkah engkau putera Kwi-eng-pangcu?”

“Benar, Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang.”

Ketua Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Hemmm, Pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau tidak salah, dalam perebutan bokor pusaka bukan? Hemmm, sayang sekali...! Mari silakan duduk agar enak kita mengobrol!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: