*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 181

Pula begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing tentang suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In telah ditangkap oleh Ouwyang Bouw dan telah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat akan ini selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan.

“Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!” kata pula Ouwyang Bouw dan diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini.

Dapat dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci air yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa kepada Ouwyang Bouw. Biarpun dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat kepalanya gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja Ular itu.

Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan dan melihat dia tidak melakukan perlawanan dan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang pandai ilmu silat, biarpun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggauta pasukan.

Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di gunung yang dari jauh tampak kehijauan tadi. Perjalanan menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergiclik. Kalau dia tidak bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa bekal secukupnya.

Ketika rombongan itu tiba di puncak gunung, Kun Liong melihat dengan kaget bahwa puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang besar dan kuat. Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga seperti sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat.

Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw, beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah kursi tinggi berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu.

Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung, kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.

Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di situ dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoinya, Pek Hong Ing, bertemu dengan Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu.

Ouwyang Bpuw jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, sucinya itu menyerah dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw berlari cepat memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.






Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya, menerima semua perlakuan Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tidak membantah atau melawan sedikit pun ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua.

Kim In sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoinya, bukan pula semata-mata untuk menyelamatkan nyawanya sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan akan tetapi setengah gila ini. Dia melihat betapa Ouwyang Bouw memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.

Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila dan pemuda sinting ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In.

Setelah menderita siksaan batin pada masa “pengantin baru” tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya, karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi!

Kim Ing mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai alat untuk memeras! Semua ini dilakukan hanya dengan satu niat, yaitu membalas dendam kepada musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo!

Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam telah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo karena tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo!

Peritiwa itu mendatangkan dua akibat dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti tunangannya itu. Ke dua, dia menaruh dendam yang amat mendalam kepada Thian-ong Lo-mo yang telah membunuh tunangannya.

Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tidak ada selirnya yang cantik, tunangannya tidak berjina dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi, ketika itu, untuk dapat membalas dendam adalah hal yang mustahil karena tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subonya sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu?

Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya. Baginya, semua pria sama saja! Dan dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari “suaminya” itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya telah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang ahli dalam hal ini.

Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang makin tunduk dan makin takut kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo!

Pada waktu itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena merasa putus harapan, dia lalu melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.

Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan guhanya muncul dua orang muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak mengharapkan kedatangan siapapun juga. Apalagi dia sama sekali tidak mengenal pria dan wanita muda itu. Barulah dia memandang penuh perhatian ketika wanita itu membentak.

“Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!”

Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari guha, berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur,

“Eh, bukankah engkau ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?”

“Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian tunanganku!”

Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah dia.

“Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Eh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, mengapa masih meributkan soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang sekarang ini kurang mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau dengan aku? Ha-ha, biarpun aku sudah tua, kiranya tidak akan kalah kemampuanku dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha!”

“Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata sombong. Makanlah ini!”

Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun yang digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali.

“Heiii...!” Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga biarpun dia sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, “Engkau siapa...?”

Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak acuh, namun nadanya penuh ancaman.

“Dia adalah isteriku, engkau tua bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!”

Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum itu tadi mengejutkannya dan ketika dia melihat pedang berbentuk ular di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.

“Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?” tanyanya karena dia mengenal pedang ular itu.

“Kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku mau apa?”

Thian-ong Lo-mo terkejut bukan main. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!

“Ah, kalau begitu kita adalah orang sendiri!” serunya. “Orang muda, kalau engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat.”

“Hemm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!” bantah Ouwyang Bouw.

“Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim yang sekarang berkuasa. Kita malah harus bersatu untuk merobohkan pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dahulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjina dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh.”

Mendengar omongan ini, Ouwyang Bouw kelihatan ragu-ragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.

“Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo bantu aku merobohkan tua bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di tanganmu. Aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri.”

Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan pandang mata marah kepada suaminya. Mendengar ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut.

“Tranggg...!” Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaii untuk menangkis. “Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah roboh hanya karena bujukan mulut wanita!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: