*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 182

“Tua bangka keparat!”

Lauw Kim In memekik nyaring dan pedangnya berubah menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat. Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat sekali.

Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.

“Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!”

Dia lalu memutar senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincingan nyaring itu, membalas serangan lawan dan terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian.

“Cringgg... wuuuttt! Wuuutttt!!”

Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, namun kedua orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan kiri dengan cepat untuk menangkis.

“Cringg! Tranggg...!”

Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw Kim In dengan gerakan yang sama, sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki kiri kakek brewok itu.

“Cring-cringgg...! Wuuut-wuuuttt!!”

Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu berhasil menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu dan memutar senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang memiliki keringanan tubuh mengagumkan sekali.

Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar berdencingan senjata yang bertemu dengan kerasnya, bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara karena dapat dielakkan oleh sasarannya.

Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, biarpun masih muda namun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang banyak selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai memburu.

“Hyaaahhh!”

Tiba-tiba kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga mengandung tenaga mujijat yang menggetarkan lawan, sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.






“Sing-sing... wuuuttt... brettt!”

“Aihhh...!”

Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, biarpun Lauw Kim In sudah menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya tercium rantai dan terobek lebar.

“Ha-ha-ha-ha!”

Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara ketawa untuk mengejek lawan, sungguhpun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju, tidak melukai tubuh lawan.

Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi-tubi dan mengerahkan tenaga sin-kang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi tubuhnya.

“Cring-cring-cringggg...!”

Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras dan meloncat ke belakang. Senjata rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong Lo-mo membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal sepotong.

“Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!” Ouwyang Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.

Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam Thian-ong Lo-mo girang hatinya. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kau tebus dengan nyawamu!

Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggereng dan maju menyerang dua orang pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main penyerangan Thian-ong Lo-mo.

Mula-mula dia menggerak-gerakkan kedua tangannya saling bersilang dengan jari-jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Kemudian dia menyerbu ke depan, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada Kim In. Serangan maut yang digerakkannya ini.

Namun kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekualan sin-kang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang lihai itu. Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang Bouw berani memandang rendah sehingga dia menyimpan pedangnya tadi. Mereka berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!

Lauw Kim In yang baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, telah memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Namun karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra!

Disamping ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu!

“Dukk! Dukkk!”

Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi girang dan dia telah mengerahkan sin-kangnya.

Benturan lengan mereka membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan terdengarlah suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sin-kangnya masih lebih kuat daripada kedua orang lawannya.

“Ha-ha-ha... ehhh...?”

Suara ketawanya terhenti dan terganti teriakan kaget. Dia memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika dia menyingsingkan lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal.

Tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!

“Ha-ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa.

“Hi-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!” Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya.

“Haiiitit... hehhh!!”

Thian-ong Lo-mo cepat mengelak ke sana ke mari, dan membalas dengan pukulan-pukulan maut. Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan, hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung.

Kadang-kadang secara terpaksa, Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun jika hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sin-kang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapapun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biarpun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Makin banyak dia menangkis, makin hebat rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.

Di antara perasaan yang biarpun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja amat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan.

Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong-hoat-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo dapat membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan-pukulan itu hanya bagian kulitnya saja yang terkena pukulan menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.

“Hyaaahhhh... robohlah...!” Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan.

Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan, namun karena jaraknya amat dekat, biarpun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu.

Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri. Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik secara tiba-tiba menyerang kedua lawan dengan kancing-kancing itu.

Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja dan celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia tidak ada bedanya dengan menantang ikan berlumba renang!

Penggunaan kancing baju sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal sepasang suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun! Mereka berdua sudah menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo.

Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah.

Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!

“Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, lakukanlah apa yang kau ingin lakukan!” kata Ouwyang Bouw sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.

Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali kepada Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya menjadi biangkeladi perubahan hidupnya. Betapa dia tidak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali. Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau tunangannya tidak dibunuh dahulu, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: