*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 183

Dengan dendam membara di dada wanita ini mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu.

Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata,

“Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kau bunuh pun tak lama lagi tentu mati!” Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.

Tanpa mengeluarkan kata-kata namun sepasang matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tak berdaya itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam, lalu tangannya bergerak, pedang berkelebat ke depan.

“Haiiittt...!”

Tiba-tiba tubuh yang sudah tidak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas, mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!

“Plakk! Desss...!”

Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan telentang lagi. Kalau dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu gigitan itu takkan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanan yang memegang pedang bergerak.

“Blesss... rettt...!”

Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu. Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat dan isi perutnya keluar. Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih bergerak-gerak sedikit bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.

“Ha-ha-ha-ha!”

Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu. Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumur darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang tertawa-tawa.

Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Terdengar suara gerengan binatang hutan dari jauh dan tampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai beterbangan di atas tempat itu, agaknya binatang-binatang itu dapat mencium bau darah dan mayat.

Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw hendak kembali ke timur. Akan tetapi di tengah jalan, mereka dihadang oleh serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah!






Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan para pimpinan gerombolan ini dan karena Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia mempergunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya dan para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol!

Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol, dan tentu saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In karena suaminya tunduk kepadanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan hanya menjadi pembantunya!

Setelah dendamnya dilaksanakan dan dia berhasil membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi. Namun, mengingat betapa suaminya, biarpun dia tidak mencintanya, telah bersikap baik kepadanya, bahkan membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebetum membalas kematian ayahnya.

Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi setidaknya dia akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah!

Dan Kim In merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka daripada menderita hidup yang kosong, dia membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin oleh suaminya. Dia diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan kebutuhan baginya, membuat dia mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!

Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu. Kita manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita.

Dalam membela atau mencari ini, kita tidak segan-segan untuk merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan. Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagian! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran dan kedudukan.

Bukan berarti bahwa kita tidak harus menikmati kesenangan, melainkan bodohlah kalau kita mengikatkan diri kepada kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan. Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir maupun batin, dialah yang benar-benar hidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!

Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dan Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu dibawa menghadap ke dalam ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw, Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan yang mencurigakan itu.

Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang menjadi sahabat sumoinya! Biarpun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biarpun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini telah berambut, Kim In tidak pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapapun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat dia teringat akan sumoinya, satu-satunya orang yang dikasihinya.

“Kalian telah salah menangkap orang!” tiba-tiba terdengar Kim In berkata, “Dia adalah teman sumoiku.” Dia menoleh kepada suaminya dan berkata, “Harap kau buka belenggunya dan biar aku yang menanyainya.”

Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.

“Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona berada dalam keadaan baik-baik saja?”

“Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang ajar kepada isteriku!”

Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.

Kun Liong menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-putaran liar itu, masih tersenyum lalu berkata,

“Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu.”

“Kau... kau mengenal namaku?” Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh perhatian.

Kun Liong mengelus rambut di kepalanya.
“Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Masih terbayang di depan mataku kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu makin hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampai bertahun-tahun lamanya!”

Ouwyang Bouw makin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlalu banyak dia dan ayahnya membunuhi orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.

Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat,

“Haiii! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?”

Kun Liong berpaling kepadanya dan tersenyum lebar.
“Dan engkau Marcus yang kini berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tidak percuma engkau pemah menjadi kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya.”

Merah muka Marcus mendengar kata-kata itu.
“Kalau begitu engkau tentu mata-mata musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!”

Marcus meloncat ke depan, langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong. Pemuda ini tanpa mengelak tanpa berkedip menghadapi serangan itu, setelah kepalan tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba jari tangan kirinya bergerak menyambar dari bawah.

“Takkk...! Augghhh...!”

Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya. Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.

“Hemm, berani engkau kurang ajar?” Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar ke depan.

Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.

“Dukkk...!”

Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada lawannya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa tawanan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, dapat menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu membuat dia tergeser!

“Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang lalu terhadap diriku.” Kun Liong berkata, suaranya nyaring.

“Manusia sombong!”

Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyambar senjata.

“Tahan, jangan bertempur!”

Tiba-tiba Lauw Kim In berseru. Mendengar bentakan isterinya, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk kembali sambil bersungut-sungut. Hatinya tidak puas. Dia penasaran sekali mendapat kenyataan bahwa tawanan itu lihai, dan hatinya ingin sekali untuk mencoba kepandaian si tawanan dan terutama sekali merobohkannya, membuktikannya bahwa dia lebih pandai!

Akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In dan mati-matian isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya daripada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: