*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 185

Ketika Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan sumoinya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh wanita ini.

Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran kepada Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!

Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana. Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri teringat akan kekurang-ajarannya telah merobek baju wanita itu sehingga tampak sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu, menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw!

Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang menggairahkan hatinya itu.

Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang takkan pernah terlupakan olehnya, di dalam kuil tua, di malam sunyi, dimana dia tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan menghentikan langkahnya, bahkan lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang mengejarnya lagi, entah mau apa sekarang wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di tangan wanita itu.

Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat dari atas kuda dengan sikap mengancam dengan senjata tombak di tangan. Marcus berada paling depan, telah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai.

“Yap Kun Liong, engkau katakan dimana disimpannya bokor emas, baru aku mengampuni nyawamu!” bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.

Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya Ouwyang Bouw maupun Lauw Kim In.

“Hemm,” Kun Liong tersenyum. “Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang. Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol.”

“Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan dimana bokor itu?”

“Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu, andaikata aku tahu sekalipun, tak mungkin akan kuberitahukan kepadamu,” jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan kanan.






“Keparat! Kalau begitu mampuslah!”

“Wit-wir-wirrr...!” Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.

“Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!”

Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya dengan muka pucat.

“Serbu...! Bunuh...!”

Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup memalukan.

Biarpun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-enak duduk di atas batu besar.

“Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hee, jangan kalian tidak tahu malu!” tiba-tiba terdengar teriakan dari atas!

Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki duduk nongkrong di atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah laki-laki yang tua, yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, pakaiannya aneh sekali, pakaian longgar kebesaran berkotak-kotak celananya sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasa dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup. Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dan gagah sekali membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.

Melihat dua orang itu, Marcus membentak,
“Siapa kalian dan perlu apa mencampuri urusan kami?”

“Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!” Kakek itu berkata lagi, “Kalian ini tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!”

Kakek itu lalu merayap turun akan tetapi Si Pemuda lalu memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit ketakutan. Akan tetapi setelah turun di atas tanah, dengan langkah gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, sedangkan pemuda gagah itu hanya melangkah penuh hormat di belakangnya!

Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang seperti badut ini? Benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik? Akan tetapi dia diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjalan di belakang kakek itu.

Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan kelihatan kuat, apalagi karena wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu.

Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek itu.

“Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan, kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin mau menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!”

Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang macam Marcus! Betapa menggelikan! Sama dengan berpidato di depan gerombolan serigala liar! Mencari penyakit namanya.

Marcus marah bukan main.
“Kakek tua bangka gila! Engkau lancang sekali! Aku mau membunuh siapapun, engkau peduli apa? Bahkan kalian berdua kalau sudah bosan hidup akan kubunuh sekali!”

Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan menjadi takut, malah makin hebat gilanya!

“Kalian tidak mau mundur? Wah, kalian malah hendak membunuh kami berdua? Uh-uhhh... daripada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!”

Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biarpun kakek itu gila, akan tetapi gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi makin ingin tahu, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu, dan siap untuk melindungi mereka berdua andaikata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu.

Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha!” Marcus tertawa memegangi perutnya. “Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?”

Kun Liong merasa geli akan tetapi juga khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri?

Akan tetapi pada saat dia hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa! Makin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, mengapa bersikap demikian aneh?

Akan tetapi melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh menggoyang kepala mencegah dia bergerak. Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil berdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.

Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa yang mengandung tenaga mujijat, yang membuat jantungnya tergetar hebat! Kemudian suara itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati.

“Ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!”

Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kakek itu telah berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!

Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian seorang di antara pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tidak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak ketika golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu.

“Crakkkk!”

Leher itu sekali babat putus! Darah muncrat-muncrat. Akan tetapi Kun Liong makin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung dan perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kepala kakek itu masih menempel atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu “tumbuh” kepala baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas tanah, di bawah batu!

“Ilmu siluman...!”

Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.

“Crakkkk!”

Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan kepala ke dua yang terpenggal.

Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak.
“Ha-ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatiku!” terdengar suara kakek itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut kepala yang masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya merem melek, bibirnya tersenyum!

“Setan...!”

“Ilmu iblis...!”

“Siluman...!”

“Biar kupenggal lagi kepalanya!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: