*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 188

“Nama saya Lie Kong Tek, saya tidak pernah mengenal Locianpwe maupun puteri Locianpwe. Dan saya juga tidak hendak mencampuri urusan pribadi Locianpwe. Akan tetapi, karena sudah lama mendengar nama besar Locianpwe sebagai Ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang selalu bersikap gagah perkasa, dan pula karena timbul rasa iba hati saya melihat puteri Locianpwe, maka saya memberanikan diri untuk mengingatkan Locianpwe bahwa dalam urusan ini jika Locianpwe tidak menggunakan kesabaran dan ketenangan, akan menimbulkan urusan yang memalukan.”

Muka Cia Keng Hong sebentar menjadi merah. Kemarahannya membuat dadanya seperti dibakar.

“Kau... kau manusia lancang...!!”

Keng Hong yang sudah marah sekali itu menggerakkan tangannya mendorong. Lie Kong Tek maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak jauh, maka biarpun sikapnya tetap tenang, dia mengangkat kedua tangannya juga untuk menangkis.

Sambaran hawa pukulan dahsyat menyambar ke arahnya dan biarpun sudah dia tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terlempar dan terjengkang, seperti sehelai daun kering tertiup angin. Lie Kong Tek bergulingan dan ketika dia meloncat hangun lagi, mukanya pucat sekali, ujung bibirnya berdarah, akan tetapi dengan tenang dan gagah pemuda ini sudah mencelat ke depan Cia Keng Hong lagi!

Cia Keng Hong terbelalak heran. Biarpun dia tadi tidak memukul sampai mati pemuda itu, namun hanya sedikit selisihnya. Dan pemuda itu masih berani maju lagi!

“Apa kau telah gila? Apa kau minta mati?” bentaknya marah.

“Kalau betul apa yang saya dengar tentang diri Locianpwe, saya tidak khawatir akan dipukul mati. Andaikata dipukul mati sekalipun saya lebih beruntung daripada Locianpwe yang tentu akan menjadi jatuh nama secara hebat,” kata Lie Kong Tek dengan tenang.

“Kau...! Kau...!” Cia Keng Hong marah dan jengkel sekali, kembali dia mengayun tangannya.

Pada saat itu, Hong Khi Hoatsu memegang lengan Kun Liong ketika melihat pemuda itu hendak meloncat maju. Memang Kun Liong merasa penasaran dan ingin melindungi Lie Kong Tek dari pukulan maut supeknya. Akan tetapi kakek ahli sihir itu melarangnya dan menggelengkan kepalanya.

“Pendekar sehebat dia, tidak akan membunuh orang sembarangan saja,” bisik kakek itu.

“Desss...!”

Tubuh Lie Kong Tek kembali terlempar dan terbanting keras, bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat bangun dan terhuyung-huyung maju lagi, dahinya benjol dan bibirnya pecah-pecah.

“Locianpwe tidak boleh membenci puteri sendiri. Menikah harus mendapatkan restu orang tua, dan memilih jodoh adalah hak si anak.” Lie Kong Tek berkata.






“Jahanam bermulut besar! Kau mau ikut-ikut? Kalau anakku menikah dengan seorang penjahat, dirayakan di tempat penjahat dan pemberontak, apakah aku harus diam saja?”

Dada Cia Keng Hong seperti akan meledak rasanya dan matanya kini memandang kepada Giok Keng seperti hendak menelan puterinya itu bulat-bulat!

“Ayah, kau terlalu!” Giok Keng kini berteriak, air matanya bercucuran akan tetapi sikapnya sama sekali tidak lemah, bahkan telunjuk kanannya menuding ke arah mata ayahnya. “Tidak saja Ayah menolak pilihan hatiku, malah telah mengusir kami dan sekarang setelah kami berusaha sendiri untuk menikah, Ayah datang menghalang dan mengacau. Begitukah sikap seorang pendekar? Ayah, ingat bahwa aku menjadi anakmu bukan atas permintaanku! Aku adalah manusia tersendiri, bukan boneka yang harus taat atas segala kehendak Ayah demi kesenangan hati Ayah sendiri!”

Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut dara yang sedang marah itu. Lebih hebat dari pukulan dahsyat yang mana pun, lebih tajam meruncing daripada pedang pusaka yang bagaimana pun.

“Bressss!” Kedua kaki pendekar itu menghantam tanah di depannya. Tanah terlindung lantai tembok itu ambrol dan kedua kakinya amblas sampai selutut. “Kau...! Kau...! Anak durhaka... auh...!” Pendeker itu terkulai lemas dan roboh terguling!

“Ayah...!” Giok Keng menjerit, namun ternyata ayahnya telah roboh pingsan saking marahnya.

Keadaan menjadi kacau, akan tetapi tiba-tiba Thian Hwa Cinjin menyuruh dua orang pembantunya mengangkat tubuh Cia Keng Hong masuk ke dalam dan pada para tamu dia berkata lantang,

“Harap Cuwi sekalian tenang saja. Urusan ini adalah urusan antara ayah dan puterinya, kita semua tidak boleh mencampurinya. Biarlah Cia-taihiap beristirahat di dalam dan harap Cuwi duduk kembali. Upacara pernikahan akan dilanjutkan.”

Suaranya terdengar halus dan ramah dan mengandung kekuatan gaib yang membuat para pendengarnya tunduk dan taat.

Kun Liong merasa betapa lengan tangannya dicengkeram tangan Hong Khi Hoatsu dan terdengar kakek itu berbisik,

“Celaka... Cia-taihiap dipengaruhi hoat-sut dan... dan kulihat puterinya juga berada dalam keadaan tidak wajar... tentu ada yang main sihir di sini...!”

Mendengar ini, Kun Liong terkejut sekali dan dia menjadi marah.
“Kalau begitu, aku harus turun tangan...”

“Sssttt, sabarlah, Sicu. Kulihat persiapan Pek-lian-kauw sudah dibuat dengan baik, kedudukan mereka kuat. Biarpun banyak juga orang gagah di sini, akan tetapi tanpa adanya Cia-tai-hiap, kita akan kalah kuat. Harap kau usahakan agar keadaan di sini kacau atau setidaknya perhatian mereka tertarik di sini. Aku sendiri akan mencoba untuk menyadarkan Cia-taihiap di dalam.”

Percaya akan kesaktian kakek itu, Kun Liong mengangguk dan kakek itu telah menyelinap dan pergi dari situ di antara meja-meja tamu yang penuh dengan tamu dari berbagai golongan. Sebentar saja kakek itu sudah lenyap, entah menyelinap ke mana, Kun Liong teringat akan pesan kakek itu, maka dia lalu memandang ke depan.

Ternyata di ruangan itu, di depan meja sembahyang yang sudah porak poranda itu, terjadi kegaduhan dan keributan baru, Liong Bu Kong, dengan pakaian pengantin yang kusut karena tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Cia Keng Hong, berdiri dengan muka merah dan mata melotot, bertolak pinggang lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Lie Kong Tek sambil membentak nyaring,

“Manusia rendah tak tahu malu! Berani engkau menjual lagak disini dan membela isteriku?”

Lie Kong Tek mengusap darah dari ujung bibir dan peluh dari dahi dan lehernya. Dia berdiri tegak dan tenang, memandang kepada Liong Bu Kong yang marah-marah itu seperti seorang dewasa memandang seorang kanak-kanak.

Memang perawakan pemuda ini tinggi besar sehingga berhadapan dengan dia, Bu Kong kelihatan kurus kecil. Padahal Bu Kong tak dapat dikatakan seorang pemuda yang bertubuh pendek. Pandang mata Lie Kong Tek penuh selidik, karena memang dia sedang menyelidiki pengantin pria yang dinyatakan sebagai seorang penjahat oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong, pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasih puteri pendekar itu, hal yang membuat dia ikut pula merasa penasaran dan heran. Kemudian terdengar dia menjawab, suaranya tenang dan halus,

“Aku tidak membela isteri siapa pun, melainkan membela seorang gadis yang menerima perlakuan buruk dari ayahnya sendiri.”

Lie Kong Tek meraba benjol di dahinya, diam-diam mencela diri sendiri mengapa mendadak timbul rasa iba yang amat hebat pada diri pengantin puteri sehingga tadi mati-matian dia membelanya. Kini perbuatannya yang tadi memarahkan ayah pengantin wanita, sekarang menimbulkan kemarahan pengantin pria!

“Keparat! Kau hendak mengambil hati isteriku, ya? Engkau hendak mencari muka?”

Liong Bu Kong yang merasa cemburu dan marah-marah itu lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat banyak sekali tamu dan timbullah wataknya yang kasar dan kotor.

“Saudara pengantin!” Lie Kong Tek membentak, marah melihat betapa pengantin wanita memandang dengan muka pucat. Wajah Giok Keng yang cantik dan pucat itu mengundang rasa ibanya yang luar biasa. “Mengapa kau begini tak tahu malu, mencemarkan nama isteri sendiri?”

“Tutup mulutmu!” Liong Bu Kong yang sudah marah itu menerjang dan mengirim pukulan maut.

“Desss...!”

Kong Tek menangkis, akan tetapi dia kalah tenaga sehingga tubuhnya terlempar dan terbanting. Namun dia sudah bangkit berdiri lagi dan memandang dengan penasaran, sedikit pun tidak merasa takut.

“Liong-koko, jangan pukul orang!” Giok Keng berseru ketika melihat Bu Kong sudah menerjang maju lagi.

“Mundurlah, Moi-moi, orang ini harus dihajar sampai mampus!”

Bu Kong berseru makin marah karena menganggap, bahwa calon isterinya itu membela pemuda gagah dan ganteng itu.

“Liong-sicu, tidak boleh membikin ribut pada hari baik ini!” Tiba-tiba terdengar suara Thian Hwa Cinjin. “Orang muda itu berniat baik, dan sebagai tamu tidak boleh diperlakukan kasar. Marilah, upacara pernikahan agar dapat dilanjutkan sampai selesai.”

Para pendeta Pek-lian-kauw kini sibuk membereskan meja sembahyang yang sudah kocar-kacir tadi dan suasana menjadi berisik, Giok Keng berdiri dengan muka pucat dan bingung, Bu Kong bersungut-sungut, kadang-kadang melirik marah ke arah Lie Kong Tek yang sudah duduk kembali diantara para tamu.

Kun Liong menarik tangan pemuda tinggi besar itu agar duduk di tempat agak belakang, kemudian berbisik-bisik menceritakan dugaan guru pemuda itu yang membuat Kong Tek terkejut sekali dan memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak lebar.

Meja sembahyang telah dibereskan sekadarnya dan lilin-lilin yang tadi padam telah dipasang. Sepasang pengantin telah disuruh mendekat meja, dan penganten wanita sudah menutupkan lagi kerudungnya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring setelah muncul seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang berdiri di depan rombongan tamu,

“Kauwcu (Ketua Agama), harap tahan dulu!”

Thian Hwa Cinjin, para pendeta Pek-lian-kauw, dan sepasang pengantin terkejut dan menengok. Laki-laki itu bersikap gagah, pakaiannya ringkas dan jelas tampak bahwa dia adalah seorang kangouw yang biasa bersikap tegas, jujur, dan menjunjung tinggi kegagahan.

Dengan suara harus dan tenang Thian Hwa Cinjin melangkah maju.
“Mengapa Sicu menahan dilakukannya upacara dan apakah kehendak Sicu?”

Laki-laki itu mengangkat kedua tangan di depan dada, sambil menjura dengan hormat.
“Saya Phoa Lee It sama sekali bukan berniat mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena saya termasuk seorang undangan yang mewakili Go-bi-pai, untuk dijadikan saksi pernikahan ini, maka saya melihat sesuatu yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar upacara ditunda lebih dulu.”

Suasana menjadi berisik. Para tamu saling berbisik, ada yang pro dan ada yang kontra pendapat ini. Ketua Pek-lian-kauw mengerutkan alisnya, akan tetapi suaranya masih halus ketika dia bertanya,

“Apakah maksud Phoa-sicu yang mengatakan bahwa ada yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya?”

Phoa Lee It adalah seorang tokoh perguruan Go-bi-pai, seorang yang biarpun tidak amat terkenal di dunia kang-ouw, namun sebagai utusan Go-bi-pai tentu saja memiliki ilmu kepandalan tinggi, maka kini menjadi perhatian semua tamu.

“Kauwcu, ketika kami melihat bahwa pengantin wanita tidak ada yang menjadi walinya, kami sudah merasa heran karena bukankah dikabarkan bahwa pengantin wanita adalah puteri Ketua Cin-ling-pai? Akan tetapi karena tidak ada ketua itu hadir, tadinya kami mengira bahwa perwaliannya dipegang oleh Pek-lian-kauw. Kiranya Ketua Cin-ling-pai muncul dan terjadi keributan antara ayah dan anak. Setelah ayah dari pengantin wanita hadir, upacara ini tentu saja tidak sah kalau tidak disaksikan oleh ayah pengantin wanita itu. Maka saya harap upacara ini ditunda dan ayah pengantin wanita dipersilakan keluar.”

Makin berisiklah para tamu mendengar ini. Tokoh Go-bi-pai itu bernyali besar, berani mengusulkan hal yang merupakan protes dan pencelaan terhadap kebijaksanaan Pek-lian-kauw. Namun, melihat bahwa pendapat itu mengandung ceng-li (aturan), banyak tokoh kang-ouw yang menganggukkan kepala tanda setuju. Tentu saja banyak pula yang tidak setuju, terutama yang pro kepada Pek-lian-kauw.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: