*

*

Ads

FB

Jumat, 02 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 203

Malam itu, kembali Hong Ing kecelik ketika dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang malam dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan untuk melarikan diri, namun akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu tidak pernah ada. Selain kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng itu amat kuatnya sehingga andaikata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak mungkin dia akan dapat keluar dari markas itu!

Di samping ini, sekiranya terjadi keajaiban dan dia dapat keluar dari markas itu, apa dayanya menghadapi para pendeta sakti itu kalau dia dikejar dan disusul? Dia tidak mengenal daerah pegunungan itu, apalagi ketika melakukan perjalanan mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun pasir seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, dia akan mati kehausan dan kelaparan di daerah yang mengerikan itu.

Terpaksa Hong Ing hanya bisa menanti dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang hanya mengubur diri dalam kedukaan dan keputusasaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari, bahkan membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu silatnya setiap hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau saat yang ditunggu-tunggu itu tiba, yaitu saatnya ayahnya yang dijebak itu muncul di sini!

Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) diselingi suara ketukan berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat gaduh.

Hong Ing sudah bangun tidur dan sudah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke pintu, hampir dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan tongkat di tangan.

Melihat sikap susioknya ini, Hong Ing sudah curiga dan dapat menduga bahwa inilah agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya ayahnya telah tiba! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran dan nadanya halus dia bertanya,

“Lak Beng Suciok, apakah ribut-ribut itu?”

“Hemm, kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri yang menjaga di sini!”

Jantung Hong Ing berdebar keras. Tak salah lagi, tentu ayahnya telah datang! Kalau tidak, mengapa susioknya ini sendiri yang menjaganya?

“Susiok, aku mau pergi berlatih.”

“Engkau tidak boleh meninggalkan kamar!”

“Eh, siapa itu di sana ? Bukankah itu Ayah...?”

Tiba-tiba gadis itu menuding ke atas genteng yang tampak dari pintu kamarnya. Lak Beng Lama terkejut sekali, memutar tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan siap dengan tongkatnya dan pada saat itu Hong Ing sudah meloncat keluar dari kamarnya.

“Bocah setan! Hendak lari ke mana kau?”






Lak Beng Lama cepat mengejar dan dalam beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan sudah menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut.

Suara ribut-ribut di bagian depan makin hebat dan tiba-tiba Hong Ing berteriak,
“Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!”

Akan tetapi dia segera roboh terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat dan tubuhnya yang lumpuh sudah dikempit oleh Lak Beng Lama.

Di bagian depan markas itu memang sedang ribut. Tepat dugaan Hong Ing bahwa ayahnyalah yang muncul. Pagi itu, di waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa dan bersembahyang sehingga penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan berkelebat melompati pagar tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga melihat dan mengurungnya, dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara mereka sudah roboh!

Mulailah mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan ributlah semua pendeta yang sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama.

“Lak Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!” kata Sin Beng Lama yang bersama Hun Beng Lama cepat berlari-lari ke luar.

Ternyata Kok Beng Lama yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu sedang mengamuk. Kaki tangannya bergerak secara luar biasa dan angin besar bersiut dari kedua ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki tangannya bergerak, tentu ada pendeta yang terpelanting atau terlempar.

Namun pengeroyokan makin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-masing. Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, namun semua hantaman senjata yang tajam maupun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja.

“Hayo bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat ini!”

Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan kedua tangannya menangkap empat orang pengeroyok seperti mencengkeram garuda menerkam empat ekor anak ayam saja layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga mereka morat-marit.

“Pemberontak hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!”

Tiba-tiba terdengar bentakan lemah lembut dan para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama. Seperti biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa lima batang hio membara, sedangkan Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di antara jari-jari tangannya.

Dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas hendak bersembahyang dan membaca doa daripada bersiap-siap menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi tentu saja Kok Beng Lama mengenal kedua orang sutenya ini dan dia menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar matanya mengandung penuh ancaman maut.

“Sin Beng Sute...!”

“Pinceng bukan sutemu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!”

“Hemm, sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian semua, tidak ada kecualinya!”

“Omitohud...!” Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan dadanya. “Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina, engkau telah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan dosa besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan) sendiri dan beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah engkau yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?”

“Hemmm, Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak kecil yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama! Agama dan pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk senjata menekan orang lain, bukan dipergunakan sebagai jembatan untuk mencari kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai pencari sorga dan nirwana!

Kalian mempelajari kasih akan tetapi hati kalian penuh sesak dengan kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah namun batin kalian kotor melebihi keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti aku, tidak perlu lagi kalian menakut-nakuti dengan agama yang dibikin palsu oleh tingkah laku pemeluknya sendiri macam kalian! Hayo bebaskan anakku, berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan aman, bahkan bersumpah takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan kubunuh semua dan tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!”

“Pemberontak keparat!”

Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul dan terdengarlah suara “trikk... trikk... trikkk...” dengan irama tertentu dan biarpun tidak begitu keras, namun seperti jarum tajam menusuk anak telinga sehingga para anggauta Lama Jubah Merah yang kurang kuat sin-kangnya cepat mundur sambil menutupi telinga mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya saja, yang jumlahnya paling banyak tiga puluh orang, yang berani maju mengurung Kok Beng Lama.

Sin Beng Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang pedang bersinar hijau yang amat tipis dan panjangnya ada empat kaki, gagangnya terbuat dari perak, sebatang pedang pusaka yang amat indah dan ampuh.

Melihat ini, sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum mengejek, tubuhnya tetap berdiri tegak tidak bergerak, yang bergerak hanya biji matanya yang melirik ke kanan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh perhatian mendengarkan setiap suara di sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu, pendengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga setiap tarikan napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan suara detak jantung lawan terdengar olehnya!

“Serbuuuu...!” Sin Beng Lama memberi aba-aba.

“Hyaaaatttt...!” suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring bergema ketika mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing yang seperti hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua penjuru.

Kalau semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh pendeta raksasa ini biasa seperti tubuh orang-orang lain, tentu dia akan roboh dengan tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh.

“Hoooouuuuhhh...!”

Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar, bukan seperti suara manusia lagi, suara yang seolah-olah keluar dari dalam bumi! Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya dan yang tampak hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk.

“Trangggg...!”

“Krekkkkk...!”

“Bukkkk...!”

“Dessss...!”

“Aughhh...! Aduhhh...! Ahhhh!”

Akibatnya hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah dan banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana. Bukan main hebatnya sepak-terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun dalam sel telah menciptakan dan mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mujijat dan dahsyat itu. Dengan putaran kedua ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyoknya dan merampas banyak senjata!

Melihat ini, Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam gebrakan pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang maju menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah besar, tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa kira, raksasa itu memang hebat bukar main, maka terpaksa mereka harus turun tangan sendiri.

“Omitohud...! Haaaaiiiikkkk!”

Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya yang menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya cepat dan mendatangkan angin pukulan yang bendesing-desing saking kerasnya.

Pada detik berikutnya, terdengar suara tajam menulikan telinga ketika sinar hijau berkeredepan menyambar-nyambar seperti seekor naga hijau bermain-main dan itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam satu jurus telah mengirim tiga bacokan dan delapan tusukan yang mengancam tiga belas jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!

“Bagus...!” teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran tasbih ke pelipisnya kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun Beng Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar hijau yang menyambar-nyambar itu.

Dia telah berhasil menangkis tiga belas serangan pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia menyentil terdengarlah suara nyaring.

“Tring-tring-tring-tring-tring...!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: