*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 211

Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw terpelanting, tubuh yang tidak mempunyai lengan lagi karena kedua lengannya telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada!

Lauw Kim In juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri dan berjongkok, mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.

“Katakan... kepada Yap Kun Liong... Mawar Go-bi... di saat terakhir... mempertahankan nilainya...!”

Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan karena kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung.

Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya dari depan mukanya. Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena selain luka pada pahanya, juga tertotok punggungnya. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya.

“Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona,” kata Kong Tek.

“Kau merasa telah menolongku lagi?”

Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.

Kong Tek menarik napas panjang.
“Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam bahaya, akan tetapi kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau selamat.”

Setelah dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu menghampiri mayat Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.

“Eh, apa yang kau lakukan itu?” Giok Keng bertanya.

Tanpa menghentikan pekerjaannya, dia menjawab,
“Menggali lubang untuk mengubur dua mayat ini...”

Giok Keng cemberut.
“Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!”

“Mungkin, akan tetapi sekarang aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona.”






Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia mengerti akan kebenaran pendapat pemuda itu.

Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja tidak membantu.

Betapapun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya. Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatiannya? Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji.

Akhirnya Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah payah bekerja. Bagaimanapun juga, pemuda itu tadi telah susah payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang amat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun telah membantunya, karena biarpun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu.

Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan keduanya bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam.

“Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona,” kata Kong Tek.

Sambil terpincang-pincang dia menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah kembali.

Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan saputangan, dan Giok Keng berkata,
“Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan.”

Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Ketika dia siuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka di pahanya dengan merobek sedikit celananya di bagian yang terluka, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar.

“Ahhh, engkau terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun pernah terluka oleh jarum-jarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada pertolongan Kun Liong, aku tentu sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi makin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas.”

Kong Tek menarik napas panjang.
“Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku terluka dan tidak mampu jalan, maka silahkan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai.”

Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini termasuk aksinya agar dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya agar dianggap sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya!

“Begitukah kehendakmu, Toako? Aku harus melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau di sini?”

Kong Tek mengangguk.
“Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya.”

“Kalau tidak berhasil?”

Kong Tek tersenyum.
“Paling hebat mati!”

“Dan kau tidak ingin aku membantumu?”

“Apakah yang dapat kau lakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara, dan... dan andaikata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di sini.”

“Eh! Mengapa?”

Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab,
“Tidak apa-apa.”

“Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako.”

“Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan.”

Giok Keng berjalan pergi dengan cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, melainkan memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohon-pohon dan kembali ke tempat itu, mengintai dari balik pohon.

Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan babwa pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kalipun tidak pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila kepadanya pemuda ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku!

Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih.
“Mari kurawat lukamu itu”

Kong Tek mengangkat mukanya.
“Ahh... kau belum pergi, Nona?”

Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain celana di luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit.

Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu.
“Sakitkah?”

“Tidak berapa, Nona,” jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga.

Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak memiliki sifat cengeng.

“Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dulu, kemudian semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi.”

“Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji itu!” hanya ini saja komentar Kong Tek.

“Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suhengku itu mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sin-kang yang amat kuat, menyedot jarum-jarum itu sampai keluar dengan kekuatan sin-kang dari telapak tangannya saja. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya. Akan tetapi tentu amat nyeri...”

“Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah kau tidak merasa ngeri, Nona? Biarlah aku yang membedahnya sendiri.”

“Pertahankanlah!”

Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek kulit di luka itu, terus ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum merah dan darah kehitaman keluar dari luka yang agak lebar itu.

“Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus disedot...”

Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan tertolong lagi. Biarpun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun itu sudah menjalar sejengkal lebih di seputar luka!

Pemuda ini sudah berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya kalau sampai dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya. Dengan mengeraskan hatinya dia berkata,

“Aku akan menyedotnya bersih seperti yang ditakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu.”

“Jangan, Nona...!” Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka dengan mulutnya! “Jangan! Lebih baik aku mati saja daripada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap jangan merendahkan diri seperti itu. Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!”

Biarpun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang terluka dan menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek dapat juga mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah.

Giok Keng memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha agar darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia berseru girang,

“Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!”

Kong Tek kehabisan tenaga lalu menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah.
“Berkat pertolonganmu, Nona,” katanya terengah.

Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan saputangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, biarpun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya.

Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemuda ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biarpun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seolah-olah pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang telah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan bersama seorang teman biasa saja yang tidak ada keistimewaannya apapun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria!

**** 211 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: