*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 212

“Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!”

Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat tentang diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.

Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya.
“Aku akan segera mengejar ke sana!”

“Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baik-baik, selain mereka itu lihai sekali, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tidak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Ketika aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan? Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet.”

Dengan panjang lebar Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan seringkali menggeleng kepala dan mengepal tinju. Setelah cerita isterinya tentang diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya.

“Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini.”

“Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?”

Biauw Eng bertanya dan wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua ditambah dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

“Hehhhh...” Keng Hong menghela napas. “Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!”

“Apa? Giok Keng... menikah?”

“Hampir saja!”

Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu. Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya telah “berbaik kembali” dengan puteri mereka.

“Sekarang, di mana dia?”

“Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong.”






“Aihh, berbahaya kalau begitu.”

“Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya.”

“Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong...”

Kembali Keng Hong menghela napas.
“Sebaiknya kita tidak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, dan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain.”

“Siapa?”

“Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir kubunuh.” Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.

Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya.
“Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pibak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dahulu sudah kunasihati Keng-ji agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni.

Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinaan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta berahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinaan yang akibatnya selalu ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun... betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tidak ada gunanya sama sekali!”

Melihat isterinya bicara secara bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam. Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan kedua orang anak mereka.

“Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu.”

Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subonya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhunya.

“Dari kota raja?” Keng Hong berseru dengan kaget.

“Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun.”

“Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!”

Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang telah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

“Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!”

Tio Hok Gwan memberi hormat diikuti oleh Keng Hong dan isterinya.
“Mudah-mudahan saja keadaan Tai-hiap dan Li-hiap selama ini baik-baik saja,” katanya.

Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, akan tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan tiga orang tamunya duduk di ruangan dalam dan para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekedarnya.

“Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Tai-hiap. Silakan Tai-hiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan.” Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat.

Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut dan menerimanya dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat dan membaca isi surat yang singkat itu.

“Ke Tibet...?” Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.

Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya dan membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.

“Sungguh kebetulan!” Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. “Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!”

“Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat.”

Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga karena keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu?

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu.

“Di antara sahabat baik tidak ada rahasia,” kata Keng Hong, “karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!”

Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali.
“Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!”

Cia Keng Hong dan isterinya menjadi terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan.

“Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet.”

Tio Hok Gwan lalu bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan para negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sesunguhnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka belaka. Untuk mempererat hubungan baik, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri seorang pangeran putera Kaisar.

Di samping urusan keluarga ini yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet, juga urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka merencanakan persekutuan, untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

“Sebetulnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting,” Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

“Akan tetapi, mengapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Mengapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?”

“Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet amat peka terhadap penyerbuan tentara asing dan kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biarpun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang sah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itu, penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Hanya atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu.”

“Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!” kata Biauw Eng. “Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!”

“Hemmm...” Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. “Kalau tidak salah mereka adalah tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang namanya Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?”

“Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah.”

“Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?”

“Justeru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini,” kata Keng Hong.

“Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap.”

“Bila kita berangkat ke Tibet?”

“Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama.”

Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya tiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong dan isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka.

Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andaikata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi Lama Jubah Merah yang hendak memberontak.

**** 212 ****

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: