*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 215

Kun Liong menonton dengan hati khawatir. Memang, pada dasarnya ilmu silat pendekar Secuan itu lebih kuat, namun Tok-jiauw Lo-mo mempunyai gerakan liar yang ganas dan mengandung banyak gerak tipu.

Kalau saja pendekar Secuan itu tidak sedang dalam keadaan lemah karena penyakit, tentu dia lebih kuat. Akan tetapi kakek itu sudah lemah sehingga setiap tangkisan atau serangannya tidak dapat menggunakan tenaga sepenuhnya dan beberapa kali dia terhuyung-huyung, sungguhpun setiap serangannya membuat lawan terdesak hebat.

Poa Su It yang sudah mencabut pedangnya dan berdiri di dekat Kun Liong, juga menonton dengan alis berkerut karena dia merasa gelisah sekali melihat gurunya yang sedang tidak sehat itu harus menghadapi seorang lawan sedemikian tangguhnya. Namun dia juga tidak berani mencampurinya dan hanya merasa mendongkol mengapa kaki tangan Tok-jiauw Lo-mo tidak segera bergerak sehingga dia mendapat kesempatan untuk mengamuk!

Andaikata tadi Tok-jiauw Lo-mo tidak merasakan kelihaian Kun Liong, tentu dia sudah mengerahkan teman-temannya untuk mengeroyok. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda itu, dia berlaku cerdik. Lebih baik dia tidak mengerahkan teman-temannya agar di pihak Gak Liong, pemuda lihai itu pun tidak dapat turun tangan mencampuri.

Dia tahu bahwa Gak Liong amat lihai, akan tetapi melihat keadaan musuh besarnya ini sedang tidak sehat, dia merasa yakin akan dapat mengalahkannya. Dengan penuh semangat dia terus menerjang dan menggerakkan tongkat cakar setan itu secepatnya sambil mengerahkan tenaga seadanya pula.

Namun Gak Liong bukanlah seorang yang hijau. Dia telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan karena sering bertanding melawan musuh besarnya ini, dia sudah mengenal sifat ilmu silat lawan. Maka biarpun dia sedang lemah, dengan ilmu silatnya yang amat hebat, sealiran dengan kepandaian silat The Hoo, dia mulai mendesak lawannya.

“Eeeaaaghhh...!”

Tiba-tiba Tok-jiauw Lo-mo memekik panjang. Tongkatnya bergerak cepat dan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, itulah pukulan baru yang telah dilatihnya baru-baru ini, untuk dipakai sebagai bekal jika menghadapi musuh besar ini.

Gak Liong agak terkejut, tidak mengira bahwa pukulan-pukulan tongkat cakar itu yang dilancarkan secara hebat kiranya hanya merupakan pancingan belaka, karena pukulan tangan kiri itu yang kini datang seperti kilat menyambar ke arah dada dan kepalanya. Cepat dia menjatuhkan diri ke kiri dan melihat lowongan baik, tongkatnya meluncur ke depan.

“Plakk! Crokkkk... Aughhhh...!”

Tubuh Tok-jiauw Lo-mo terjengkang, tongkat Gak Liong menancap di ulu hatinya, sedangkan pendekar Secuan itu sendiri terhuyung karena tadi pundaknya masih terkena pukulan tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo, pukulan sin-kang yang mengandung racun seperti cakar setan di tongkatnya yang masih dipegangnya itu.

Tubuh Tok-jiauw Lo-mo berkelojotan dan dari mulutnya terdengar kata-kata terputus-putus,






“Aku...aku cinta padanya... kau telah merampasnya... maka kubunuh... dia... hanya kalungnya... yang menjadi penggantinya... ini... ini... kukembalikan kalungnya padamu.... Gak Liong...”

Melihat seuntai kalung bermata batu kemala berbentuk hati, wajah Gak Liong membayangkan keharuan. Itulah kalung yang diberikannya kepada isterinya dan yang kemudian lenyap ketika isterinya terbunuh oleh Tok-jiauw Lo-mo. Kini kalung itu berada di tangan kiri Tok-jiauw Lo-mo yang diulurkan kepadanya. Keharuan membuat dia kurang waspada dan dia lalu membungkuk hendak menerima kalung itu dari tangan Tok-jiauw Lo-mo yang sudah sekarat.

“Gak-locianpwe, awas...!”

Kun Liong berteriak namun terlambat. Ketika Gak Liong mendekati Tok-jiauw Lo-mo dan hendak mengambil kalung dari tangan bekas musuh itu, tiba-tiba tongkat cakar setan menyambar. Dia mengelak namun kurang cepat dan pelipis kepalanya kena dicakar. Gak Liong mengeluh dan roboh terguling, kalung isterinya itu digenggamnya erat-erat. Terdengar Tok-jiauw Lo-mo tertawa-tawa kemudian berkelojotan dan tewas seketika bersama dengan tewasnya Gak Liong yang tidak dapat mengeluh lagi.

“Suhu...!”

Poa Su It berteriak, akan tetapi pada saat itu, sepuluh orang Pek-lian-kauw sudah bergerak dengan senjata mereka menyerbu. Poa Su It membalikkan tubuhnya dan mengamuk dengan pedangnya. Namun, orang-orang Pek-lian-kauw itu ternyata bukan orang-orang sembarangan dan sebentar saja Poa Su It sudah sibuk melayani pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw.

Kun Liong juga dikeroyok dan karena orang-orang Pek-lian-kauw itu pun tadi menyaksikan betapa pemuda ini berani menangkis tongkat Tok-jiauw Lo-mo dengan tangan kosong, mereka tahu bahwa pemuda ini lihai, maka tujuh orang Pek-lian-kauw mengepungnya.

Namun, dengan tenang, Kun Liong menghadapi mereka, mengelak dan menangkis dengan amat mudahnya semua senjata yang menyambar ke arah tubuhnya. Semenjak dia masih kecil, dia sudah merasakan kejahatan kaum Pek-lian-kauw, bahkan di dalam kuil tua dia menyaksikan betapa seorang tokoh Pek-lian-kauw yang bernama Loan Khi Tosu telah membunuh-bunuhi petugas dan orang orang gagah, kemudian dia sendiri hampir menjadi korban dibunuh oleh tosu itu kalau saja mendiang ayahnya tidak muncul menyelamatkannya.

Kemudian, di dalam pengalaman hidupnya selanjutnya, sering sekali dia bertemu dengan para tokoh Pek-lian-kauw yang palsu dan jahat. Tahulah dia sekarang bahwa Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang berkedok agama, yaitu suatu pecahan atau penyelewengan dari Agama Buddha bercampur Agama To, dan yang diam-diam hanya menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keinginan para pimpinannya, terutama sekali dalam hal mengejar kedudukan dan kemuliaan dengan jalan memberontak.

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita dididik dan digembleng oleh tradisi dan kebudayaan, dibina oleh cara pendidikan yang sudah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat, untuk bercita-cita, untuk mengejar sesuatu, untuk berambisi dan menujukan mata kita jauh ke depan untuk menjangkau dan meraih sesuatu yang kita kehendaki dan yang belum terdapat oleh kita.

Hal ini sudah dibenarkan oleh kita sehingga setiap manusia, sejak kecil, bergulat dan berjuang untuk mencapai cita-cita masing-masing sehingga terjadilah saling dorong, saling jegal, saling berebut dan bersaing, karena cita-cita semua manusia pada hakekatnya tentu sama, yaitu untuk mencari kesenangan bagi diri pribadi.

Cita-cita boleh diberi nama yang muluk-muluk, yang bersih-bersih, bahkan yang megah-megah, namun semua itu hanyalah kulit yang membungkus isi yang sama, yaitu: mengejar sesuatu yang menyenangkan diri sendiri, baik lahir maupun batin!

Kalau kita mau membuka mata, jelas tampak dalam penghidupan sehari-hari betapa cita-cita atau keinginan mencapai sesuatu mendatangkan kepalsuan-kepalsuan, pertentangan dan kejahatan di dalam hubungan antara manusia.

Sekelompok anak-anak pun, kalau melakukan suatu permainan dimana terdapat kemenangan, setiap orang anak memperebutkan kemenangan itu dan sudah pasti akan terjadi persaingan, perebutan yang segera diikuti dengan pertentangan dan pertengkaran. Mengapa demikian? Karena dengan adanya cita-cita yang dikejar, mata ditujukan kepada cita-cita itu dan cita-cita itulah yang penting lagi! Cita-cita itu saja yang dianggap akan mendatangkan nikmat, permainannya tidak terasa lagi, seluruh gairah didorong oleh pengejaran akan cita-cita dalam permainan itu, ialah kemenangan.

Karena kita mementingkan cita-cita yang merupakan khayal karena belum ada, maka kita tidak mengacuhkan caranya, tidak memandang lagi kepada keadaan sebagaimana adanya. Kita memandang kepada masa depan, yaitu cita-cita, tidak pernah memperhatikan sekarang, saat ini. Maka terjadilah penyelewengan, terjadilah penggunaan cara-cara yang tidak sehat, semua demi mencapai cita-cita. Bahkan ada pendapat yang amat menyesatkan bahwa “cita-cita menghalalkan segala cara”. Betapa menyesatkan pendapat seperti itu. Kita lupa bahwa cara dan cita-cita tidak ada bedanya. Kalau caranya buruk, mana mungkin cita-cita atau tujuannya baik?

Demikian pula dengan para pimpinan Pek-lian-kauw. Demi mengejar cita-cita mereka, cita-cita pribadi yang diselimuti dengan sebutan cita-cita rakyat, bangsa, dan lain sebagainya, terjadilah permainan-permainan kotor. Nama rakyat dicatut, nama negara, bangsa, agama, bahkan kadang-kadang nama Tuhan pun dipergunakan orang tanpa segan-segan lagi, semua demi mencapai cita-citanya.

Tentu ada yang membantah bahwa cita-cita tidak selamanya buruk, banyak terdapat cita-cita yang baik. Baik maupun buruk tetap saja cita-cita, tetap saja keinginan yang disusul dengan pengejaran dan di dalam pengejarannya inilah terjadi penyelewengan dan kekerasan, dan terjadilah bentrokan dan pertentangan.

Karena cita-cita menghidupkan dan membesarkan si “aku” dan penonjolan si “aku” dan si “kamu” tentu saja memperbesar pula bentrokan-bentrokan. Yang baik bagi aku belum tentu baik bagi kamu, dan demikian sebaliknya.

Mengapa pula kita dibius oleh cita-cita dan keinginan memperoleh sesuatu yang belum ada? Mengapa kita menujukan mata kita jauh ke depan, ke masa depan yang abstrak? Mengapa kita tidak menghayati hidup di saat ini? Hidup di saat ini berarti menujukan seluruh perhatian kepada saat ini, saat demi saat tanpa diganggu oleh bayangan masa depan yang menyesatkan.

Kalau kita melakukan segala sesuatu di saat ini dengan kasih di hati, apakah perlunya kita bercita-cita? Kalau kita memperhatikan setiap dari langkah-langkah hidup kita, segala akan tampak oleh kita, sebaliknya kalau mata kita ditujukan jauh ke depan, banyak bahayanya kaki kita yang akan tersandung. Apa perlunya kita memandang “sana” yang bukan lain hanyalah kelanjutan dari “sini”? Mengapa kita menginginkan yang “begitu” dan tidak menghayati yang “begini”? Yang “begitu” adalah khayal, sedangkan yang “begini”, saat ini, barulah nyata dan hidup!

Karena sudah seringkali bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang melakukan banyak kejahatan, dan yang terakhir sekali di sarang Pek-lian-kauw yang mempergunakan kekejian hendak mengawinkan Cia Giok Keng, maka Kun Liong tidak mau memberi hati lagi.

“Kalian orang-orang jahat!” bentaknya.

Bentakan ini disusul oleh berkelebatnya bayangan tubuh Kun Liong yang menyambar-nyambar seperti halilintar. Tujuh orang Pek-lian-kauw yang mengepungnya menjadi terkejut. Pandang mata mereka menjadi kabur dan sebelum mereka dapat melihat jelas karena tubuh pemuda itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak, tahu-tahu senjata mereka terlepas dari tangan dan lengan mereka terasa nyeri dan lumpuh.

Mereka berteriak kaget, meloncat mundur tanpa senjata lagi, akan tetapi Kun Liong sudah menerjang ke depan dan satu demi satu tujuh orang itu terlempar ke kanan kiri sambil menjerit kesakitan, ada yang patah tulang lengannya, pundaknya, dan ada yang benjol-benjol kepalanya.

Dapat dibayangkan betapa kagum rasa hati Poa Su It. Pendekar Secuan yang mengamuk dengan pedangnya menghadapi pengeroyokan tiga orang Pek-lian-kauw itu baru berhasil merobohkan seorang lawan dan dia masih harus menahan desakan dua orang lagi. Namun, pemuda yang bertangan kosong itu telah merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam waktu singkat!

“Pergilah...!”

Kun Liong membentak, tubuhnya menerjang ke depan dan tangan kirinya sudah menangkap tongkat seorang lawan, tangan kanan menampar pangkal lengan kanan orang ke dua sehingga goloknya terlempar, kemudian secepat kilat kakinya menendang dua kali dan tubuh dua orang pengeroyok Poa Su It tadi pun terlempar jauh.

Habislah semangat perlawanan sepuluh orang Pek-lian-kauw itu. Mereka saling bantu, bangkit dari atas tanah, membawa mayat Tok-jiauw Lo-mo kemudian meninggalkan tempat itu, ada yang terbongkok-bongkok dan ada yang setengah merangkak.

“Biarkan mereka pergi,” kata Kun Liong ketika melihat Poa Su It hendak mengejar.

Pendekar Secuan itu menarik napas panjang, sejenak memandang kepada Kun Liong kemudian lari menghampiri mayat suhunya dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan penuh duka. Orang tua itu telah puluhan tahun menjadi gurunya dan menjadi pengganti ayahnya sendiri, maka dapat dimengerti betapa sedih hati Poa Su It melihat kematian gurunya itu.

Penduduk kota Mian-ning terkejut sekali mendengar akan kematian pendekar tua Secuan itu dan berbondong-bondong mereka datang melayat. Kun Liong membantu Poa Su It mengurus penguburan jenazah jago tua Gak Liong, kemudian dia berpamit untuk melanjutkan perjalanan ke barat setelah dia mendengar banyak petunjuk dan keterangan dari Poa Su It tentang perjalanan menuju ke sarang perkumpulan Agama Lama Jubah Merah.

**** 215 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: