*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 218

Sikap dan kata-kata ayahnya ini tiba-tiba membuat Hong Ing timbul semangat dan kenekatannya. Memang sebelum bertemu dengan ayahnya, dia hidup di dalam dunia tanpa mengandalkan siapapun juga, maka terasalah olehnya betapa sikapnya tadi amat lemah dan manja.

“Baik, Ayah! Aku akan mati bersama Kun Liong, akan tetapi bukan karena tidak hendak melanggar janji terhadap para Susiok yang palsu itu! Aku akan melawan mereka sampai mati!” Dengan isak tertahan Hong Ing lalu berlari keluar dari dalam kamar hukuman.

“Suci...!” Bun Houw berteriak memanggil namun Hong Ing tidak menengok lagi.

Sementara itu, di luar markas terjadi pertempuran yang amat hebat. Kun Liong masih dapat mempertahankan dirinya biarpun kini Hun Beng Lama yang menggunakan senjata tasbih dan Lak Beng Lama yang bertongkat mengurung dan mendesaknya, dibantu oleh banyak sekali pendeta Lama yang berjubah merah.

Yang membuat kepala Kun Liong terasa pening adalah persamaan pakaian para pengeroyoknya itu sehingga sukar baginya untuk membedakan orangnya. Hal ini membuat dia seringkali terkena hantaman tasbih atau tongkat di tangan kedua orang pendeta Lama yang lihai itu.

Untung bahwa sin-kangnya memang amat tinggi tingkatnya sehingga dengan perlindungan tenaga sakti ini, tubuh yang kena dihantam dua senjata itu tidak mengalami luka. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok banyak semut, Kun Liong mengamuk, kaki tangannya bergerak dan siapa saja, kecuali dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu, yang terkena sentuhan kedua tangan atau kakinya tentu terlempar jauh ke belakang.

“Kun Liong jangan khawatir, aku membantumu!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki gagah yang datang menyerbu dengan pedang mereka. Dengan beberapa gebrakan saja dua orang yang datang membantu Kun Liong ini sudah berhasil merobohkan dua orang pendeta Lama.

“Hwi Sian...!” Kun Liong terkejut bukan main ketika mengenal wanita cantik yang membantunya. “Tan-twako...!” Dia mengenal pula Tan Swi Bu, bekas suheng dari Hwi Sian yang telah menjadi suami wanita itu. “Mundurlah, pergilah dan jangan mencampuri urusanku...!”

Teriaknya dengan suara penuh kekhawatiran karena dia maklum betapa lihainya para pendeta Lama Jubah Merah ini, sama sekali bukanlah lawan kedua orang suami isteri itu. Betapa pun, melihat Hwi Sian, ulu hatinya seperti tertusuk sesuatu dan dia merasa terharu.

“Kun Liong, aku... girang dapat membantumu...tranggg...!”

Hwi Sian menangkis datangnya sambaran sebatang golok dengan pedangnya lalu melanjutkan pedangnya menusuk yang dapat ditangkis pula oleh lawannya.

“Yap-taihiap, mari kita basmi para pemberontak ini!”

Tan Swi Bu juga berseru dan mendengar seruan ini, para pendeta menjadi kaget bukan main. Maklumlah mereka bahwa rahasia mereka telah diketahui orang dan tentu dua orang laki-laki dan perempuan yang baru datang ini adalah mata-mata pemerintah.






“Tangkap mata-mata!”

“Bunuh mata-mata!”

Teriakan-teriakan ini disusul dengan menyerbunya banyak pendeta mengepung Hwi Sian dan Tan Swi Bu yang memutar pedang mereka dan mengamuk penuh semangat.

Seperti telah diceritakan oleh Poa Su It kepada Kun Liong, suami isteri murid pendekar Secuan Gak Liong ini telah melaksanakan tugas mereka menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang dikabarkan hendak memberontak itu, mentaati perintah dari susiok-couw mereka, yaitu Panglima Besar The Hoo.

Mereka menyamar sebagai orang-orang yang datang hendak bersembahyang dan setiap hari mereka melakukan penyelidikan sehingga akhirnya mereka dapat mengetahui tentang gerakan Lama Jubah Merah yang sudah mempersiapkan dan melatih pasukan-pasukannya, dan juga kontak mereka dengan pihak Pek-lian-kauw yang kini banyak pula berkumpul di luar markas, ikut melatih para penduduk yang dapat dibujuk oleh Lama Jubah Merah.

Akan tetapi pada pagi hari itu, selagi mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dan melaporkan hasil penyelidikan mereka, mereka mendengar ribut-ribut di dalam markas. Dengan cerdik mereka berhasil menyelundup masuk dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hwi Sian ketika melihat bahwa pemuda tampan yang kini memiliki rambut kepala bagus itu dan yang dikeroyok oleh banyak pendeta adalah Yap Kun Liong, pria yang tak pernah dapat dilupakannya!

Maka serta merta dia mencabut pedang yang disembunyikan di bawah bajunya dan menyerbu tanpa berunding dulu dengan suaminya! Tentu saja Tan Swi Bu juga tidak membiarkan isterinya menempuh bahaya seorang diri dan dia pun menyerbu mati-matian.

Melihat betapa Hwi Sian dan Swi Bu terus mengamuk dan dikepung banyak pendeta, Kun Liong menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika dari jauh dia melihat munculnya seorang pendeta Lama yang amat lihai, yaitu Sin Beng Lama dengan lima batang hio mengepul, maklumlah dia bahwa bahaya besar mengancam suami isteri itu.

“Hemmm...!”

Dia menggeram dengan mengerahkan tenaganya, menerima hantaman-hantaman Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama serta lain-lain pendeta, kemudian secepat kilat dia menangkap lengan kedua orang pendeta Lama yang lihai itu sambil mengerahkan tenaga sakti Thi-khi-i-beng!

“Auhhh...!”

“Aduhhh...!”

“Haiii..., lepaskan aku...!”

Teriakan-teriakan penuh kepanikan itu terdengar dari mulut mereka yang memukul tubuh Kun Liong dan tangan mereka yang mengenai tubuh pemuda ini melekat tak dapat ditarik kembali, bahkan segera mereka merasakan betapa tenaga sin-kang mereka membanjir keluar disedot oleh tubuh pemuda itu!

Karena banyaknya para pendeta yang tadi memukul Kun Liong untuk membantu kawan, maka belasan orang pendeta, termasuk Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama melekat pada tubuh pemuda itu dan kedua orang Lama yang sakti itu merasa panik dan juga marah kepada anak buah mereka sendiri.

Kalau saja tidak ada anak buah mereka yang ikut-ikut memukul dan melekat sehingga menghalangi gerakan mereka, tentu dengan tangan mereka yang masih bebas mereka dapat mengirim pukulan maut dengan totokan-totokan ke bagian tubuh yang lemah dari pemuda luar biasa itu.

Kun Liong yang melihat betapa Sin Beng Lama sudah menggerakkan tubuhnya meloncat dekat Hwi Sian dan Swi Bu, cepat mengembalikan tenaga sin-kang yang tersedot olehnya dan terkumpul menyesak di pusar, mengeluarkan bentakan nyaring dan menggoyang tubuhnya seperti seekor harimau menghalau air dari bulu-bulu tubuhnya.

“Haaaiiiihhhh!”

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, juga belasan orang anak buahnya, berseru kaget dan terlempar ke arah Sin Beng Lama! Belasan orang anak buah mereka itu terlempar dalam keadaan pingsan, sedangkan Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masih dapat mengumpulkan tenaga dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tubuh mereka itu tidak meluncur menerjang suheng mereka sendiri. Mereka berjungkir balik dan terjatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan terhuyung-huyung.

Sementara itu, Sin Beng Lama telah membuat pedang di tangan Hwi Sian dan Swi Bu terpental jauh, kemudian dua kali tangannya bergerak dan robohlah Hwi Sian dan suaminya. Akan tetapi pada saat itu, belasan batang tubuh beterbangan menerjangnya dari arah Kun Liong!

“Omitohud...!”

Dia berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali sehingga belasan batang tubuh yang meluncur itu lewat di bawah kakinya lalu terbanting dan terguling-guling ke atas tanah dalam keadaan pingsan.

“Pendeta keji...!”

Kun Liong membentak dan segera dia sudah bertanding melawan Sin Beng Lama yang amat lihai. Tampak sinar-sinar kecil berapi seperti ada banyak sekali kunang-kunang beterbangan di sekitar tubuh Kun Liong.

Diam-diam pemuda itu terkejut juga melihat betapa lima batang hio membara itu meluncur dan menyambar-nyambar cepat sekali ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya. Dia maklum betapa hebatnya serangan ini, maka dia pun cepat menggerakkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan balas menyerang.

Karena lawan menggunakan lima batang hio yang amat luar biasa itu, dia tidak mungkin dapat mengandalkan Thi-khi-i-beng, dan untuk mengimbangi kecepatan lawan dia terpaksa memainkan Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun dan mempergunakan tenaga sin-kang Pek-in-ciang sehingga dari kedua telapak tangannya mengepul uap putih yang menyambar-nyambar dahsyat.

“Yap Kun Liong menyerahlah engkau dan pinceng akan mengampunimu,” kata Sin Beng Lama.

Pendeta ini diam-diam merasa kagum bukan main terhadap Kun Liong dan kalau pemuda ini mau menyerah sehingga Hong Ing dapat mengorbankan diri kepada dewa, kemudian pemuda ini mau membantunya, tentu merupakan tenaga bantuan yang tidak ternilai harganya!

“Sin Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing dan aku akan pergi dari sini dengan damai!”

Kun Liong berkata pula, akan tetapi matanya melirik ke arah Hwi Sian dan Swi Bu yang sudah rebah tak bergerak lagi. Dia tidak dapat menyatakan sakit hatinya kalau suami isteri itu tewas, karena hal itu adalah kesalahan Hwi Sian dan suaminya sendiri, dan mereka itu pun telah merobohkan dan membunuh beberapa orang pendeta!

“Pemuda sombong!”

Sin Beng Lama berseru dan kini dia memperhebat serangannya dan bahkan dibantu oleh Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama yang sudah dapat memulihkan kembali tenaganya.

“Suheng, hati-hati terhadap Thi-khi-i-beng!” berkata Lak Beng Lama.

“Ya, dia tentu menggunakan ilmu mujijat itu!” kata pula Hun Beng Lama.

Sin Beng Lama berseru,
“Jangan melewatkan bagian-bagian yang paling lemah. Serang matanya!”

Kun Liong mendongkol bukan main, akan tetapi juga sibuk karena tiga orang lawannya itu benar-benar amat sakti, sedangkan dia amat khawatir melihat keadaan Hwi Sian yang sudah bergerak dan mengeluarkan rintihan perlahan.

“Kun Liong... ohhh... Kun Liong...!”

Suara ini cukup menusuk perasaan hati pemuda itu. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring sekali dan tenaga sakti mujijat yang terkumpul di dalam tubuhnya berkat latihan menurut ilmu dalam kitab Keng-lun Tai-pun secara tiba-tiba bekerja didorong oleh perasaannya.

Tiga orang pendeta Lama itu mengeluarkan seruan kaget dan seperti tiga helai daun kering tertiup angin, mereka terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!

“Hwi Sian...!”

Kun Liong meloncat dan menghampiri Hwi Sian, berlutut dan merangkul leher wanita itu.

“Kun Liong...!” Hwi Sian menggerakkan lengan merangkul leher Kun Liong. “Kun Liong, dia... suamiku... dia telah mati...”

Kun Liong menoleh dan menghela napas. Memang jelas bahwa Tan Swi Bu telah tewas, dan wanita ini pun berada dalam keadaan payah sekali, dadanya berlubang dan seperti terbakar.

“Kun Liong... aku... aku tetap cinta padamu...”

Kun Liong menarik napas lagi, dua butir air mata membasahi pipinya. Dia tidak mampu mengeluarkan suara.

“Kun Liong...” Suara itu berbisik. “Dengarlah...”

Terpaksa Kun Liong mendekatkan telinganya ke dekat mulut yang amat dikaguminya itu, mulut yang bentuknya amat indah dan selalu menjadi daya tarik utama dari kecantikan Hwi Sian.

**** 218 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: