*

*

Ads

FB

Minggu, 04 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 220

Selama tiga hari Kun Liong menjadi tamu yang terbelenggu! Dia diperlakukan dengan baik dan dengan ilmunya melemaskan tubuh Sia-kut-hoat yang telah mencapai tingkat tinggi sekali, dia telah berhasil memindahkan kedua lengannya yang terikat di belakang tubuhnya itu kini menjadi berada di depan tubuhnya!

Bagi seorang ahli seperti Kun Liong, tidaklah sukar untuk menurunkan kedua tangan yang terbelenggu di belakang itu melalui bawah pinggulnya, menarik kedua kakinya dan membiarkan belenggu kedua tangan itu terus melalui bawah kedua kakinya yang ditekuk ke atas sehingga kini kedua tangannya berada di depan tubuh, biarpun masih dalam keadaan terbelenggu kedua pergelangan tangannya.

Melihat hal ini, Hun Beng Lama hanya memandang kagum, namun mereka merasa lega bahwa pemuda itu tidak dapat mematahkan belenggu. Dengan kedua tangan kini berada di depan, Kun Liong dapat makan dengan mudah dan tidak merasa terlalu tersiksa lagi.

Tubuhnya tidak merasa tersiksa, akan tetapi batinnya amat gelisah. Beberapa kali dia membujuk kedua orang pendeta Lama itu untuk menceritakan apa yang telah terjadi, dan apa yang hendak dilakukan oleh Hong Ing. Namun kedua orang itu hanya menjawab,

“Harap Tai-hiap bersabar karena Tai-hiap akan menyaksikan dengan mata sendiri apa yang akan dilakukan oleh murid keponakan kami itu. Karena itulah maka Tai-hiap ditahan di sini, agar dapat menyaksikan. Setelah selesai upacara pengorbanan itu, kami pasti akan membebaskan Tai-hiap.”

Pada hari ke tiga itu, di halaman belakang markas Lama Jubah Merah telah dibangun sebuah tempat pembakaran yang berupa sebuah panggung kecil dari kayu. Di tengah panggung terdapat sebatang tiang dan di sekeliling tiang ini ditumpuk kayu-kayu yang mudah terbakar. Sebuah meja sembahyang besar telah disiapkan dan di atas meja itu dihidangkan lengkap segala keperluan sembahyang, dan banyak lilin dinyalakan.

Tempat itu penuh dengan para anggauta Lama Jubah Merah yang sudah berkumpul di sekeliling tempat pembakaran. Mereka duduk bersila di atas tanah sehingga kelihatan seperti bunga-bunga besar berwarna merah karena mereka semua mengenakan jubah merah mereka. Dengan penuh khidmat para pimpinan yang terdiri dari Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dibantu oleh para Lama lain yang tinggi tingkatnya, mengatur meja sembahyang.

Tak lama kemudian muncullah Pek Hong Ing, berjalan perlahan-lahan, diikuti dengan sikap penuh hormat oleh para Lama dan disambut sambil membungkuk-bungkuk oleh Sin Beng Lama sendiri yang bersikap seperti seorang pendeta menyambut datangnya tamu agung, dalam hal ini pengantin agung!

Semua mata para pendeta, yang telah bertahun-tahun bertapa dan berpuasa terhadap nafsu, terutama sekali nafsu berahi, kini memandang penuh gairah. Bagi pandang mata mereka, Pek Hong Ing bukan lagi manusia, melainkan seorang dewi, seorang calon isteri dewa, karena itu memiliki kecantikan agung, bukan kecantikan jasmaniah belaka yang kasar, kotor dan hanya sedalam kulit! Mereka yakin bahwa kelak, di alam baka, mereka akan bersahabat dengan wanita-wanita seperti ini!

Memang pada saat itu, melihat Pek Hong Ing akan menimbulkan rasa takjub, hormat dan kagum. Dara ini telah dirias dengan teliti, kelihatan cantik tapi agung sekali, tidak seperti seorang dara dari darah daging lagi, melainkan sepatutnya telah menjadi seorang bidadari dari kahyangan!

Wajahnya yang putih halus itu seolah-olah bersinar, pandang matanya meremang jauh, menembus segala sesuatu di depannya, langkahnya lembut dan agung, kepalanya tegak, tubuhnya lurus dan lenggangnya lemah gemelai. Rambutnya yang mengkilap bersih karena sudah dicuci secara istimewa, hitam subur dan panjang digelung ke atas seperti gelung rambut para dewi dalam dongeng, dihias ratna mutu manikam, gemerlapan tertimpa cahaya matahari pagi.






Seluruh pakaian dara itu, sampal ke sepatunya, berwarna putih bersih, dari sutera termahal, sutera yang amat halus sehingga seolah-olah terbayang lekuk lengkung tubuhnya di balik pakaian putih itu. Warna pakaian yang putih bersih ini kelihatan makin mencolok karena dilator belakangi warna merah darah dari jubah merah yang dikenakannya.

Banyak di antara para pendeta Lama yang hadir di situ memandang bengong, ada yang tanpa disadarinya berlinang air mata, ada pula yang beberapa kali meneguk air liurnya sendiri, ada pula yang langsung merangkap kedua tangan ke depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk memuja para dewata dan mohon kekuatan bagi batinnya yang terguncang hebat.

Dengan langkah-langkah yang sudah teratur dan terlatih, Hong Ing menghampiri Sin Beng Lama dan membalas penghormatan kakek ini, menerima hio dan bersembahyang di depan meja sembahyang, berlutut dan membungkuk sampai dahinya yang halus menempel pada permadani yang dibentang di situ, semua gerak-geriknya diikuti oleh mata para pendeta dengan seksama.

Setelah selesai bersembahyang, Hong Ing lalu melangkah meninggalkan meja sembahyang, diikuti oleh suara tambur yang sejak tadi dipukul lambat-lambat mengikuti gerakan “pengantin puteri” ini, lalu langsung melangkah menaiki anak tangga ke atas panggung, diikuti oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Tiga orang pendeta ini membawa bunga yang dirangkai menjadi tali yang amat panjang, kemudian, setelah Hong Ing berdiri membelakangi tiang sampai punggung menempel pada tiang, menghadap ke meja sembahyang, tiga orang pendeta itu sambil membaca doa lalu melibat-libatkan tali kembang itu ke seluruh tubuh Hong Ing.

Kembang-kembang itu dirangkai dengan menggunakan tali yang kuat dan tahan api, dan hal ini dilakukan untuk menjaga agar sang mempelai akan tetap berdiri ketika dilakukan pembakaran nanti, tetap berdiri dan habis terbakar dalam sikap yang agung.

Setelah selesai mengikat Hong Ing pada tiang itu, mereka bertiga turun lalu dimulailah upacara sembahyang dan membaca doa sebelum pembakaran dilakukan.

Dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati para pendeta itu, dipimpin oleh Sin Beng Lama, bersembahyang dan berdoa dan seluruh panca indria, seluruh perasaan dan perhatian mereka tujukan kepada dewa di langit!

Semenjak kecil, kita manusia telah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh agama, oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan daripada kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi. Jalan pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan masyarakat dan lingkungan masing-masing.

Oleh karena itu, kita tidak mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku yang juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan kita.

Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidaklah wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita. Segala yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan kita adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan semua kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar! Kepalsuan dianggap kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita.

Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang hanya bergerak menurut garis yang sudah ditentukan lebih dulu. Mereka tidak mau menyelidiki dan mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena yang terpenting bagi mereka, seperti bagi kita pada umumnya, adalah tujuan daripada perbuatan mereka.

Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata demi sembahyang itu sendiri, melainkan bagi tercapainya yang mereka tuju sebagai hasil dari sembahyang itu.

Mereka menghadapi “perjuangan” menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka melakukan upacara pengorbanan dan sembahyang dengan segala kesungguhan hati, bukan demi upacara itu sendiri, melainkan demi terkabulnya harapan dan cita-cita mereka. Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi cara atau jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu kemenangan dalam “perjuangan” itu, melalui berkah para dewa yang mereka sembah-sembah.

Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan mengatakan bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita sendiri pun sesungguhnya tidak jauh bedanya dengan mereka!

Mari kita membalikkan pandangan mata kita untuk memandang dan meneliti, untuk mengenal keadaan diri sendiri! Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri sendiri.

Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing, “Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA,” atau di dalam kelompok kita berdoa, “Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI”, dan selanjutnya lagi?

Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya.

Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepura-puraan dan kemunafikan yang palsu?

Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi!

Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.

Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih.

Baru saja upacara sembahyang selesai, Sin Beng Lama berkata kepada dua orang sutenya,

“Jemput Yap Kun Liong ke sini!”

Dua orang pendeta Lama itu bergegas masuk ke dalam markas dan memasuki kamar di mana Kun Liong duduk menanti dengan tenang, dijaga oleh dua losin orang pendeta Lama Jubah Merah. Melihat Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masuk, Kun Liong berkata,

“Ji-wi berjanji akan mempertemukan aku dengan Pek Hong Ing pagi ini.”

“Marilah, dia sudah menanti sejak tadi. Upacara sembahyang telah dilakukan, dan kini tinggal menanti kehadiranmu untuk segera melaksanakan upacara pengorbanan,” kata Hun Beng Lama dengan sikap serius.

“Pengorbanan...? Hong Ing...?” Kun Liong bangkit berdiri dan bertanya dengan penuh ketegangan.

Hun Beng Lama tersenyum dan memegang siku kanan Kun Liong sedangkan Lak Beng Lama memegang siku kirinya.

“Marilah, Tai-hiap, kau menyaksikan sendiri dan melihat bahwa kami sama sekali tidak melakukan pemaksaan kepada Hong Ing.”

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Kun Liong mengikuti dua orang pendeta Lama ini menuju ke belakang markas dan dia merasa makin gelisah dan tegang melihat banyaknya pendeta yang berkumpul di halaman belakang itu.

Sementara itu, di dalam kamar hukuman dimana Kok Beng Lama duduk bersila, Bun Houw berlutut di depan kakek itu sambil menangis.

“Suhu...! Suhu...! Kenapa Suhu selama tiga hari tidak mau mendengarkan permintaan teecu (murid)?” Bun Houw berteriak sambil menyusut air matanya. “Terjadi banyak hal luar biasa. Suheng Yap Kun Liong telah datang dan dia ditangkap oleh para Susiok dan dimasukkan kamar tahanan. Teecu sama sekali tidak boleh mendekat, bahkan diancam akan dipukul kalau teecu mendekati kamar itu. Juga Suci Hong Ing selalu berada di kamar sembahyang, tidak boleh teecu dekati. Suhu, semua itu telah terjadi dan Suhu tidak ambil pusing.”

**** 220 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: