*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 226

Cia Giok Keng berjalan dengan wajah bersungut-sungut, sedangkan Lie Kong Tek berjalan melangkah dengan langkah-langkah tetap di belakangnya. Keduanya tidak bicara, hanya berjalan dengan sunyi di dalam panas terik matahari siang itu. Hati Giok Keng mendongkol bukan main. Telah berhari-hari dia melakukan perjalanan bersama Kong Tek dan selama ini merasa betapa hatinya makin tertarik dan makin kagum kepada pemuda tinggi besar ini.

Tampak jelas olehnya betapa jauh bedanya pribadi Kong Tek dibandingkan dengan pemuda-pemuda lain seperti Kun Liong dan terutama sekali Bu Kong. Pemuda ini gagah perkasa, kuat dan tahan menderita, juga jujur dan pendiam, tidak banyak cakap, tidak pula suka menggodanya, bahkan sama sekali tidak pernah memujinya, apalagi menjilat atau bermuka-muka!

Hal inilah yang menimbulkan kesal dan mendongkol hatinya. Semua pemuda, bahkan semua laki-laki yang dijumpainya, sudah pasti akan memandangnya dengan sinar mata jelas membayangkan kekaguman, mata laki-laki yang bersinar kagum dan kurang ajar, yang ceriwis dan nakal, namun yang diam-diam memuaskan dan membuat hatinya bangga karena semua itu membuktikan kecantikan dan daya tariknya.

Akan tetapi Kong Tek memandangnya biasa saja, tanpa sinar berapi dan kagum, bahkan seolah-olah dia dipandang seperti kalau pemuda itu memandang pohon, awan, atau tanah saja! Mengkal hatinya!

Sudah berkali-kali dia sengaja hendak memancing perhatian Kong Tek, hanya untuk memancing pujian, memancing pandang mata penuh gairah dan kagum namun hasilnya sia-sia belaka. Betapa pun dia menggigiti bibirnya sampai menjadi merah dan basah hampir berdarah, betapa dia menyanggul rambutnya atau mengurainya sehingga terlepas panjang sampai ke pinggul, betapa dia mengatur pakaiannya sehingga serapi-rapinya, atau mencuci muka dan menggosoknya sampai kedua pipinya menjadi kemerahan dan segar seperti sepasang buah tomat, betapa dia bergaya sampai merasa menjadi seorang sripanggung pemain opera, hasilnya sia-sia belaka! Sama halnya dengan bersolek dan bergaya di depan sebuah patung mati yang berhati batu!

Apalagi pengalamannya tadi membuat dia cemberut dan bersungut-sungut, penuh kekecewaan dan kemendongkolan hati. Dia tadi sudah memancing pemuda itu dengan omongan dan masih terngiang di telinganya jawaban-jawaban Kong Tek yang membuat bibirnya makin cemberut.

Tadi mereka sedang duduk di bawah pohon rindang, berlindung dari terik panas matahari. Sambil mengusap peluhnya dari muka dan lehernya dengan saputangan, dia berkata,

“Lie-toako, kalau aku teringat akan pengalaman-pengalamanku di Pek-lian-kauw, masih bergidik ngeri dan bangkit bulu tengkukku. Untung aku tertolong, kalau tidak... hemmm, entah apa jadinya dengan diriku.”

“Memang kau beruntung sekali tidak jadi menjadi isteri Liong Bu Kong, Nona.”

Sebutan nona itu sudah mulai membuat hatinya tidak senang. Sudah beberapa kali dia mengatakan bahwa pemuda itu tidak selayaknya menyebut dia nona setelah mereka menjadi sahabat, akan tetapi pemuda itu selalu lupa dan menyebutnya nona sehingga dia tidak peduli lagi untuk menegurnya.

“Mengapa beruntung, Toako?” dia mendesak.

“Ya, beruntung karena tidak jadi isteri orang seperti dia.”






“Lalu pantasnya aku menjadi isteri orang macam apa, Toako?”

“Hemm, pantasnya menjadi isteri seorang yang tidak seperti Liong Bu Kong.”

“Siapa, misalnya?” Giok Keng mendesak lagi.

Kong Tek menggerakkan kedua pundaknya yang lebar.
“Entahlah, pendeknya yang tidak jahat dan palsu seperti Bu Kong.”

Hening sejenak dan hati Giok Keng sudah mulai tidak puas. Sukar betul membongkar hati dan perasaan pemuda ini. Dari perbuatan dan pembelaannya yang berani mempertaruhkan nyawa, dia yakin bahwa pemuda ini cinta kepadanya. Akan tetapi dia tidak pernah menyatakannya, baik dari pandang mata, maupun suara mulut, atau gerak-geriknya. Inilah yang membuat dia penasaran dan tersinggung “harga dirinya”!

“Eh, Toako, sekarang sudah berapakah usiamu?”

Ditanyai usianya, Kong Tek memandang kepadanya dengan mata terbelalak heran, akan tetapi lalu menjawab juga,

“Sudah dua puluh lima tahun.”

“Dan kau sudah menjadi duda.”

“Aku belum menikah!”

“Tapi sudah bertunangan dengan Bu Li Cun.”

“Ya, kasihan sungguh gadis itu...” Kong Tek menghela napas dan termenung.

Giok Keng mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda yang luar biasa ini telah “patah hati” karena kematian tunangannya itu, pikirnya.

“Lie-toako, cinta sekalikah engkau kepadanya?”

“Hah...?” Kong Tek balas bertanya, terbelalak karena belum menangkap maksud pertanyaan itu.

“Engkau tentu amat mencinta mendiang Bu Li Cun itu...”

Kong Tek menghela napas panjang dan menyusut peluh dari dahinya sambil menggeleng kepalanya.

“Nona, selama hidupku, baru satu kali itu aku bertemu dengan dia. Kami ditunangkan sejak kecil oleh orang tua, aku tidak pernah kenal dengan dia, mana bisa mencinta.”

Hening sampai lama, akhirnya kembali suara Giok Keng memecah kesunyian,
“Akan tetapi, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau tentu telah mempunyai banyak pengalaman selama perantauanmu dengan suhumu yang lihai.”

“Memang sudah banyak aku merantau, ikut bersama Suhu yang berbudi.”

“Tentu sudah banyak, atau setidaknya ada wanita yang saling jatuh cinta denganmu, Toako.”

Pemuda itu menunduk dan kulit mukanya agak merah, akan tetapi dia menggeleng kepalanya dengan keras.

“Tidak ada, tidak pernah!”

“Eh, kenapa kau marah?”

“Aku tidak marah.”

“Akan tetapi jawabanmu kasar sekali.”

“Aku memang belum pernah saling jatuh cinta dengan wanita.”

“Hemm, sungguh luar biasa. Engkau tampan dan gagah perkasa, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau belum pernah jatuh cinta. Hebat! Akan tetapi setidaknya tentu ada wanita yang pernah jatuh cinta kepadamu, Toako. Aku berani bertaruh tentu pernah ada!”

Kembali Giok Keng mendesak dan memancing sambil menatap wajah itu dengan tajam dan penuh selidik.

“Tidak!” Kembali pemuda itu menggeleng kepala keras-keras. “Tidak, aku tidak sempat...!”

Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, seolah-olah tercekik oleh kata-katanya sendiri.

“Tidak sempat apa, Toako? Tidak sempat bermain cinta?”

Giok Keng mendesak dan menggoda makin berani melihat betapa pemuda itu sibuk dan bingung.

“Tidak sempat memikirkan itu.”

“Hemm, engkau memang aneh atau... engkau tidak jujur, Toako. Kalau aku, biar usiaku jauh lebih muda dari padamu, aku sudah seringkali dicinta orang.”

Kong Tek mengangkat muka memandang, sinar matanya biasa saja, akan tetapi dia melanjutkan,

“...dan mencinta...”

Giok Keng tersenyum, diam-diam tegang dan girang, mengharapkan pemuda itu akan merasa iri dan cemburu!

“Ya, dan mencinta! Banyak sudah laki-laki yang tergila-gila dan mencintaku.”

“Memang sudah semestinya, engkau... seorang gadis luar biasa, tentu banyak laki-laki yang jatuh hati dan mencintamu.”

Giok Keng merasa kecelik mendengar ucapan ini. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak merasa iri atau cemburu, apalagi panas hati!

“Aku tadinya saling mencinta dengan Liong Bu Kong, bahkan hampir menjadi isterinya.”

“Engkau tertipu dan dikuasai ilmu sihir.”

“Tapi, tadinya aku memang jatuh cinta kepada Bu Kong.”

“Memang dia tampan dan menarik, sayang hatinya kotor sekali, dan sungguh beruntung engkau belum sampai terjatuh dalam perangkapnya, Nona.”

“Jadi engkau tidak memandang rendah kepadaku, setelah aku... aku begitu bodoh jatuh hati kepada seorang seperti dia? Ayah sendiri sampai marah dan pernah mengusirku.”

Kong Tek menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang.
“Mengapa harus memandang rendah? Aku malah kasihan kepadamu, Nona, dan aku kagum. Engkau telah salah pilih, bukan kesalahanmu kalau kau jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang pada lahirnya kelihatan menarik, dan aku kagum bahwa di dalam cintamu itu, biarpun kemudian ternyata bahwa kau salah pilih, engkau berani bertanggung jawab dan menanggung semua akibatnya.”

Giok Keng menarik napas panjang. Sungguh sukar sekali, menghadapi pemuda ini sama halnya dengan menghadapi batu karang yang kokoh kuat, yang tidak goyah sedikit pun biar ada gempa bumi! Atau sebongkah bukit es, yang dingin! Dia menjadi makin penasaran. Di antara segala macam pria yang telah dijumpainya di dalam hidupnya, hanya ada dua orang yang pernah menariknya. Pertama adalah Kun Liong dan kedua adalah Bu Kong. Akan tetapi, baru sekarang dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti Kong Tek! Kun Liong dan Bu Kong ternyata masih lemah, begitu jelas membuktikan kekaguman terhadap dirinya melalui pandang mata dan kata-kata, akan tetapi pemuda ini benar-benar seperti batu karang yang mati!

“LIE-TOAKO, kenapa engkau selalu membelaku mati-matian?”

Kalau tadi Kong Tek menghadapi semua pertanyaan gadis itu dengan tenang, kini dia kelihatan gelisah dan bingung!

“Kenapa? Hal itu sudah semestinya, Nona, sudah menjadi kewajibanku seperti diajarkan oleh Suhu untuk menolong sesama hidup yang dilanda bahaya.”

“Tapi engkau membelaku dengan pengorbanan diri, beberapa kali engkau menghadapi maut demi aku. Mengapa, Toako?”

Hening sejenak, kemudian terpaksa Kong Tek menjawab,
“Aku sendiri tidak tahu, Nona. Akan tetapi aku tidak rela melihat engkau sengsara, aku tidak akan diam saja melihat engkau diancam bahaya, aku ingin melihat engkau bahagia, Nona. Seorang seperti engkau ini... pantasnya hidup dalam kebahagiaan. Itulah agaknya yang menyebabkan aku selalu siap membelamu, Nona.”

Jawaban ini keluar dari lubuk hati Kong Tek. Memang pemuda ini selama hidupnya tidak pernah membohong, akan tetapi menghadapi desakan dan pertanyaan-pertanyaan dari Giok Keng dia merasa bingung untuk menjawab.

Gurunya telah mengatakan bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, akan tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimanakah rasanya jatuh cinta itu! Gurunya malah hendak menjodohkan dia dengan gadis ini dan dia merasa betapa akan bahagianya hidupnya kalau hal itu terlaksana, namun betapa mungkin dia menyatakan hal ini kepada Giok Keng? Dia merasa malu dan khawatir kalau-kalau hal itu akan menyusahkan hati Giok Keng, hal yang paling tidak dikehendakinya.

“Toako, mengapa tidak bicara terus terang saja? Kalau memang engkau cinta padaku, mengapa tidak mau terus terang?”

Wajah Kong Tek berubah merah sekali.
“Aku... aku...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: