*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 227

“Ya, kau cinta padaku, Toako. Kau cinta padaku!”

Giok Keng berkata penuh desakan. Ingin dia mendengar mulut pemuda itu mengaku cinta agar dia dapat menebus rasa penasaran hatinya, dapat memuaskan kemendongkolan hatinya dengan mengejek dan mempermainkan pemuda yang seperti batu karang itu!

“Ahhh... aku... aku...”

“Toako, awas...!”

Giok Keng menjerit dan dia sudah melempar tubuhnya ke belakang sambil menyambar lengan Kong Tek sehingga pemuda itu pun melempar tubuh ke belakang.

“Wirrr... wirrr...!”

Dua sinar putih menyambar dan lewat. Ternyata itu adalah dua batang hui-to (golok terbang) yang dilemparkan orang untuk menyerang mereka, atau mungkin hanya untuk menggertak belaka.

Giok Keng dan Kong Tek sudah meloncat bangun dan siap menghadapi lawan. Ketika mereka memandang, mereka berdua terkejut bukan main mengenal tiga orang itu yang ternyata adalah Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur, Bong Khi Tosu pendeta Pek-lian-kauw kurus seperti tengkorak hidup, dan Hwa I Lojin kakek ahli pedang pesolek yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw.

Tentu saja mereka berdua amat terkejut karena maklum bahwa mereka berhadapan dengan tiga orang lawan yang amat tangguh, terutama sekali Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang amat lihai ilmu silatnya, juga amat lihai ilmu sihirnya itu!

“Ha-ha-ha, engkau telah mengagetkan dua ekor burung ini, Lojin!”

Thian Hwa Cinjin tertawa girang karena memang hatinya senang sekali bertemu dengan puteri pendekar Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu. Dia mendendam kepada Ketua Cin-ling-pai dan kalau dia dapat menangkap puterinya ini, dia akan dapat membalas dendam, bahkan akan dapat memaksa kepada pendekar itu untuk membantu Pek-lian-kauw!

“Heh-heh-heh, janda kembang ini masih muda dan cantik bukan main!” Hwa I Lojin berkata memandang kepada Giok Keng.

“Janda apa? Dia masih perawan, belum sempat disentuh oleh Liong Bu Kong yang tolol, heh-heh!” Thian Hwa Cinjin yang berwatak cabul itu berkata, “Hati-hati, jangan kalian sampai melukainya, kita harus dapat menangkapnya hidup-hidup! Sayang sekali kalau kulit yang halus itu ada yang lecet!”

“Pendeta-pendeta palsu! Munafik-munafik keparat, lahirnya saja menjadi pendeta akan tetapi batinnya kotor dan cabul!”

Lie Kong Tek sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar percakapan antara Thian Hwa Cinjin dan Hwa I Lojin itu. Dia sudah mencabut Gin-hong-kiam dan menyerang Thian Hwa Cinjin karena dia tahu bahwa di antara mereka bertiga, Ketua Pek-lian-kauw inilah yang menjadi kepala dan pemimpinnya.






“Cringgg...!”

Lie Kong Tek melompat mundur dan tangannya yang memegang pedang tergetar hebat ketika pedangnya ditangkis oleh pedang Hwa I Lojin.

“Ha-ha-ha. Kauwcu (Ketua), biarkan aku menghadapi pemuda ini agar Ji-wi berdua dapat menangkap gadis itu baik-baik,” kata kakek berbaju kembang dan bersikap sombong itu sambil meloncat ke depan dan memutar pedangnya menghadapi Kong Tek.

Pemuda ini pun mengeluarkan gerengan marah, pedang Gin-hong-kiam diputar cepat sehingga tampaklah segulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Namun sambil tertawa, Hwa I Lojin si ahli pedang itu menyambut serangan ini dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian.

Kembali diam-diam hati Giok Keng terharu menyaksikan kegagahan Kong Tek yang selalu tanpa ragu-ragu menyerang musuh dan membelanya mati-matian. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa dengan mereka.

“Thian Hwa Cinjin, biarlah aku mengadu nyawa dengan engkau tua bangka busuk dan jahat!” bentaknya dan dara ini pun sudah memutar pedangnya yang seperti pedang di tangan Kong Tek, juga mengeluarkan sinar perak yang tentu saja jauh lebih cemerlang dan hebat daripada gerakan Kong Tek karena memang tingkat kepandaian puteri Cin-ling-pai ini jauh lebih tinggi.

“Tranggg! Trakkk!”

Pedang Gin-hwa-kiam di tangan Giok Keng telah ditangkis oleh tongkat di tangan Thian Hwa Cinjin yang tertawa-tawa. Ketika melihat pembantunya, Bong Khi Tosu maju pula untuk membantunya, Ketua Pek-lian-kauw itu berkata,

“Jangan bantu aku, lebih baik kau cepat membantu Hwa I Lojin merobohkan pemuda nekat itu!”

Bong Khi Tosu menarik kembali tongkatnya lalu menyerbu Kong Tek, membantu Hwa I Lojin yang sudah mulai mendesak sehingga keadaan Kong Tek menjadi terancam sekali. Namun pemuda itu tidak kelihatan gentar, bahkan mengamuk makin hebat sambil memutar pedangnya dan beberapa kali mengeluarkan suara bentakan hebat seperti gerengan seekor singa marah.

Adapun Giok Keng juga repot sekali menghadapi desakan tongkat hitam di tangan Ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu. Yang membuat hatinya makin gelisah lagi adalah melihat kenyataan betapa Kong Tek dikepung dan didesak hebat, dan dia tahu bahwa dua orang kakek yang mengepung Kong Tek itu berniat untuk membunuh pemuda itu. Hatinya menjadi gelisah sekali.

Kong Tek tentu akan tewas, mana mungkin dapat melawan dua orang kakek itu! Ngeri dia memikirkan Kong Tek tewas, pemuda yang dikaguminya dan yang makin lama makin merampas perhatian dan hatinya itu. Kini melihat betapa pemuda itu terancam dan betapa hatinya gelisah bukan main, baru dia sadar bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada pemuda yang dianggapnya dingin kaku dan yang hendak digodanya itu!

“Dessss... auggghhh...!”

“Toako...!”

Giok Keng menjerit keiika dia mendengar keluhan pemuda itu dan melihat betapa pemuda itu roboh bergulingan dikejar dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Pedang di tangan Hwa I Lojin menyambar-nyambar, sedangkan tongkat Bong Khi Tosu kembali menghantam dan hampir saja mengenai kepala Kong Tek kalau pemuda itu tidak cepat menggelindingkan tubuhnya.

“Toako...!”

Giok Keng meloncat, meninggalkan lawannya untuk menolong pemuda itu, akan tetapi kelihatan bayangan berkelebat tahu-tahu tubuh Thian Hwa Cinjin sudah menghadang di depannya sambil tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, Nona Cia yang manis. Untuk apa pemuda tolol itu. Biar dia mampus dan disiksa oleh Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin, sedangkan kau lebih baik menyerah dan ikut bersama pinto ke Pek-lian-kauw. Percayalah, pinto tidak hendak mengganggumu asal engkau suka menurut dan menyerah.”

Sementara itu, Kong Tek sudah meloncat bangun namun terjungkal lagi oleh tusukan pedang Hwa I Lojin yang sengaja mempermainkannya sehingga tusukan pedang itu hanya menyerempet paha dan menimbulkan luka berdarah akan tetapi belum membahayakan nyawanya.

“Toako... ahhh...! Thian Hwa Cinjin, dengarkan aku! Aku menyerah, aku tidak melawan asal Lie-toako tidak dibunuh. Bebaskan dia dan aku menyerah!”

“Nona Cia, jangan...!”

Kong Tek membentak dan kembali memutar pedangnya. Akan tetapi, Thian Hwa Cinjin sudah menjawab,

“Baik!”

Lalu dia meloncat dekat Kong Tek, tongkatnya bergerak dan pedang di tangan Kong Tek terlempar, kemudian pemuda itu roboh oleh totokan ujung tongkat hitam yang lihai.

“Ha-ha-ha, serahkan pedangmu, Nona. Kami tidak akan membunuhnya!” kata Ketua Pek-lian-kauw itu.

Giok Keng sudah mengenal kakek ini, maklum akan kekejaman dan kepalsuan hatinya, maka dia berkata,

“Aku menyerah, akan tetapi dia harus ditawan bersamaku pula. Baru aku yakin bahwa kalian tidak akan membunuhnya. Kalau tidak, aku akan melawan sampai mati!”

“Hemmm... hemmm... untuk apa orang macam dia?”

Ketua Pek-lian-kauw itu masih merasa mendongkol terhadap pemuda itu yang dianggapnya sebagai penyebab kematian Bu Li Cun, gadis yang menjadi korbannya dan yang masih dicintanya.

“Pendeknya, mau atau tidak? Kalau tidak mau, biar aku mengadu nyawa denganmu!”

“Baiklah, baiklah!” Lalu dia berkata kepada Bong Khi Tosu, “Bawa dia bersama kita.”

Giok Keng terpaksa menyerahkan pedangnya dan dia mengikuti tiga orang kakek itu yang mengajaknya ke sarang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sekali ini dia terpaksa mengalah dan menyerah demi keselamatan Kong Tek, dan juga dia maklum bahwa andaikata dia tidak menyerah dia tentu akan tewas bersama Kong Tek di bawah senjata tiga orang kakek lihai itu!

Harapannya timbul ketika di dalam perjalanan menuju ke sarang Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin menyatakan maksud hatinya menawan Giok Keng, yaitu untuk membujuk Ketua Cin-ling-pai untuk membantu Pek-lian-kauw.

“Asal engkau tidak mengganggu kami berdua, aku pun tidak akan melawan, dan mungkin Ayah akan mempertimbangkan uluran tanganmu untuk bekerja sama asal engkau tidak mengganggu kami.”

Demikian jawabnya dan Giok Keng benar-benar tidak melawan sampai dia bersama Kong Tek tiba di sarang Pek-lian-kauw. Kong Tek dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang terjaga kuat, dan Giok Keng mendapat kamar di sebelahnya, juga terjaga kuat. Giok Keng diperbolehkan pula untuk merawat dan menjenguk sahabatnya itu.

“Ahhh... di mana kita...?”

Inilah ucapan Kong Tek pertama kalinya ketika dia siuman dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan di dalam sebuah kamar, sedangkan Giok Keng duduk di atas bangku dekat pembaringannya.

“Ssssttt...!” Giok Keng menaruh telunjuk di depan bibirnya. “Kita telah kalah dan tertawan.”

Mendengar ini, Kong Tek melompat turun dan menyeringai kesakitan. Dia telah menderita luka-luka akibat pertandingan melawan dua orang kakek lihai, akan tetapi sambil menahan sakit dan mengepal tinjunya dia berkata,

“Mari kita lawan mereka!”

Giok Keng memegang lengan pemuda itu.
“Tenanglah, Toako. Kau perlu istirahat agar luka-lukamu sembuh. Aku memang telah menyerah kepada mereka setelah melihat engkau hendak dibunuh.”

“Ahhh!” Kong Tek sekarang teringat dan dia merasa tidak setuju sama sekali. “Nona, lebih baik mereka membunuh aku daripada engkau menyerah dan menjadi tawanan.”

“Hushh, jangan begitu, Toako. Aku pun tidak suka melihat engkau terbunuh. Kau kira aku orang macam apa? Kalau kau terbunuh... aku... aku...”

“Kenapa, Nona?”

Aneh sekali. Baru sekarang suara pemuda ini dicekam keharuan dan terdengar agak gemetar.

“Aku juga akan melawan sampai mati!”

Kini tiba-tiba Kong Tek memegang kedua tangan gadis itu. Baru sekali ini dia berani melakukan hal seperti ini, dan suaranya gemetar ketika dia berkata tergagap,

“Keng-moi (Adik Keng), kau... kau...?”

Mulutnya tidak berani melanjutkan, namun sikap dan pandang matanya merupakan pertanyaan yang amat jelas.

Giok Keng tersenyum, mengangguk, dua titik air mata menuruni pipinya dan dia berbisik,

“Kalau kau tidak melihatnya, berati kau... tolol atau buta, Toako...!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: