*

*

Ads

FB

Selasa, 06 Desember 2016

Petualang Asmara Jilid 228

“Ehh... siapa berani mengharapkan kehormatan itu...? Keng-moi, aku... aku pun...” Kembali kata-katanya macet.

“Aku tahu, Toako, aku pun tidak buta.”

Mereka saling berpegang tangan, tanpa kata-kata kini, hanya sinar mata mereka yang mengandung seribu satu macam pernyataan hati yang penuh kasih sayang!

“Mereka menawanku untuk memancing Ayah datang ke sini dan hendak diajak bekerja sama. Maka biarlah kita menanti, melawan pun tiada gunanya. Hanya Ayah yang akan dapat membebaskan kita, maka kuminta agar kau menurut saja dan tidak memberontak.”

Kong Tek mengangguk, masih terharu oleh kenyataan bahwa gadis yang dipuja dan dikagumi yang dicintanya semenjak pertama kali melihatnya itu, ternyata juga jatuh cinta kepadanya!

Bong Khi Tosu memasuki kamar tahanan itu dan minta supaya Giok Keng keluar dari situ, kembali ke kamarnya sendiri.

“Dia sudah tidak perlu dirawat lagi, sudah sembuh dan sudah kami beri obat untuk menyembuhkan luka-lukanya.” kata pendeta Pek-lian-kauw itu sambil menyerahkan beberapa macam obat luka yang diterima oleh Kong Tek tanpa banyak kata lagi karena pemuda ini khawatir bahwa kalau dia mengeluarkan suara terhadap musuh ini, dia tidak akan dapat menahan kemarahannya dan akan bersikap kasar dan memberontak.

Mereka berdua harus sabar menanti. Selama Thian Hwa Cinjin tidak mengganggu mereka, mereka mengambil keputusan untuk diam saja dan tidak membuat keributan, menanti sampai munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dan betapa pun menggilarnya hati yang penuh nafsu berahi dari Ketua Pek-lian-kauw itu terhadap Giok Keng, namun dia lebih mementingkan “perjuangan” perkumpulannya, maka dia tidak mau mengganggu gadis itu dengan harapan agar ayah gadis itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, berikut semua anak buah Cin-ling-pai, akan suka membantu Pek-lian-kauw.

Kalau kebetulan ada yang melihat mereka, tentu orang yang melihatnya itu akan menjadi ketakutan dan mengira bahwa dia melihat setan. Demikian cepatnya gerakan tiga orang itu sehingga yang tampak hanya bayangan mereka saja yang berkelebatan cepat sekali di antara pohon-pohon, menuju ke sarang Pek-lian-kauw yang terletak di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning itu.

Mereka melakukan perjalanan cepat bukan main, seperti terbang saja, tanpa banyak cakap akan tetapi wajah mereka membayangkan ketegangan, kesungguhan, dan kemarahan.

Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, isterinya yang gagah perkasa Sie Biauw Eng, dan yang ke tiga adalah Yap Kun Liong, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, bahkan tingkatnya sudah menandingi tingkat Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri!

Ketika suami isteri dari Cin-ling-san ini menerima surat Thian Hwa Cinjin yang isinya membujuk Cin-ling-pai untuk bekerja sama, untuk “membalas budi” Pek-lian-kauw yang menawan Cia Giok Keng namun tidak mau mengganggu puteri mereka itu, kebetulan Yap Kun Liong yang membawa Bun Houw pulang telah tiba di Cin-ling-san.

Suami isteri itu sedang bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Kok Beng Lama untuk membicarakan tentang perjodohan Kun Liong dan Hong Ing, menjadi wali pemuda ini. Akan tetapi tiba-tiba muncul utusan Pek-lian-kauw yang menyerahkan surat itu.






Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati suami isteri itu setelah mereka membaca surat dari Thian Hwa Cinjin. Maklumlah Keng Hong bahwa surat itu adalah surat yang hendak memaksa dia untuk membantu Pek-lian-kauw, dengan puterinya menjadi sandera. Dengan menahan kemarahannya karena dia tidak ingin mengganggu seorang utusan, Keng Hong berkata singkat kepada utusan Pek-lian-kauw itu,

“Katakan kepada Thian Hwa Cinjin bahwa aku akan segera datang ke sana!”

Ketika Kun Liong mendengar tentang isi surat itu, seketika dia menyatakan hendak membantu dan menyerbu Pek-lian-kauw untuk membebaskan Giok Keng. Tentu bantuan pemuda yang lihai itu amat diharapkan oleh suami isteri Cin-ling-san dan Keng Hong lalu berkata,

“Kita harus berangkat sekarang juga, mendahului utusan itu dan menyerbu Pek-lian-kauw selagi mereka belum siap-siap sehingga mereka tidak sempat mengganggu Giok Keng.”

Maka berangkatlah tiga orang berilmu tinggi itu dengan cepat, meninggalkan Bun Houw yang dijaga oleh para anak buah murid Cin-ling-pai, berangkat dan melakukan perjalanan amat cepat mendahului utusan yang telah kembali itu.

Di sepanjang perjalanan, mereka mengatur siasat penyerbuan, yaitu suami isteri itu akan menyerbu dengan berterang dari pintu gerbang depan setelah memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk menyelinap melalui jalan belakang sehingga pemuda itu akan dapat mencari dan melindungi Giok Keng.

Selanjutnya perjalanan dilakukan cepat tanpa banyak cakap lagi dan tentu saja mereka dapat jauh mendahului utusan itu.

Tepat seperti telah mereka rencanakan, mereka tiba di sarang Pek-lian-kauw itu di malam hari yang gelap. Suami isteri itu membiarkan Kun Liong menyelinap dan berkelebat ke arah belakang sarang itu. Mereka percaya penuh bahwa pemuda itu akan berhasil memasuki sarang musuh dari belakang.

Setelah menanti kurang lebih seperempat jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada Kun Liong memasuki markas dan mencari Giok Keng, Keng Hong dan isterinya lalu dengan terang-terangan menghampiri pintu gerbang yang dijaga oleh enam orang anggauta Pek-lian-kauw dan menerobos masuk.

Tentu saja para penjaga itu cepat menghadang.
“Heiii, siapa kalian...?”

Seruan ini terhenti ketika mereka mengenal Keng Hong sebagai pendekar Cin-ling-san yang pernah menyerbu sarang itu, akan tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak karena suami isteri itu telah bergerak cepat dan robohlah enam orang itu berturut-turut tanpa dapat melawan.

Akan tetapi, keributan tadi menarik perhatian para penjaga di sebelah dalam. Mereka melihat betapa enam orang penjaga itu roboh, maka cepat memukul kentungan sebagai tanda bahaya.

Keadaan menjadi gempar dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw lari berserabutan, ada yang baru bangun tidur dan saling tabrak, kesemuanya lari hendak mempersiapkan senjata untuk menghadapi penyerbuan musuh. Mereka menyangka bahwa tentu pasukan pemerintah yang datang menyerbu.

Sementara itu. Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sudah mengamuk dengan hebatnya. Para anggauta Pek-lian-kauw bagaikan daun-daun kering tertiup angin, terlempar ke sana-sini dan keadaan menjadi makin kacau balau.

Thian Hwa Cinjin tentu saja terkejut bukan main setelah mendengar kentungan tanda bahaya dan kemudian melihat mengamuknya suami istri itu. Dia merasa heran sekali. Utusannya belum kembali dan menurut perhitungannya pun tentu belum kembali dari perjalanan jauh itu, akan tetapi mengapa suami isteri itu sudah datang mengamuk? Cepat dia mempersiapkan diri dan sejenak berunding dengan Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin.

“Kau cepat jalankan alat rahasia di dua kamar itu agar mereka terjeblos ke dalam kamar bawah tanah, kemudian bantu kami di luar!” katanya kepada Bong Khi Tosu.

Tosu ini mengangguk dan cepat lari ke belakang. Pada waktu itu, dia mengira bahwa Cia Giok Keng dan Lie Kong Tek tentu berada di kamar masing-masing yang terjaga kuat, dan alat untuk menjalankan alat rahasia itu berada di luar kamar. Sekali menekan tombol, lantai kamar itu akan terjeblos ke bawah, membawa mereka berdua terjatuh ke dalam kamar-kamar rahasia di bawah tanah yang sukar dicari oleh orang luar.

Akan tetapi, ketika Bong Khi Tosu tiba di tempat itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Belasan orang penjaga kedua kamar itu telah menggeletak di luar kamar tanpa bergerak lagi! Dan pintu kedua kamar itu telah terbuka, kamar-kamar itu telah kosong!

Selagi dia hendak lari ke luar, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang tahanan itu, Giok Keng dan Kong Tek, telah berdiri di depannya dengan muka penuh ancaman!

Dua orang ini tadi memang telah dibebaskan oleh Kun Liong setelah pemuda perkasa ini berhasil merobohkan semua penjaga sebelum mereka sempat membuat ribut.

“Harap kalian membantu dari dalam, aku hendak membantu Supek dan Supekbo di luar.”

Kun Liong berkata kepada mereka tanpa banyak cakap lagi, lalu berkelebat pergi karena dia sudah mendengar suara ribut-ribut di luar sarang itu, tanda bahwa suami isteri Cin-ling-san itu telah turun tangan.

Adapun Giok Keng dan Kong Tek segera bersembunyi dan baru muncul ketika Bong Khi Tosu datang. Dengan kemarahan meluap dua orang itu lalu meloncat keluar sehingga mengejutkan tosu itu.

Maklum bahwa tidak ada gunanya lagi untuk bicara, Bong Khi Tosu sudah menggerakkan tongkatnya dan mengeluarkan suara menggereng hebat sekali. Itulah ilmunya Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang kuat sekali dan yang menggetarkan jantung lawan. Lawan yang kurang kuat sin-kangnya akan roboh hanya oleh gerengan ini saja.

Namun, tentu saja Kong Tek, apalagi Giok Keng, tidak mudah digertak oleh ilmu ini dan mereka sudah menerjang maju dengan tangan kosong karena pedang mereka telah dirampas dan entah disimpan dimana oleh Thian Hwa Cinjin.

Bong Khi Tosu memutar tongkatnya dengan ganas, juga beberapa kali kakinya menyambar dengan jurus-jurus tendangan Soan-hong-tui yang amat dahsyat. Memang hebat ilmu tendangan kakek ini. Kong Tek yang masih belum sembuh benar dari luka-lukanya akibat pertandingan yang lalu, kurang cepat mengelak dan lambungnya tercium tendangan, membuat dia terhuyung.

“Toako, mundurlah, biar aku yang menandingi tua bangka ini!”

Giok Keng berkata dan cepat dara ini mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang amat hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri. Dengan gerakan indah, setelah mengelak dan membiarkan tongkat lawan lewat di atas pundak kirinya, dia menyerang dengan jurus In-keng-hong-twi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), pukulan tangan kirinya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat menyambar ke arah dada lawan disusul dorongan tangan ke arah kepala!

Bong Khi Tosu terkejut dan cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkatnya. Pukulan dara tadi membuat tubuhnya tergetar dan kalau dia tidak cepat meloncat mundur, tentu dia akan terkena pukulan dahsyat itu.

Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tanah, tubuh dara itu sudah mencelat ke depan dan kini Giok Keng sudah menghantamnya dengan kedua tangan dilonjorkan, menyerang dengan jurus ke tiga dari Ilmu Silat San-in-kun-hoat, yaitu jurus Siang-in-twi-san (Sepasang Awan Mendorong Bukit).

Kembali kakek itu terkejut. Dari kedua tangan dara yang masih muda itu tampak uap putih yang amat kuat, bahkan ketika dia memutar tongkat melindungi tubuhnya, kedua tangannya tergetar hebat dan kembali dia terpaksa melompat ke belakang.

Pada saat itu, Kong Tek yang merasa tidak tenang membiarkan kekasihnya maju sendiri menghadapi musuh, sudah menubruk dari samping, dan mengirim pukulan. Bong Khi Tosu cepat menggerakkan tongkatnya memukul ke samping, menyambut serangan pemuda yang baginya jauh lebih lunak dibandingkan dengan dara itu. Akan tetapi sekali ini Kong Tek berlaku nekat, melihat tongkat menyambar, dia menangkap tongkat itu dengan kedua tangannya!

Bong Khi Tosu terkejut, cepat menarik kembali tongkatnya, namun Kong Tek tidak mau melepaskannya. Terjadilah tarik-menarik dan Bong Khi Tosu sudah menggerakkan kaki kanannya mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya menuju pusar lawan!

“Wirrrr... krekkkk!”

Bong Khi Tosu memekik keras karena kakinya telah patah tulangnya, disambar pukulan tangan Giok Keng dari samping pada saat kaki itu tadi menendang. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu karena rasa nyeri membuat dia seperti lumpuh, Kong Tek telah merampas tongkatnya dan sekali tusuk, tongkat itu menancap memasuki dada tosu itu sampai hampir tembus ke punggung saking kerasnya pemuda itu menusuk.

Bong Khi Tosu mengeluarkan suara menggereng hebat dan tubuhnya roboh terjengkang ketika Kong Tek mencabut tongkat sambil menendang, dan tosu itu tewas seketika.

“Mari kita menerjang keluar!” kata Kong Tek ketika melihat datangnya belasan orang angauta Pek-lian-kauw berbondong datang ke tempat itu.

Giok Keng mengangguk dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyambut rombongan anggauta Pek-lian-kauw terdepan, merampas pedang dan mengamuk seperti seekor naga sakti. Juga Kong Tek menggerakkan tongkat rampasannya, merobohkan siapa saja yang berani menghadang di depan mereka!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: