*

*

Ads

FB

Kamis, 15 September 2016

Petualang Asmara Jilid 003

Kakek itu mengulangi lagi nyanyiannya. Kun Liong diam-diam menjadi marah. Nyanyian buruk itu masih hendak diulangi lagi? Dia marah dan hatinya panas. Kakek itu jelas bukan orang baik, pikirnya dan karena diapun tidak akan mampu berbuat sesuatu, untuk mengganggu kakek itu diapun lalu membarengi kakek itu, bahkan mendahuluinya sedikit, bernyanyi. Tentu saja yang dinyanyikannya adalah lagu pengemis tadi. Maka terdengarlah nyanyian-nyanyian hiruk-pikuk tidak karuan, campur aduk dan aneh sekali, kacau-balau dan lucu karena nyanyian itu menjadi begini.

“Langit di atas bumi di bawah
tahu akan kebodohan sendiri
mengapit ketidak adilan
adalah waspada!
perut lapar minta makan
tidak tahu mengaku tahu
minta kepada siapa
adalah sebuah penyakit!
ayah sendiri pun belum makan
yang mengenal kenyataan ini
semua kelaparan
berarti sehat.”

Baru sampai di situ, kakek itu menghentikan nyanyiannya dan berteriak marah, melompat turun dari bunga teratai baja yang didudukinya. Tiga orang itupun sudah menerjang maju dengan pedang mereka dan ternyata ilmu pedang mereka cukup hebat sedangkan tubuh mereka tidak lagi pucat seperti tadi.

Tanpa disengaja, nyanyian Kun Liong tadi telah menolong tiga orang petugas pemerintah itu. Mereka sebetulnya adalah perwira-perwira petugas keamanan yang melakukan penyelidikan, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Ketika tosu tadi bernyanyi, dia mempergunakan khi-kang mengerahkan sin-kangnya dan suaranya itu merupakan serangan yang amat hebat. Bagi orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia dapat mempergunakan suara untuk mencelakakan lawan, seperti yang dilakukan Loan Khi Tosu tadi. Suara dapat menyerang melalui pendengaran, mengusik hati mengacau pikiran dan menggetarkan urat syaraf, lama-lama dapat menyerang jantung lawan dan membunuhnya tanpa turun tangan!

Karena masih kanak-kanak dan pikirannya masih bebas, atau setidaknya belum terlalu kotor dan penuh seperti pikiran manusia dewasa, biarpun suara itu amat tidak enak didengarnya, namun Kun Liong tidaklah amat menderita seperti yang diderita tiga orang perwira yang manyamar sebagai petani-petani itu.

Kemudian tanpa disengajanya, hanya untuk menyatakan rasa mendongkol terhadap kakek itu, Kun Liong dapat memecahkan atau membikin rusak pengaruh khi-kang dalam nyanyian Loan Khi Tosu dengan mengacaukan nyanyiannya dengan nyanyiannya sendiri!

Hal ini membuat tiga orang tadi pulih kembali keadaannya dan mereka lalu menerjang maju, sedangkan Loan Khi Tosu dengan marah sekali sudah turun dari bunga teratai baja dan menghadapi tiga orang lawannya dengan tongkat bambunya.






Tiga orang perwira itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah kepala-kepala pegawai di kota Leng-kok dan menjadi orang-orang kepercayaan kepala daerah kota Leng-kok. Mereka adalah bekas anak buah Jenderal Yung Lo dan kini telah menjadi kaisar. Ilmu kepandaian mereka cukup tinggi dan kini mereka mengurung tosu itu dengan membentuk barisan segitiga.

Si Cambang Melintang rupa-rupanya menjadi pimpinan mereka. Dia lebih dulu membentak keras dan menyerang dengan pedangnya, menusuk ke leher tosu itu dari samping kiri. Gerakannya cepat dan kuat sekali, dan menyusul gerakannya ini, temannya yang berada di depan tosu itu telah menerjang dengan tusukan pedang ke arah perut. Orang ke tiga segera menyusul dengan sambaran pedangnya yang membabat ke arah kaki lawan. Dengan demikian, secara beruntun dan cepat sekali merupakan rangkaian serangan bersambung, tosu itu dihujani serangan ke leher, perut, dan kakinya!

Melihat sinar tiga batang pedang berkilat menyambar secara berturut-turut itu, Loan Khi Tosu tidak menjadi gentar atau gugup. Dengan tenang-tenang saja dia menggerakkan tongkat, menangkis pedang yang menyambar leher, tongkatnya dipentalkan dan langsung menangkis pedang yang menusuk perut dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga sambaran pedang ke arah kakinya itu tidak mengenai sasaran. Dari atas, dia sudah menggerakkan lagi tongkatnya, menusuk ke arah ubun-ubun kepala Si Cambang, dan menampar dengan tangan kiri ke arah orang di depan, sedangkan kakinya menendang ke arah orang di sebelah kanannya.

Dapat dibayangkan betapa cepat gerakan kakek itu yang selagi tubuhnya masih berada di atas telah dapat mengirim serangan kepada tiga orang lawannya sekaligus!

Namun, tiga orang lawannya juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian segera menyerang lagi secara teratur ketika kakek itu sudah turun kembali. Pertandingan yang seru terjadi di halaman belakang kuil itu. To-su itu agaknya tadi memandang rendah para pengeroyoknya yang disangkanya sama lemahnya dengan dua orang musuh yang baru saja dibunuhnya. Disangkanya bahwa sekali menggerakkan tongkatnya, dia akan dapat membunuh mereka.

Setelah kini ternyata tiga orang perwira itu belum juga dapat dirobohkan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus lebih, hanya mampu mendesak mereka saja dengan gerakan tongkatnya, dia menjadi penasaran dan marah sekali.

“Mampuslah kalian!” bentaknya dan tiga orang itu terkejut sekali ketika tiba-tiba Si Tosu melakukan gerakan cepat, tangan kirinya menyerang mereka bertubi-tubi dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan hawa pukulan panas seperti api!

Tahulah mereka bahwa kakek itu telah mengeluarkan ilmu pukulan simpanannya yang selama ini dipergunakan untuk membunuhi orang, pukulan Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih) yang selalu meninggalkan bekas tapak jari tangan pada tubuh korbannya. Karena tahu akan kelihaian jari tangan itu, mereka mencelat mundur, sama sekali tidak menyangka bahwa pada saat itu, Loan Khi Tosu yang lihai telah meniup ujung tongkatnya tiga kali dan tampak sinar hitam berkelebat tiga kali ke arah tiga orang perwira itu.

Mereka berteriak kaget dan terjungkal roboh, leher mereka terkena serangan gelap berupa jarum-jarum hitam yang ternyata disembunyikan di dalam tongkat yang berlubang itu dan yang dipergunakan sebagai semacam sumpit.

“Heh-heh, mata-mata laknat, anjing pemerintah yang busuk. Kalian harus mati!”

Tosu itu melangkah lebar menghampiri tiga orang yang telah terluka, mengangkat tongkatnya hendak mengirim pukulan terakhir.

“Kakek tua bangka, engkau jahat sekali, ya?”

Loan Khi Tosu menahan tongkatnya, membalikkan tubuh dan melihat seorang anak laki-laki lari menghampirinya sambil memandangnya dengan sepasang mata yang jernih itu menyinarkan kemarahan. Setelah tiba di depan tosu itu, Kun Liong bertolak pinggang dan berkata, suaranya lantang penuh keberanian dan kemarahan.

“Melihat pakaianmu, engkau tentulah seorang tosu dan menurut pengetahuanku seorang pendeta selalu mengutamakan kebaikan dan pantang melakukan kejahatan! Di dalam kitab-kitab Agama To tidak terdapat pelajaran yang membenarkan kekejaman, bahkah Nabi Lo-cu selalu menentang kekerasan. Mengapa engkau ini seorang tosu, begini kejam dan suka melakukan pembunuhan?”

Loan Khi Tosu tercengang dan sejenak tak dapat bicara, hanya memandang anak itu dengan pengerahan kekuatan matanya agar dapat melihat lebih jelas. Matanya yang lamur hanya melihat bentuk seorang anak laki-laki dan hanya pendengaran telinganya yang jelas menangkap suara itu dan ia menduga bahwa anak itu tentu tidak lebih dari sepuluh tahun usianya.

Kalau yang menegurnya seorang dewasa, teguran itu tentu dianggapnya penghinaan dan membuatnya marah, akan tetapi yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Belum pernah selama hidupnya dia menghadapi hal yang seaneh ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan berkata,

“Siancai... agaknya engkau juga yang tadi mengacaukan nyanyianku. Engkau sungguh bernyali besar dan karena keberanianmu itu aku suka menjawab. Ketahuilah bahwa tosu dari Pek-lian-kauw selain mengutamakan kebajikan dan kegagahan, terutama sekali kekerasan terhadap musuh. Membunuh musuh bukanlah perbuatan kejam namanya...”

“Omong kosong! Membunuh tetap membunuh, membunuh siapapun juga, dengan alasan apapun juga, pembunuh namanya dan membunuh adalah perbuatan yang paling terkutuk, paling keji dan yang paling busuk di dunia ini!”

Loan Khi Tosu menggerakkan kedua pundaknya.
“Karena kau seorang anak-anak, pinto kagum menyaksikan sikapmu. Kalau engkau sudah dewasa dan mengeluarkan kata-kata seperti itu berarti engkau musuh pula dan tentu telah pinto bunuh. Sudahlah, pinto tidak ada waktu melayani seorang anak kecil!”

Tosu itu membalik, dan kini tongkatnya digerakkan ke arah tubuh tiga orang lawannya yang sudah roboh pingsan itu!

“Wuuuuttt... trakkkk!!”

Loan Khi Tosu meloncat ke belakang, tongkatnya tergetar dan hanya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya saja membuat dia berhasil mencegah tongkatnya terlepas dari pegangannya.

“Siancai...! Siapakah engkau dan mengapa berani mencampuri urusan pinto?”

Loan Khi Tosu menegur seorang laki-laki yang tadi menangkis tongkatnya dan yang kini berdiri dengan tenang di depannya sambil menyimpan kembali senjatanya yang istimewa karena senjatanya itu berupa sepasang pit (alat tulis, pensil buku) hitam dan putih.

Laki-laki itu berpakaian sastrawan, sederhana pakaian dan sikapnya, namun di balik kesederhanaannya, tampak kegagahan yang berwibawa. Wajahnya tampan tubuhnya tegak dan padat berisi membayangkan tenaga yang halus dan kuat, usianya kurang sedikit dari empat puluh tahun, namun rambut di atas sepasang telinganya sudah mulai bercampur uban.

Dia bernama Yap Cong San, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, murid dari Tiang Pek Hosiang, tokoh nomor satu di Siauw-lim-pai, bekas ketua yang kini tidak muncul lagi di dunia ramai karena telah bertapa untuk selamanya dalam Ruang Kesadaran, yaitu di sebuah ruangan tertutup dari kuil Siauw-lim-pai.

Yap Cong San sendiri telah dipecat sebagai anak murid Siauw-lim-pai, pemecatan yang berdasarkan kebijaksanaan Ketua Siauw-lim-pai karena ingin menjaga nama baik Siauw-lim-pai, akan tetapi pribadi pendekar ini tidak dimusuhi, bahkan dianggap sebagai sahabat baik dari Siauw-lim-pai. Bagi para pembaca cerita “Pedang Kayu Harum”, nama Yap Cong San tentu bukan nama yang asing. Akan tetapi untuk para pembaca cerita ini yang belum membaca “Pedang Kayu Harum” sebaiknya berkenalan dengan Yap Cong San secara singkat.

Setelah kehilangan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai, Yap Cong San menikah dengan seorang pendekar wanita perkasa yang bernama Gui Yan Cu, seorang wanita amat cantik jelita, berkepandaian tinggi dan juga memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan.

Suami isteri ini tinggal di kota Leng-kok, membuka sebuah toko obat dan mereka mempunyai seorang putera, yaitu Yap Kun Liong, anak yang pemberani tadi. Karena dia sendiri seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai yang lihai dan sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, setelah menjadi suami Gui Yan Cu dan membuka toko obat, Yap Cong San mempelajari ilmu pengobatan sehingga sering kali dia mewakili isterinya memeriksa dan mengobati orang sakit.

Isterinya hanya memeriksa wanita-wanita yang sakit. Karena pekerjaannya ini, Yap Cong San lebih dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan disebut Yap-sinshe daripada seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Sudah bertahun-tahun dia dan isterinya tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, seakan-akan sepasang suami isteri pendekar ini bersembunyi di kota kecil Leng-kok, sehingga jarang ada orang mengenal namanya.

Ketika tadi mendengar dari pencari kayu yang menjadi langganannya pula, bahwa Kun Liong berkeliaran di dalam hutan di luar kota, sedangkan menurut pencari kayu itu, di dalam hutan terdapat orang-orang yang aneh dan mencurigakan, Yap Cong San merasa khawatir sekali. Cepat dia lalu meninggalkan toko obatnya, menyuruh isterinya menjaga dan dia sendiri pergi ke dalam hutan membawa sepasang senjatanya yang istimewa, yaitu Im-yang-pit hitam putih.

Dahulu Yap Cong San terkenal sekali dengan ilmu silatnya, terutama sekali permainan Im-yang-pit, sepasang pensil yang tidak hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan juga dapat dipakai untuk menulis. Di samping sepasang Im-yang-pit ini, dia juga mahir melepas senjata rahasia berupa uang logam tembaga yang selain dapat dipakai berbelanja, juga dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang amat berbahaya, disebut Touw-kut-ji (Uang Logam Penembus Tulang).

Pendekar ini tiba di belakang kuil, tepat pada saat Loan Khi Tosu menggerakkan tongkat pendek membunuh tiga orang yang telah terluka itu. Sebagai seorang pendekar, biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak mempunyai urusan kang-ouw, tak mungkin dia membiarkan saja pembunuhan dilakukan di depan matanya. Cepat dia meloncat ke depan menggerakkan senjatanya menangkis sehingga tongkat tosu itu terpental.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: