*

*

Ads

FB

Senin, 19 September 2016

Petualang Asmara Jilid 015

Biarpun ular itu belum tampak, kakek dan laki-laki itu meloncat ke belakang Kun Liong dengan ketakutan. Kun Liong melangkah maju, menghampiri sebelah bawah sebuah kuburan tua yang berada dekat dengan kuburan baru itu. Dia mendekatkan hidungnya pada sebuah lubang dan temyata benar dugaannya. Bau ular itu keluar dari lubang ini.

Kun Liong segera menggunakan tangan kanannya menepuk-nepuk sebelah atas lubang dengan telapak tangan, mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit seperti bunyi anak tikus.

Dua orang itu berdiri dengan mata terbuka lebar, dan mata mereka menjadi lebih lebar lagi ketika tiba-tiba dari dalam lubang itu keluar kepala seekor ular hitam yang lidahnya merah! Makin lama makin panjang tubuh ular itu tersembul keluar dan secepat kilat, tangan kiri Kun Liong menyambar dan ular itu sudah ditangkap pada lehernya, kemudian dibuat tidak berdaya dan lumpuh seperti biasa.

“Wah, engkau benar-benar dapat menangkap ular!” Akian berseru girang seperti bersorak.

“Eh, anak kecil, bagaimana engkau berani melakukan ini? Ular-ular di sini... eh, maksudku di hutan sebelah selatan, adalah ular-ular peliharaan...” kata Si Kakek.

“Apa...?” Kun Liong bertanya tidak percaya. “Siapa yang memelihara ular?”

“Ssstt, Paman, harap jangan main-main...” Akian berkata, memandang ke kanan kiri dan kelihatan takut-takut.

“Tidak ada yang tahu betul siapa yang memelihara, anak aneh, akan tetapi ular raksasa yang berada di tengah hutan tentu akan membunuhmu karena kau telah berani menangkap ular ini.”

“Ular raksasa? Di mana binatang itu?”

“Di tengah hutan sebelah selatan dusun kami,” kata Si kakek, tanpa mempedulikan Akian yang beberapa kali menaruh telunjuk di depan bibir yang mendesis-desis sebagai isyarat menyuruh kakek itu diam.

“Kalau benar ada ular raksasa yang suka mengganggu penduduk, biarlah besok pagi aku akan menangkapnya!” Kun Liong berkata dengan nada suara gagah.

Kakek itu saling pandang dengan Akian, kemudian dia mengejap-ngejapkan matanya. Kepada Kun Liong dia berkata,

“Benarkah itu, anak yang ajaib? Dan engkau juga bisa mengobati orang yang kena digigit ular berbisa?”

“Aku dapat, Kek. Apakah masih ada korban ular berbisa?”

“Ada dua orang, di dusun kami!” Akian kini berkata tergesa-gesa dan penuh harapan.






“Antarkan aku kepada mereka, akan kuobati. Cepat jangan sampai terlambat!” kata Kun Liong.

Kakek Lo dan Akian mengajak Kun Liong berlari-lari menuju ke dusun dan mereka disambut oleh penduduk dusun yang terheran-heran memandang Kun Liong yang masih memegang seekor ular hitam, apalagi ketika mereka mendengar penuturan Si Kakek Tua bahwa anak ajaib itu akan mengobati dua orang yang terkena gigitan ular berbisa.

Kun Liong diantar kepada ayah dan anak yang siang tadi digigit ular berbisa di waktu mereka mencari kayu kering di pinggir hutan. Keduanya digigit ular pada betis kaki mereka yang kini menjadi bengkak biru. Anak yang usianya sebaya dengan Kun Liong itu pingsan, sedangkan si ayah rebah gelisah, mengigau dengan tubuh panas seperti anaknya.

Ibu anak itu menangis, akan tetapi tangisnya dipaksa berhenti ketika mendengar bahwa anak yang tampan dan berpakaian koyak-koyak itu datang untuk mengobati suami dan anaknya. Berbondong-bondong orang-orang mengikuti Kun Liong memasuki rumah petani itu. Setibanya di depan pintu kamar, Kun Liong berhenti, membalikkan tubuh dan berkata,

“Harap para paman dan bibi suka menanti di luar saja. Tidak baik kalau kamar yang menderita sakit dipenuhi orang.”

Kakek Lo segera melangkah maju mendekati Kun Liong dan berkata dengan suara lantang,

“Tabib kecil ini berkata benar! Hayo kalian keluar semua! Apa dikira ini tontonan? Susah payah aku yang menemukan anak ajaib ini berhasil membawanya ke sini untuk menyelamatkan dusun kita. Hayo pergi kataku, pergi keluar!”

Dengan lagak bangga kakek itu mendesak mereka keluar dan hanya membolehkan nyonya rumah, dia sendiri, dan Akian yang dianggap sekutunya dalam menemukan Kun Liong, mengantar anak itu memasuki kamar dua orang korban gigitan ular berbisa itu.

Dengan sikap sungguh-sungguh Kun Liong memeriksa luka di kaki ayah dan anak itu. Dia memang sudah memperoleh pelajaran tentang racun ular agak matang dari ibunya yang menganggap betapa pentingnya pengetahuan ini, maka sekali pandang saja maklumlah Kun Liong bahwa kedua orang itu digigit ular belang. Cepat dia menuliskan nama-nama obat yang harus dibelinya dari kota, kemudian dia minta sebuah pisau yang runcing tajam, merobek kulit bagian kaki yang mengembung dan mengeluarkan darah hitam dengan jalan memijat dan mengurut.

Kakek Lo segera menyuruh seorang penduduk lari ke kota membeli obat. Setelah orang itu kembali membawa obat, menurutkan petunjuk Kun Liong obat itu sebagian dimasak dan diminumkan yang sakit, sebagian yang berupa bubuk merah dicampur air panas dan ditaruh di atas luka lalu luka itu dibalut.

Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati nyonya rumah ketika melihat suami dan puteranya itu dapat tidur pulas dan tubuh mereka tidak panas lagi. Dia serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Liong yang cepat-cepat membangunkan kembali.

Kakek Lo dengan bangga dan girang berkata,
“Aihhh, Siauw-sinshe, kepandaianmu seperti dewa! Harap saja engkau benar-benar akan dapat membersihkan ular-ular itu dari hutan di selatan agar keselamatan kami di dusun ini dapat terjamin,”

Kun Liong mengangguk.
“Jangan khawatir, Kakek yang baik. Besok akan kucoba menangkap ular raksasa yang kau ceritakan tadi. Sekarang aku perlu sebuah tempat tidur dan... hemm, perutku lapar bukan main. Sejak kemarin malam aku belum makan...”

“Aihhh! Kenapa tidak dari tadi bilang? Marilah ke rumahku, kami sediakan kamar untukmu dan tentang makan, jangan khawatir. Marilah!”

Dia menggandeng tangan Kun Liong, menariknva diajak ke luar menuju ke rumahnya. Ketika tiba di luar pintu, dia berkata kepada orang-orang yang menanti di luar.

“Mereka sudah sembuh, disembuhkan oleh anak ajaib ini! Dan ketahuilah, besok pagi anak dewa yang kutemukan ini, yang malam ini makan dan tidur di rumahku, akan menangkap ular raksasa dan membasmi semua ular berbisa di hutan selatan!”

Tanpa menanti jawaban, kakek itu menarik tangan Kun Liong pergi dari situ, tidak peduli akan seruan-seruan heran dan takjub dari orang-orang yang menimbulkan kebanggaan di dalam hatinya. Betapa dia tidak akan bangga? Dia yang menemukan anak ajaib ini!

Akian memperoleh kesempatan untuk mendongeng tentang “anak ajaib” yang ia dapatkan bersama Kakek Lo. Kalau saja Kun Liong mendengar bagaimana Akian bercerita tentang dia, tentang munculnya yang dikatakan melayang turun dari angkasa, betapa dia menangkap ular dengan mantera, dan beberapa macam keanehan lagi, tentu Kun Liong sendiri akan terheran-heran, lebih heran daripada orang-orang dusun itu sendiri!

Kakek Lo tidak kekurangan hidangan untuk menjamu Kun Liong karena begitu mereka memasuki rumah kakek itu, berbondong-bondong para penduduk mengantar hidangan seadanya yang masih mereka punyai sehingga tak lama kemudian Kun Liong duduk menghadapi meja penuh dengan hidangan, dilayani sendiri oleh Kakek Lo dan keluarganya yang terdiri dari anak laki-laki, mantu dan tiga orang cucu.

Setelah makan kenyang, malam itu Kun Liong tidur dengan nyenyak sekali dan pada keesokan harinya Kakek Lo menyambutnya dengan pakaian baru yang ukurannya tepat sekali bentuknya.

“Pakaianmu sudah koyak-koyak semua, pakailah pakaian ini, pakaian cucuku yang masih baru, belum pernah dipakainya sama sekali.”

Kun Liong tidak menolak dan setelah mandi, dia mengenakan pakaian baru itu, dan rambutnya disisir rapi lalu digelung dan diikat dengan sehelai saputangan sutera. Juga pemberian sepatu baru dipakainya.

“Hebat! Engkau tentu seorang kongcu, seorang putera bangsawan!”

Kakek Lo berseru dan memandang kagum kepada anak yang berdiri di depannya, segar dan tampan sekali.

“Bukan, Kek. Aku bukan anak bangsawan, Ayah bundaku hanyalah ahli-ahli obat biasa saja.”

“Siapakah namamu, Siauw-sinshe?”

“Aku she Yap, namaku Kun Liong.”

“Yap-kongcu (Tuan Muda Yap)…!”

“Wah, aku bukan seorang kongcu, aku anak biasa. Panggil saja namaku, Kek.”

“Ah, tidak, siapa percaya? Yap-kongcu, silakan keluar, di depan rumah sudah menanti para penduduk, bahkan kepala dusun ini sendiri datang untuk bertemu denganmu.”

Kun Liong kaget dan merasa betapa penduduk telah menghormatinya secara berlebihan. Ketika dia keluar, benar saja dia melihat penduduk sudah berkumpul di depan rumah itu, dipimpin oleh kepala dusun yang menjura dengan sikap hormat kepada Kun Liong sambil berkata,

“Kami mewakili penduduk dusun Coa-tong-cung berterima kasih sekali kepada Siauw-kongcu yang telah menolong kami menyembuhkan penduduk yang terluka dan akan menangkap ular raksasa yang banyak mengganggu kami.”

“Harap Cuwi tidak bersikap sungkan,” kata Kun Liong malu-malu. “Aku hanya melakukan apa yang dapat kulakukan, dan memang sudah biasa aku menangkap ular. Hanya saja, terus terang kukatakan bahwa selamanya aku belum pernah menangkap ular yang besar. Akan kucoba menundukkannya dan kuharap agar disediakan seekor ayam betina yang gemuk dengan tali panjang mengikat kakinya untuk umpan.”

Kepala dusun cepat memerintahkan orangnya untuk menyediakan permintaan Kun Liong, kemudian beramai-ramai mereka mengantarkan anak itu ke dalam hutan di selatan Dusun Coa-tong-cung (Dusun Guha Ular). Akan tetapi tak seorang pun berani memasuki hutan, hanya berdiri di luar hutan yang kelihatan gelap itu dengan wajah membayangkan kengerian.

“Mengapa Cuwi (Kalian) berhenti? Siapa yang akan menunjukkan kepadaku tempat ular raksasa itu?”

Semua orang menunduk, akan tetapi Kakek Lo segera melangkah maju dan berkata dengan suara dipaksakan dan dada dibusungkan,

“Aku akan menemanimu, Yap-kongcu!”

“Aku juga!” Akian melangkah maju pula.

“Hemm, sebaiknya ada yang mengawal kalau-kalau Siauw-kongcu ini memerlukan bantuan,” kata kepala dusun yang menggunakan wibawanya memilih sepuluh orang pemuda-pemuda yang bertubuh kuat, membawa senjata dan dia sendiri memimpin sepuluh orang itu mengikuti Kun Liong, Kakek Lo, dan Akian memasuki hutan.

Setelah tiba di tengah hutan, di bagian yang berbatu-batu, Akian menuding ke depan dan semua pengikut itu tiba-tiba berhenti, wajah mereka berubah pucat dan tak seorang pun berani maju lagi.

Kun Liong memandang ke depan. Hidungnya sudah mencium bau keras, bau wengur yang menandakan bahwa di dekat situ terdapat seekor ular besar.

“Harap Cuwi menanti saja di sini,” katanya dan dia membawa ayam betina yang telah diikat kakinya itu, perlahan-lahan menghampiri sebuah guha di antara batu-batu gunung.

Setelah dia menyelinap di antara batu-batu dan tiba di mulut guha, tampaklah olehnya seekor ular yang amat besar dan panjang. Mula-mula ketika dia tiba di situ, ular itu sedang melingkar, akan tetapi agaknya ular itu melihat kedatangannya. Ular itu mendesis dan tubuhnya yang melingkar mulai bergerak-gerak, lingkarannya terlepas dan tampaklah tubuh yang panjang sekali, tidak kurang dari empat meter panjangnya, dan besar perutnya melebihi paha Kun Liong!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: