*

*

Ads

FB

Senin, 26 September 2016

Petualang Asmara Jilid 037

“Kun… Kun Liong, aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?”

“Hemm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kau perkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!”

“Eh, engkau tahu…?”

Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.
“Setan gundul tentu saja tahu segala!”

Mata yang jernih itu terbelalak.
“Engkau aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun…”

“Teruskan saja! Ha-ha, memang aku gundul. Nih, halus bersih, kan?” Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. “Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya.”

“Siapa yang jijik? Aku senang melihatnya. Memang, lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tak pemah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya.”

“Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?”

Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan kedua pipinya berubah kemerahan, apalagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu!

“Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku telah kau tolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu.”

“Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?”

“Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?”

“Sumpah?”

“Sumpah apa?”

“Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?”

“Aku bersumpah!”






“Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian.”

“Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, katakan, apa permintaanmu itu?”

“Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm...”

“Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu.”

“Hwi Sian, aku ingin kau... eh, mencium gundulku satu kali saja!”

Hwi Sian terbelalak, hidungnya kembang kempis, kedua pipinya merah akan tetapi matanya mengeluarkan sinar aneh, tersipu dan berseri.

“Dekatkan kepalamu,” katanya lirih.

Kun Liong hampir tidak percaya. Dia sudah khawatir kalau dara remaja itu marah dan kalau marah, dia pun tidak akan menyalahkan Hwi Sian. Siapa kira, dara itu menerima permintaannya! Dengan kulit muka merah sampai ke kepalanya, dia menundukkan kepala dan agak membungkuk di depan Hwi Sian. Dara itu tanpa ragu-ragu memegang pinggiran kepalanya dengan kedua tangan, lalu menunduk dan mencium kepala gundul itu, mencium lagi, mencium lagi. Tiga kali, bukan hanya satu kali seperti yang dimintanya!

Berdebar tidak karuan rasa jantung Kun Liong. Kepalanya yang disentuh hidung dan bibir hangat basah itu terasa geli seperti digelitik, rasa geli yang menembus seluruh tubuhnya, membakar darahnya dan membuat mukanya merah, napasnya agak terburu. Dengan mendadak dia mengangkat mukanya menengadah dengan tubuh masih agak membungkuk sambil berkata,

“Kau baik sekali... uppphh...”

Karena dia membuat gerakan menengadah sedangkan Hwi Sian masih menunduk di atas kepalanya, tanpa disengaja mulut mereka bersentuhan, membuat keduanya meloncat ke belakang dengan muka merah padam!

“Ehhh... ohhh... maafkan, aku, Hwi Sian, aku tidak sengaja...! Terima kasih, engkau... engkau sungguh baik sekali, selama hidup takkan kulupakan saat ini...”

“Ihhh... hu-hukk...”

Dara itu tiba-tiba terisak, membalikkan tubuh lalu meloncat dan lari pergi meninggalkan Kun Liong!

“Hwi Sian...!” Kun Liong memanggil, akan tetapi dara itu terus lari dan lenyap di tikungan.

Kun Liong tidak berani mengejar, merasa malu sekali kalau sampai peristiwa tadi diketahui kedua orang suheng dara itu. Dia pun lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengangkat kedua pundak beberapa kali, kemudian tersenyum-senyum kalau teringat betapa Hwi Sian telah mencium kepalanya sampai tiga kali, bahkan ada tambahannya dengan pertemuan bibir mereka tanpa sengaja.

Dia memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Diusapnya kepala yang dicium tadi dan dibawanya jari tangan yang mengusap itu ke depan hidung dan mulut, menyedot penuh kegembiraan karena seolah-olah tercium olehnya bau harum seperti yang diciumnya ketika Hwi Sian berada di dekatnya tadi. Semua ini dilakukan dengan mata terpejam dan kaki masih melangkah berjalan.

“Bruuuusss!!”

Kun Liong jatuh menelungkup karena kakinya tertumbuk pada akar pohon. Dahinya benjol sedikit, dia bangkit berdiri dan diusapnya benjolan itu, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ketika dia melanjutkan perjalanan.

Ternyata kegembiraan hati Kun Liong tidak berlangsung lama karena kurang lebih dua jam kemudian setelah dia berpisah dari Hwi Sian dan memasuki hutan ke dua, tiba-tiba dia bertemu dengan serombongan orang yang membuat dia terkejut bukan main. Rombongan ini terdiri dari delapan orang dan semua orang ini telah dikenalnya.

Dua orang sudah jelas adalah Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang tadi melarikan diri, dan lima orang lagi adalah anggauta Pek-lian-kauw yang tadi pun melarikan diri dihajar oleh Hwi Sian dan dua orang suhengnya. Akan tetapi yang seorang lagi adalah seorang berpakaian seperti tosu, usianya tentu enam puluh tahun lebih, memegang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki.

Yang mengejutkan hati Kun Liong dan yang membuat dia mengenal tosu ini adalah karena mata tosu itu seperti mata orang buta, hanya tampak putih saja tanpa ada manik mata yang hitam. Tidak salah lagi, tosu ini tentulah Loan Khi Tosu, tokoh Pek-lian-kauw yang pernah diusir ayahnya ketika hendak membunuh tiga orang perwira pengawal di Leng-kok!

"Nah, itulah dia setan cilik gundul!” Kiang Ti dan Ouw Ciang Houw membentak ketika mereka melihat Kun Liong berjalan seenaknya. “Dialah yang terlihai di antara mereka!”

Kun Liong berdiri dan menenangkan hatinya yang sebenarnya tidak tenang karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang kejam. Akan tetapi karena dia tidak merasa bersalah, seujung rambut pun dia tidak merasa takut. Dengan tegak dia berdiri, membiarkan delapan orang itu mengurungnya, kemudian dia bertanya kepada Ouw Ciang Houw, Kiang Ti, dan Loan Khi Tosu yang berdiri di depannya,

“Cu-wi (Anda Sekalian) ini mau apakah mengurung aku yang tidak bersalah apa-apa?”

Mendengar suara ini, Loan Khi Tosu menggerak-gerakkan biji matanya dan berusaha memandang lebih jelas. Biarpun matanya yang lamur hanya dapat melihat bentuk seorang pemuda tanggung berkepala gundul, namun telinganya dapat menangkap lebih jelas lagi, membuat dia yakin bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam belas tahun. Yang membuat dia heran adalah karena dalam suara itu terkandung keberanian dan ketenangan yang tidak dibuat-buat dan sikap tenang seperti ini dalam keadaan dikurung lawan hanyalah sikap seorang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kemampuannya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kun Liong bersikap tenang bukan karena mengandalkan kemampuannya, melainkan tidak merasa bersalah.

“Ah, dia hanya seorang anak laki-laki yang belum dewasa benar.”

Loan Khi Tosu berkata dengan nada mencela. Menghadapi seorang anak-anak saja, teman-temannya ini kewalahan dan kelihatan jerih benar?

“Biarpun dia masih kecil, dialah yang melindungi tiga pendekar Secuan itu dan karena dia maka mereka dapat lolos!” kata Kiang Ti.

“Hemm, bocah. Engkau siapakah dan mengapa engkau mencampuri urusan kami?” Tosu itu kini bertanya.

“Loan Khi Tosu, aku tidak pernah suka mencampuri urusan orang lain, hanya tidak ingin melihat orang menggunakan ilmu silat untuk menyerang, melukai atau membunuh orang seperti yang kau lakukan di kuil di luar kota Leng-kok dahulu itu!”

“Siancai...!” Loan Khi Tosu mengerutkan alisnya. “Engkaulah setan cilik itu? Saudara-saudara tangkap dia ini! Dia putera Yap Cong San di Leng-kok!”

“Ehhh...?” Kiang Ti yang banyak mengenal tokoh persilatan karena dia adalah ketua perkumpulan Ui-hong-pang, berseru kaget, “Akan tetapi bukankah Yap-sinshe (Tabib Yap) itu murid Siauw-lim-pai?”

“Bukan murid Siauw-lim-pai lagi,” kata Loan Khi Tosu. “Dia sudah tidak diakui lagi dan hal ini tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan Siauw-lim-pai.”

“Tapi... ayahnya menjadi pelarian, dimusuhi pemerintah!” Kembali ada bantahan dan sekali ini dari mulut Ouw Ciang Houw datangnya.

“Benar, dan karena itulah maka kita tidak akan membunuhnya, hanya menangkapnya sebagai sandera. Kita perlu bantuan orang pandai, dan dengan dia sebagai umpan, kita dapat memancing tenaga bantuan ayah bundanya, dan siapa tahu, kelak Siauw-lim-pai juga...”

Mengertilah para teman tosu itu dan serentak mereka lalu menubruk maju hendak menangkap Kun Liong. Kun Liong sendiri tidak mengerti akan maksud percakapan mereka, maka dia sibuk mengelak dan menangkis.

“Eh, eh, kalian ini mau apa? Aku tidak ingin berkelahi! Antara kita tidak ada urusan apa-apa!”

Namun, percuma saja dia berteriak teriak dan karena ada tujuh orang yang mengeroyoknya, semua mempunyai kepandaian tinggi, repot juga dia dan beberapa kali tubuhnya kena hantaman. Biarpun semua pukulan itu meleset karena otomatis sin-kangnya yang istimewa itu membuat setiap pukulan meleset, namun kulit tubuhnya terasa panas dan nyeri-nyeri juga, apalagi setelah beberapa kali ada pukulan mengenai kepala dan mukanya, mulai terasa panas perut Kun Liong.

Dia sendiri tidak tahu mengapa semenjak belajar pada Bun Hwat Tosu, terutama semenjak dia mempelajari sin-kang yang aneh itu, setiap kali datang kemarahan, perutnya menjadi panas. Dia tidak tahu bahwa ini adalah akibat latihan sin-kang istimewa dari bekas Ketua Hoa san pai itu!

Tadinya para pengeroyok itu tidak ingin memukul karena sesuai dengan perintah Loan Khi Tosu yang memimpin rombongan itu, mereka hanya ingin menangkap. Akan tetapi setelah beberapa kali tangan mereka yang hendak mencengkeram dan menangkap selalu meleset, mereka menjadi penasaran dan mulai mempergunakan kepalan!

“Hiiittt!!”

Tiba-tiba Kun Liong berseru, tubuhnya digoyangkan seperti seekor anjing menggoyang tubuhnya yang basah, dan tujuh orang yang mengeroyoknya seperti semut itu terdorong mundur semua.

Marahlah pemuda gundul itu setelah mukanya biru-biru dan kepalanya benjol-benjol, tubuhnya nyeri semua. Mulailah dia mainkan Ilmu Silat Pat hong sin kun dengan teratur dan dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika dia mainkan ilmu ini, dalam beberapa gebrakan saja serangannya membuat tiga orang pengeroyok jatuh tersungkur dan terdengar teriakan kaget dari mulut para pengeroyoknya!

Akan tetapi karena dia tidak mempunyai niat melukai lawan, apalagi membunuh, dorongan-dorongan sebagai pengganti pukulan itu hanya membuat lawan roboh saja tanpa terluka sehingga mereka bangkit kembali. Kalau saja setiap pukulannya disertai tenaga sin-kangnya yang istimewa, agaknya sekali terkena pukulannya, tiap lawan itu tentu takkan mudah untuk bangkit kembali!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: