*

*

Ads

FB

Kamis, 06 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 055

“Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?”

Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu benar-benar tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat!

“Harap Locianpwe sudi memaafkan, sebetulnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan maksud... eh, Paman Gak, harap Totiang menjelaskan kepada Cia-locianpwe.”

Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.

Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura, kemudian Pek-kui Cak Song berkata,

“Tidak perlu kiranya kami membohong kepada Pai-cu (Ketua). Sesungguhnya telah lama sekali Liong-kong-cu (Tuan Muda Liong) mendengar akan nama besar Pai-cu dan akan kehebatan puteri Pai-cu, yaitu Nona Cia Giok Keng. Harap Pai-cu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal dari pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan).”

“Hemmm... bukankah di Kwi-ouw adalah sarang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?” Biauw Eng memotong.

Dua orang kakek itu tersenyum.
“TIdak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio.” Tentu saja mereka merasa bangga menyebut nama yang sudah tersohor itu. “Dan kami berdua adalah pembantu-pembantu utamanya, juga termasuk murid-murid pangcu kami yang setia.”

“Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?” Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.

Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jerih.
“Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami...”

“Keparat!” Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, “Hendak melamar setelah mengacau di Cin-ling-san dan melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-ciang?”

Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya.
“Ini... ini... hanya kesalah pahaman... hanya keinginan menguji kepandaian... bukan berniat buruk... kami mohon maaf dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka...”






“Siapa butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!”

Biauw Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk “menjaga diri” lebih dulu sebelum dia bergerak. Biarpun dua orang kakek itu jauh lebih tua daripadanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utusan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Setelah dua orang kakek itu yang maklum akan dipukul berjaga-jaga, barulah ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru,

“Robohlah!”

Dua orang kakek yang di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.

“Des! Dess! Plak-plak!”

Kedua tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan yang tidak begitu kuat, akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh, muntah darah dan pingsan.

Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidaklah aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).

Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya daripada Hek-tok-ciang, apalagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!

Liong Bu Kong terkejut sekali. Dia tadi sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah murid-murid kelas satu dari ibunya!

Pemuda yang amat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal di mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata,

“Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka.”

Biarpun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, namun dalam pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu amat tidak menyenangkan, maka dia pun berkata,

“Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali-kali berani menginjakkan kaki di daerah Cin-ling-san. Adapun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimanapun juga, kami tidak suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!”

Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan. Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan setelah bertemu dengan orangnya, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus dia tergila-gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu menentang keras. Kembali pemuda itu menjura dan berkata,

“Maafkan saya, Ji-wi-locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, mudah-mudahan saja kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima.”

Dia menjura, membungkuk, mengempit tubuh kedua orang kakek yang masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Pemuda itu benar-benar lihai!

Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak isterinya kembali ke dalam rumah. Setelah berada di dalam, Keng Hong berkata kepada puterinya,

“Nah, kau lihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa kalau tidak segera menikah. Tentu banyak godaan dan penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan.”

“Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan mendapatkan jodoh.”

Giok Keng cemberut.
“Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh tak perlu dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!”

Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras,
“Tentu saja kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apalagi kalau dia putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!”

Giok Keng tetap cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda tampan tadi, dan biarpun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!

“Menolak atau menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin menikah?”

Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!

Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Isterinya menghibur,
“Sabarlah. Dia baru berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!”

“Kekanak-kanakan apa? Itulah kalau anak manja!” Akan tetapi Keng Hong tidak melanjutkan kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah, bahkan dia lalu memeluk isterinya dan berkata, “Biarlah kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib.”

“Perlu apa dipusingkan? Biarlah dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari belakang agar dia jangan salah pilih.”

Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang-orang Kwi-eng-pai itu dan mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng makin tekun berlatih silat.

Hal ini menggirangkan hati Keng Hong dan pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak membocorkannya kepada orang lain!

Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tahun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat.

Betapapun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-ki-i-beng kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab,

“Kau kira mudah saja menguasai Thi-khi-i-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dahulu seorang tokoh golongan hitam yang tinggi ilmu kepandaiannya bernama Kiu-bwe-toanio Lu Sian Cu, yang berhasil memaksaku memberikan Thi-khi-i-beng, telah mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sin-kang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kau pelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kau kuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, biarpun engkau tidak menggunakan Thi-ki-i-beng.”

Mendengar keterangan ini, Giok Keng menjadi ngeri sendiri dan merasa puas dengan ilmu-ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi, Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng makin berduka karena belasan kali datang lamaran dari pemuda-pemuda yang bukan orang-orang sembarangan, putera ketua-ketua partai besar, pemuda-pemuda sastrawan dan hartawan, bahkan pernah seorang pemuda putera pangeran dari kota raja melamar, semua itu ditolak mentah-mentah oleh Giok Keng. Padahal, usia dara itu kini telah meningkat, sudah sembilan belas tahun!

Ketika Keng Hong dan Biauw Eng mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, mereka segera berangkat untuk melayat, sekalian untuk menghibur kekecewaan hati mereka dan mengharapkan pertemuan dengan Yap Cong San. Siapa tahu kalau jodoh puteri mereka itu adalah putera sahabat ini yang sudah hampir dua puluh tahun, atau sedikitnya delapan belas tahun tak pernah mereka jumpai.

Giok Keng disuruh menjaga Cin-ling-pai dan mengawasi adiknya, Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun. Hati Giok Keng agak kecewa karena setelah kini ilmunya maju pesat, dia ingin sekali ikut merantau dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi dia tahu juga bahwa selain Cin-ling-pai perlu dijaga, juga tidak baik kalau adiknya ditinggalkan seorang diri bersama para pimpinan Cin-ling-pai dalam keadaan di mana bahaya selalu mengancam dari pihak kaum sesat.

**** 055 ****
Petualang Asmara







Tidak ada komentar: