*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 125

“Trangggg...!”

Kun Liong sengaja mengerahkan sin-kangnya yang mendatangkan getaran hebat sehingga ketika rantingnya bertemu dengan pedang yang ditangkisnya pedang itu terpental, terlepas dari tangan pemiliknya!

Dara itu terbelalak memandang, bukan main rasa heran dan penasarannya dan merasa seperti dalam mimpi. Siapa orangnya yang mampu menangkis pedangnya dengan sebuah ranting dan sekali tangkis membuat pedangnya terlepas dari tangannya? Benar-benar aneh dan luar biasa sekali! Ataukah dia yang lengah dan tidak memegang pedangnya erat-erat karena sudah memastikannya bahwa sumoinya tentu tewas di tangannya?

Kun Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia membuang ranting itu dan menghampiri Hong Ing yang masih rebah.

“Hong Ing, kau... terluka...?”

Hong Ing bangkit duduk dan menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa, Kun Liong, biarkanlah aku... heiiii... hati-hati...!”

Namun terlambat. Hui-to (pisau terbang) yang disambitkan oleh sucinya itu hebat sekali meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah menuju ke sasarannya, yaitu punggung Kun Liong.

Pemuda ini sama sekali tidak menyangka bahwa ada dara demikian cantiknya akan sudi menyerang orang dengan menggelap, maka seruan Hong Ing itu terlambat. Pula, kalau dia mengelak, bukankah Hong Ing yang terancam oleh senjata rahasia itu? Dia lalu mengerahkan sin-kangnya dan hui-to itu menancap di punggungnya, tidak terus, melainkan menancap paling banyak sepanjang jari telunjuk dan menempel di situ. Darah muncrat dan Hong Ing menjerit,

“Kun Liong...!”

Sebelum Kun Liong sempat melakukan sesuatu, Hong Ing telah menggendongnya dan dara ini lalu meloncat jauh dan terus melarikan diri secepat kilat sambil menggendong tubuh Kun Liong!

“Hemm, Sumoi Pek Hong Ing...! Begitu tak tahu malukah engkau? Berhenti!” ia mengejar dari belakang setelah menyambar pedangnya dan menyarungkannya.

Akan tetapi Hong Ing tidak peduli, terus menggendong Kun Liong dan mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk melarikan diri. Ketika dia menengok dan melihat sucinva mengejar, dia berlari makin cepat lagi.

Kun Liong diam-diam merasa geli, juga terharu. Tak disangkanya bahwa sang suci seganas dan segalak itu sedang sang sumoi begini halus budinya. Sebenarnya luka di punggungnya itu tidak seberapa dan kalau dia mau, tentu saja dia dapat melawan suci itu, atau andaikata melarikan diri sekalipun, tak perlu digendong karena dia dapat lari lebih cepat dari Hong Ing.






Akan tetapi, sekali merasa digendong belakang, dia merasa kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya mendekap ketat punggung Hong Ing, terasa kelembutan yang hangat dan hidungnya mencium keharuman memabukkan, maka dia merangkulkan kedua lengan di atas pundak Hong Ing sedangkan kedua kakinya yang panjang dia kempitkan di pinggang dara itu. Dia pura-pura setengah pingsan!

Akan tetapi karena maklum bahwa mereka berdua dikejar, diam-diam Kun Liong mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan sekali dan tidak menjadi penghalang bagi Hong Ing untuk mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat. Dan ternyata dalam hal ilmu berlari cepat, Hong Ing lebih menang dibandingkan dengan sucinya.

Dia memasuki hutan, menyelinap di antara pohon-pohon dan makin lama jarak antara dia dan pengejarnya makin jauh dan akhirnya Hong Ing tiba di tempat yang ditujunya yaitu sebuah kuil kuno di tengah hutan. Dia segera menyelinap di balik pohon dan memasuki semak-semak, menurunkan tubuh Kun Liong yang pura-pura pingsan, mencabut hui-to itu dan memeriksa lukanya.

Betapa heran rasa hati Hong Ing ketika memeriksa luka itu. Ketika mencabut hui-to tadi, dia pun sudah heran melihat huito yang panjang itu hanya masuk sedikit saja, padahal ia tahu benar bahwa sucinya adalah seorang ahli penyambit pisau terbang yang amat lihai dan yang telah mewarisi kepandaian guru mereka sepenuhnya. Tidak saja hui-to itu amat cepat jika dilontarkan sucinya, juga pasti mengenai sasarannya dan biasanya tentu akan menancap sampai ke gagangnya!

Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, merasa bersyukur dan selagi dia hendak mengambil obat dari dalam saku jubahnya, tiba-tiba dia merangkul Kun Liong dan mendekap mulut pemuda itu dengan tangannya, khawatir kalau-kalau pemuda itu setelah siuman mengeluarkan suara. Matanya memandang ke depan dimana terdapat sebuah lorong kecil dan di atas lorong ini tampak tujuh orang nikouw berjalan beriringan sambil membaca doa!

Kun Liong melirik dan melihat pula iring-iringan itu. Dia senang sekali didekap dan kepalanya berbantal lengan halus itu, apalagi mulutnya didekap. Dengan halus dia memegang lengan yang mendekap mulutnya dan menariknya sehingga mulutnya tidak tertutup lagi. Dia mengeluarkan rintihan perlahan, pura-pura merasa kesakitan hebat!

“Sssttt...!”

Dalam kekhawatirannya akan terlihat oleh para saudaranya dari kuil itu, tanpa disadarinya lagi Hong Ing mendekap kepala Kun Liong ke dadanya dan kebetulan sekali Kun Liong miringkan mukanya sehingga kini mukanya terdekap ke dada. Kun Liong meram melek dan dia sekali ini benar-benar hampir pingsan ketika merasa betapa hidung dan pipinya merapat pada dada yang membusung itu dan tercium olehnya keharuman yang aneh. Aduh, mau rasanya aku selamanya begini, pikirnya dan tak terasa lagi mulutnya tersenyum penuh kesenangan hati!

Setelah rombongan nikouw yang berdoa itu lewat dan sudah jauh, barulah Hong Ing bernapas lega dan ketika dia menunduk, matanya terbelalak melihat betapa tanpa disadarinya dia mendekap muka Kun Liong ke dadanya! Hampir dia menjerit dan dia cepat melepaskan kepala itu sehingga kepala gundul itu jatuh ke tanah mengeluarkan suara berdebuk.

“Aduhhhh...!” Kun Liong mengeluh.

“Kusangka kau masih pingsan!”

“Aku tidak pernah pingsan!”

“Kalau begitu, mengapa kau diam saja?”

“Habis disuruh apa?”

“Hemmm, kau aneh dan kadang-kadang timbul sangkaanku bahwa kau seorang yang kurang ajar! Nah, miringlah, biar kuobati lukamu!”

Kun Liong tidak bicara lagi, takut kalau benar-benar dia dibenci karena dianggap kurang ajar, maka dia miring dan membiarkan lukanya diobati oleh Hong Ing. Sekali ini Kun Liong merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Dia merasa amat kasihan kepada dara ini dan sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk menggoda, sungguhpun kehadiran dan kecantikan dara ini jauh lebih hebat pengaruhnya terhadap dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis cantik lain yang pernah dijumpainya dan digodanya.

Setelah selesai mengobati luka di punggung Kun Liong, Hong Ing berkata,
“Aku girang sekali dapat membalas kebaikanmu dahulu ketika mengobati aku dengan sekarang merawat lukamu, Kun Liong. Sekarang, harap kau suka cepat pergi sebelum Suci datang lagi dan sebelum para nikouw di Kwan-im-bio tahu bahwa kau berada di sini.”

Kun Liong sudah duduk. Mereka duduk berhadapan dan Kun Liong menggeleng kepalanya.

“Nanti dulu, Hong Ing. Sudah terlalu banyak kita mengalami bahaya bersama, dan sudah terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu. Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat dan lebih baik lagi. Sudikah kau menceritakan kepadaku semua hal ihwalmu, barangkali saja aku dapat membantumu, baik dengan nasihat maupun dengan perbuatan?”

Hong Ing meragu, sejenak mereka berpandangan. Kemudian Hong Ing menghela napas dan berkata,

“Baiklah. Kita memang masih harus bersembunyi sampai keadaan aman benar.”

Mulailah dara cantik jelita dan terpaksa menjadi nikouw ini menceritakan riwayatnya kepada Kun Liong dengan suara bisik-bisik dan yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Pek Hong Ing yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun adalah murid tersayang dari seorang pertapa wanita di Pegunungan Go-bi-san yang berjuluk Go-bi Sin-kouw (Wanita Sakti dari Go-bi).

Nenek sakti ini hanya mempunyai dua orang murid, yang pertama adalah Lauw Kim In, yaitu dara jelita galak yang menyerang Hong Ing itu. Hong Ing adalah seorang anak yatim piatu, demikian pula sucinya, Kim In. Semenjak berusia lima tahun, dia telah digembleng bersama sucinya oleh Go-bi Sin-kouw, dan kedua orang anak perempuan yang sama-sama yatim piatu ini hidup seperti kakak beradik, Kim In lebih tua tiga tahun dari Hong Ing, dan sekarang telah berusia dua puluh tahun.

Sukar dikatakan siapa di antara dua orang dara ini yang lebih berhasil mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Sin-kouw. Kim In kelihatan lihai sekali dengan ilmu pedangnya dan terutama sekali senjata rahasia hui-to (pisau terbang) yang membuat dara ini sukar dicari tandingannya. Sedangkan Hong Ing telah mewarisi ilmu cambuk dari gurunya yang dapat dia mainkan hanya dengan sehelai saputangan sutera! Di samping ini, juga dalam hal ilmu meringankan tubuh (gin-kang), si sumoi ini agaknya jauh melampaui sucinya.

Ketika Kim In berusia delapan belas tahun, oleh gurunya yang terkenal galak dan berhati baja itu ditunangkan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi, ketika pada suatu hari pemuda tunangannya ini oleh Go-bi Sin-kouw disuruh berkunjung kepada seorang sahabatnya di kaki Pegunungan Go-bi-san, terjadilah hal yang amat hebat.

Sahabat dari Go-bi Sin-kouw itu adalah seorang tokoh yang amat sakti, terkenal sekali namun seperti juga Go-bi Sin-kouw, tidak pernah turun gunung. Julukannya adalah Thian-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Langit) dan sudah lama menjadi sahabat baik Go-bi Sin-kouw karena memang masih ada pertalian perguruan di antara mereka.

Ketika pemuda tunangan Kim In itu tiba di tempat pertapaan Thian-ong Lo-mo dia diterima baik, suratnya dari Go-bi Sin-kouw juga diterima dan karena hari sudah malam, pemuda itu disuruh bermalam di pondok si kakek pertapa. Dan di malam hari itulah terjadinya malapetaka. Kakek Thian-ong Lo-mo di samping kesaktiannya juga terkenal sebagai seorang kakek yang tak pernah hidup sendiri, selalu tentu ditemani seorang isteri yang cantik dan muda dan yang hampir setiap tahun berganti orang!

Isteri atau selir cantiknya pada waktu itu, yang biasanya hanya tidur dan dipeluk seorang kakek yang usianya sudah hampir seratus tahun, tentu saja menjadi terpesona dan tergila-gila kepada pemuda tampan yang menjadi tamu suaminya. Hal yang lumrah pun terjadilah. Si pemuda tidak kuat menahan bujuk rayu si cantik jelita dan terjadilah perjinaan diantara mereka.

Dan celakanya, mereka tertangkap basah oleh Thian-ong Lo-mo sendiri! Kedua orang kekasih itu dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo dan kepala mereka dikirimnya kepada Go-bi Sin-kouw yang dapat mengerti apa yang telah terjadi, maka karena kesalahan berada di pihak calon mantunya itu, Go-bi Sin-kouw juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali minta maaf.

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Lauw Kim In melihat peristiwa ini. Bukan hanya hancur karena ia urung menikah, namun terutama sekali hancur karena sakit hati mendengar betapa tunangannya itu berjina dengan isteri Kakek Thian-ong Lo-mo.

Dengan demikian baginya dianggap bahwa dia dihina dan diremehkan oleh tunangannya, dan mulai saat itu tumbuhlah bibit kebencian yang amat mendalam di hatinya terhadap kaum pria! Semenjak itu, dia bersumpah di depan gurunya untuk tidak menikah dan gurunya pun tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum apa yang diderita oleh murid pertama ini. Kim In dan sumoinya yang ketika itu baru berusia lima belas tahun, makin giat berlatih silat sampai dua tahun lamanya.

“Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kurang lebih tiga bulan yang lalu, malapetaka menimpa diriku...” kata Hong Ing menyambung ceritanya yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Cerita tentang suci dara ini memang menarik namun dia tidak begitu mempedulikan, akan tetapi kini setelah Hong Ing mulai menceritakan riwayatnya sendiri, dia benar-benar menaruh perhatian sehingga pandang matanya seakan-akan tergantung kepada bibir yang merah kecil mungil itu.

Hong Ing melanjutkan ceritanya. Pada pagi hari itu, dia seorang diri seperti biasa berjalan-jalan di dalam hutan di lereng puncak Go-bi-san. Semenjak kecilnya, tidak seperti sucinya, dara ini memang suka sekali akan keindahan alam, suka menyendiri di dalam hutan-hutan besar, apalagi di waktu pagi hari ketika matahari baru saja muncul menyinarkan cahaya keemasan dan burung-burung berkicau menyambut datangnya sinar surya yang cemerlang indah itu, butir-butiran embun menghias setiap ujung daun dan membuat rumput dan kembang berseri-seri pepuh kesegaran.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: