*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 136

Dua orang wanita muda itu beristirahat di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu. Mereka telah tiba di kaki Pegunungan Go-bi-san yang amat luas, penuh dengan hutan lebat dan amat sunyi itu.

Mereka adalah Pek Hong Ing dan sucinya, Lauw Kim In. Keduanya berwajah muram dan Pek Hong Ing masih mengenakan pakaian seorang nikouw. Juga wajah Kim In yang cantik manis itu kelihatan muram sekali dan dia selalu menghindarkan pandang matanya kepada sumoinya.

Mereka berdua telah semenjak kecil menjadi murid Go-bi Sin-kouw, tinggal di pegunungan sunyi berdua, rukun dan saling mencinta seperti kakak beradik. Maka dapat dibayangkan betapa duka hati Kim In bahwa dia terpaksa harus menangkap sumoinya dan memaksanya menghadap subo mereka, padahal dia tahu benar bahwa sumoinya itu tidak suka dinikahkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang usianya sudah lima puluh tahun itu. Sedih hatinya memikirkan nasib sumoinya. Akan tetapi dia pun marah dan penasaran sekali melihat sumoinya yang sudah menjadi nikouw itu bersendau-gurau dengan seorang pemuda tampan berkepala gundul!

Andaikata dia tidak melihat mereka dan hatinya yakin bahwa mereka bermain gila, agaknya dia tetap tidak akan tega menangkap sumoinya dan dia akan pulang dengan tangan kosong, nekat membohongi gurunya bahwa dia gagal mencari sumoinya! Akan tetapi, perbuatan sumoinya bermain cinta dengan pemuda gundul aneh yang luar biasa itu membuat hatinya penasaran dan marah sekali.

“Suci, sudah berkali-kaii kukatakan kepadamu bahwa Kun Liong bukanlah seorang hwesio...” terdengar suara Hong Ing penuh kedukaan.

Sucinya tidak menoleh, hanya menghela napas dan diam saja. Hening sekali keadaan disitu dan akhirnya Kim In berkata lirih,

“Mungkin dia bukan hwesio, mungkin hanya seorang pemuda ugal-ugalan yang sengaja menggunduli kepalanya. Akan tetapi apa bedanya? Tetap saja engkau bermain dengan dia, padahal engkau sudah menjadi nikouw. Betapa memalukan ini, Sumoi. Sebagai encimu, tentu saja hal ini merupakan tamparan hebat dan aku malu sekali. Kalau aku tidak sayang kepadamu, bukankah perbuatan itu cukup bagiku untuk menjadi alasan membunuhmu? Akan tetapi aku tidak tega, dan aku hanya akan membawamu kembali kepada Subo. Selanjutnya terserah kepada Subo, dan aku pun tidak akan menceritakan tentang peristiwa di balik semak-semak itu.”

“Suci, engkau benar kejam sekali! Pernahkah aku membohong kepadamu semenjak kita menjadi saudara di Go-bi-san! Kami tidak bermain gila seperti yang Suci sangka. Memang aku tidak dapat menahan ketawa, dan ketawa kami berdua tertawa itu sama sekali bukan sedang main gila, bermain cinta atau bersendau-gurau seperti yang kau duga. Dia memang lucu sekali...”

“Ya, lucu dan tampan!”

“Aihh Suci. Bukan demikian maksudku. Kalau engkau sendiri mendengar kata-katanya, sikap dan pandangan hidupnya, tentu engkau akan tertawa juga. Kun Liong seorang yang baik, Suci. Pertama-tama aku bertemu dengannya adalah ketika aku terluka parah oleh jarum beracun dari Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dia yang telah mengobatiku secara luar biasa! Dan tahukah engkau bagaimana aneh dan lucunya? Katanya, kepalanya menjadi gundul juga karena jarum beracun Ouwyang Bomw itu! Aku telah berhutang budi kepadanya, maka ketika aku melihat dia tertawan pasukan, aku lalu menolongnya. Dan kau melihat sendiri betapa dia kembali mengorbankan diri menolongku ketika hui-tomu menyambar.”

Kim In membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi sumoinya dan menatap wajah sumoinya dengan tajam penuh selidik, kemudian bertanya lantang,






“Sumoi, apakah kau jatuh cinta kepada pemuda gundui itu?”

Seluruh wajah yang cantik dan kepala yang gundul kelimis itu menjadi merah sekali. Dengan suara gemetar Hong Ing menjawab,

“Mengapa Suci bertanya demikian? Aku baru saja bertemu dengan dia. Aku kagum kepadanya, aku suka... akan tetapi, aku tidak tahu... tentang cinta... hemmm, entahlah.”

“Itu tandanya kau mulai jatuh cinta. Hemm, laki-laki semua penipu, tak dapat dipercaya! Jangan kau mudah menjatuhkan hati kepada seorang pria, Sumoi. Kau akan kecewa!”

Hong Ing memandang sucinya dengan sinar mata penuh iba.
“Aku tahu, Suci. Kau sakit hati karena kau pernah tertipu. Akan tetapi aku yakin bahwa sampai detik ini pun kau masih... masih mencintanya.”

Berubah wajah Kim In dan cepat dia menghapus dua titik air mata yang membasahi bulu matanya.

“Memang, tapi dia sudah mati. Andaikata dia masih hidup, belum tentu aku dapat memaafkan perbuatannya yang terkutuk! Berjina dengan isteri muda Thian-ong Lo-mo! Cihh! Akan tetapi dia sudah mati dan bagaimana pun juga aku akan membalaskan kematiannya kepada Thian-ong Lo-mo.”

“Tapi kabarnya kakek itu lihai sekali, Suci. Bahkan kabarnya tingkatnya seimbang dengan Subo.”

“Akan tiba masanya aku dapat membalaskan kematian tunanganku kepada kakek itu!” kata Kim In berkeras.

Tiba-tiba dua orang dara yang cantik itu meloncat berdiri dan memutar tubuh. Mereka mendengar suara langkah kaki orang, akan tetapi ketika mereka meloncat dan memutar tubuh, tidak ada bayangan orangnya!

Selagi mereka terheran-heran dan saling pandang, di sebelah belakang mereka terdengar suara orang tertawa, suara tertawa seorang laki-laki! Cepat mereka kembali memutar tubuh dan... tidak melihat apa-apa di situ kecuali pohon-pohon yang lebat dan sunyi. Padahal gema suara ketawa itu masih terdengar oleh mereka.

Kim In dan Hong Ing saling pandang dan merasa ngeri. Mereka tidak percaya akan adanya setan. Telah belasan tahun mereka tinggal di Pegunungan Go-bi-san, telah belasan tahun mereka mengenal hutan-hutan lebat namun belum pernah mereka bertemu setan. Mereka sebagai murid-murid orang pandai, tahu bahwa mereka kini berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Harap Locianpwe suka memperlihatkan diri kalau ada keperluan dengan kami berdua murid Subo Go-bi Sin-kouw!”

Kim In berkata dengan sikap hormat akan tetapi dengan suara berwibawa mengandalkan nama besar subonya.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak lagi di belakang mereka. Ketika mereka memutar tubuh mereka berdua menjadi bengong keheranan karena yang disebut locianpwe (orang tua gagah) oleh Kim In itu temyata adalah seorang laki-laki muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan, bertubuh tegap, dan pakaiannya mewah!

“Ha-ha-ha-ha, kukira tadi dua orang bidadari penunggu hutan yang berada disini, kiranya dua orang wanita yang cantiknya melebihi bidadari. Hemm, biarpun yang seorang menjadi nikouw, namun cantik juga.”

Melihat pemuda itu, segera muka Hong Ing berubah dan dengan desis marah dia berkata,

“Engkau... Ouwyang Bouw!”

Pemuda itu memang Ouwyang Bouw. Terkejut juga dia mendengar namanya disebut oleh nikouw muda itu, akan tetapi dia tersenyum dan berkata,

“Engkau sudah mengenal namaku, Nikouw muda? Bagus sekali. Aku memang Ouwyang Bouw.”

Kim In sudah mencabut pedangnya, bahkan dia melemparkan pedang ke dua kepada sumoinya. Mendengar bahwa pemuda ini yang pernah melukai sumoinya, apalagi bahwa pemuda ini adalah putera datuk sesat Ban-tok Coa-ong, dia sudah menjadi marah sekali walaupun diam-diam dia kagum bukan main menyaksikan kepandaian pemuda ini yang dapat muncul tanpa mereka ketahui.

“Kiranya anak datuk kaum sesat yang pernah melukaimu, Sumoi. Mari kita hajar dia!”

Sambil berkata demikian, tubuh Kim In sudah berkelebat ke depan dan dia sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan kilat ke arah tenggorokan Ouwyang Bow. Namun sambil terkekeh, dengan mudahnya Ouwyang Bouw mengelak dan memang pemuda ini memiliki gin-kang yang amat tinggi. Ketika Hong Ing juga menerjang maju, pemuda itu masih enak-enak melayani kakak beradik seperguruan itu dengan mengandalkan kegesitannya, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil tertawa-tawa.

“Eh, tahan dulu! Aku mau bicara!”

Tiba-tiba dia meloncat ke belakang sedemikian cepatnya sehingga dua orang dara itu mendadak kehilangan lawan, dan baru tahu setelah Ouwyang Bouw berdiri belasan meter jauhnya di depan mereka.

“Hemm, bicara apalagi?” bentak Kim In, dan dia melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya gagah sekali.

“Aku baru datang, tidak merasa mengganggu kalian, mengapa kalian memusuhiku?”

“Tidak mengganggu, ya?” Hong Ing menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu. “Lupakah kau ketika bersama ayahmu kau datang ke Kuil Kwan-im-bio, membunuh Biauw Kui Nikouw ketua kuil, kemudian secara menggelap menyerangku dengan jarum merah beracun?”

Berkerut alis Ouwyang Bouw dan matanya yang liar itu sejenak menghentikan gerakannya, seolah-olah dia mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya den berkata,

“Aihh, kiranya engkaukah itu? Aku tidak tahu, kalau aku tahu bahwa dia itu engkau yang cantik ini, tentu aku tidak akan menyerangmu dengan jarum! Wah, kau lihai juga dapat menyelamatkan diri dari jarumku. Dengar, jangan menyerang dulu. Kalian takkan menang. Dengar dulu kata-kataku. Aku sekarang hidup sebatang kara. Teringat aku betapa Ayah dahulu seringkali membujukku untuk memilih seorang gadis yang baik dan menikah. Tadi aku melihatmu, Nona, dan mendengar engkau menaruh dendam kepada Thian-ong Lo-mo.” Dia memandang Kim In dengan sinar mata kagum.

“Ha-ha, tua bangka itu hampir saja mampus di Telaga Kwi-ouw, tapi kakek licin itu masih berhasil menyelamatkan diri dari kepungan pasukan pemerintah dan sekarang bersembunyi. Hanya aku yang tahu tempatnya. Nona, begitu melihatmu, aku tertarik sekali kepadamu. Kau gagah dan cantik, terbayang kekerasan hati di balik kelembutan dan kehalusan kulitmu. Hebat! Aku sudah jatuh cinta kepadamu, Nona, dan aku tahu, hanya engkaulah yang pantas menjadi isteriku!”

“Tutup mulutmu, keparat!”

Kim In sudah menerjang dengan dahsyat, dan sumoinya juga cepat membantu sucinya mengeroyok pemuda yang lancang mulut dan kurang ajar itu.

“Trang-cringgg...!”

Dua orang dara itu meloncat mundur ke belakang dengan kaget ketika merasa betapa telapak tangan mereka panas setelah pedang mereka tertangkis oleh sebatang pedang yang bentuknya seperti ular.

“Ha-ha-ha, percuma saja kalian melawan. Biar subo kalian takkan menang bertanding melawanku!” Ouwyang Bouw mengejek.

Kim In yang sudah marah sekali, kembali menerjang dibantu oleh Hong Ing. Terjadi pertandingan yang hebat, namun Ouwyang Bouw hanya menggunakan pedangnya untuk melindungi tubuh, sama sekali tidak membalas. Bahkan dia masih dapat bicara seenaknya.

“Nona, sampai mati kau takkan mampu melawan Thian-ong Lo-mo. Jadilah isteriku dan aku akan menyeret tua bangka itu ke depan kakimu!”

“Keparat!”

Kim In berteriak lagi dengan marah dan menggunakan jurusnya yang paling ampuh untuk menyerang lawan yang tangguh ini. Juga Hong Ing menjadi marah dan membantu sucinya, menyerang sekuat tenaga.

“Cring! Cringgg... aughhh...!”

Dua orang dara itu roboh tak dapat bergerak lagi karena telah terkena totokan jari tangan kiri Ouwyang Bouw yang lihai bukan main itu.

Dua orang dara itu memandang dengan mata melotot, setengah ngeri ketika Omyang Bouw berlutut di dekat mereka sambil tertawa-tawa. Dengan tangan kirinya, Ouwyang Bouw mengelus dagu Kim In, memandang penuh kagum dan dia berkata,

“Bagaimana, Nona? Apakah kurang lihai dan kurang berharga aku untuk menjadi suamimu? Maukah kau menjadi isteriku, isteri tercinta dan aku bersumpah untuk menjadi seorang suami yang setia, yang baik, yang akan menuruti segala kehendakmu, manis?”

“Tidak sudi!”

Kim In yang memang sudah merasa sakit hati terhadap pria setelah tunangannya menyeleweng itu, membentak. Dia dapat bicara akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: