*

*

Ads

FB

Senin, 21 November 2016

Petualang Asmara Jilid 165

“Ya Tuhan...!”

Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran. Untung di dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat dia melepaskan rangkulannya.

“Hong Ing, kau suka... makan... daging burung laut?”

Biarpun keadaan gelap disitu, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak heran, dan dia girang sekali.

“Daging burung laut?”

Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seolah-olah dia sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya.

“Ya, daging burung laut dipanggang! Aku telah makan daging itu siang tadi. Kalau kau suka, aku akan menangkap seekor untukmu.”

Hong Ing menghela napas panjang, jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkannya bahwa di luar guha angin ribut mengamuk. Mengingatkannya betapa canggung dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana mungkin menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang berada dalam kegirangan besar, seperti dalam kedukaan besar, bicaranya lalu menjadi kacau tidak karuan?

“Besok sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughh...!”

“Kakimu kenapa...”

Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tetapi cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal, meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian!

“Maaf... ah, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu? Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak dapat melihatmu!”

Tubuh dara itu menggigil.
“Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam ini...”

Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul.
“Bodohnya aku!” makinya dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering.

Untung angin ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat di depan guha tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia membuat api dengan batu karang, dan tak lama kemudian, di dalam guha itu menyala seonggok api unggun yang terang dan indah.






Mereka kini dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat tenaganya untuk mencegah air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata,

“Kita masih hidup...”

“Ahhh, Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak...” Suara Hong Ing lirih seperti orang merintih.

Kun Liong melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu, menuding dan berkata.

“Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing.”

Biarpun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, namun tak dapat dikatakan utuh, banyak bagian yang terobek lebar sampai paha dan pundaknya kelihatan.

“Dan tubuhmu... ahhh, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah... dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu merah semua... Kun Liong...!”

Suara dara itu makin gemetar, pandang matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong.

Kun Liong merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar suara dara itu.

“Hong Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah... pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?”

“Uhhh... kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tak dapat dipakai berjalan, digerakkan sedikit pun sakit.”

“Coba kuperiksa... maaf...”

Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya.

“Hong Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo, tergeser dan harus segera dibetulkan kembali letaknya. Kalau tidak, akan lama sembuhnya dan mungkin menjadi cacat.”

Hong Ing mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang kini menggunakan kedua tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri memegang bagian bawah.

“Siaplah, Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar.”

Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik dan terdengar suara “krekk...” dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang sampai menusuk ke ulu hati rasanya, membuat seluruh tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, matanya terbelalak dan di atas pipinya yang pucat nampak air mata.

“Sudah baik letaknya sekarang. Harus dibalut erat-erat.”

Kun Liong lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak lalu membalut mata kaki itu dengan ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri.

“Kasihan kau... Hong Ing...”

Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu keringat dari dahi yang halus itu.

“Terima kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali.”

“Hemm, dalam keadaan seperti ini tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali kudengar adalah ceritamu bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira tadinya kau...”

“Mati? Memang aku lebih baik mati daripada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong.”

“Mengapa?”

“Mengapa? Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Ketika kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang, aku tidak tahu apa-apa lagi...”

Hong Ing mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas pasir pantai.

“Ketika aku siuman, aku berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu, keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga sambil memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke guha ini dan kembali aku tidak ingat apa-apa lagi.

Setelah siuman untuk kedua kalinya, matahari telah naik tinggi. Kakiku tak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit, perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong. Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak. Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, percuma saja. Malam tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau datang juga...”

Mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, cuping hidungnya bergerak-gerak membayangkan keharuan hati.

“Aduh kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku pun sudah putus harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa dalam mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?”

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya.

Berkat rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan biarpun masih agak terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di pulau kosong itu.

“Kalau pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama kita bersembunyi, kita mencari pulau lain,” demikian kata Kun Liong.

“Bagaimana cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, pula aku merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi.”

Kun Liong tersenyum.
“Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu. Akan tetapi kalau ada bahan makanan lain di pulau ini, tidak perlu mencari pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman.”

“Dan kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak beradab?”

Kun Liong tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa geli.

“Engkau memang pantas menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tidak karuan dan ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tak bersepatu, dan rambutmu... hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing.”

“Dan kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari. Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik, bersih sekali sampai mengkilap!”

Kun Liong tersenyum lebar.
“Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang. Segar sejuk rasanya.” Dia mengelus-elus kepala gundulnya.

Mereka duduk berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap oleh Kun Liong.

Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran. Mereka hanya makan karena lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan memandang ke laut. Dari pulau itu, tidak kelihatan pulau lain, apalagi daratan besar.

“Enak juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak khawatir akan pengejaran Pangeran Han Wi Ong.”

Hong Ing menarik napas panjang.
“Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa ngeri tidur di guha itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang, lebih-lebih ular... hiiih...!”

“Aku akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?”

Wajah manis itu berseri.
“Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu.”

“Tidak sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok...”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: